oleh

Mahasiswa Papua, Antara Cinta NKRI, Rasis dan Keluarga Diancam

SUARAMERDEKA.ID – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Papua Jakarta mengaku kecintaan mereka terhadap NKRI terhalang oleh rasis dan adanya ancaman tehadap keluarga di kampung halamannya. Permasalahan ini terungkap dalam diskusi Publik dengan Tema “Mahasiswa Papua Bicara, Kenapa Harus NKRI” di Hang Out Cafe Jakarta Selatan, Selasa (9/9/2019).

Sebagai salah satu aktivis perempuan Papua yang ada di Jakarta, Vanin sebagai salah satu narasumber mengakui bahwa rasisme selalu menjadi persoalan mengapa Papua selalu ingin melepaskan diri dari NKRI. Ia juga mengatakan bahwa berbagai perlakuan rasis ini tidak hanya terjadi di sejumlah daerah yang ada di pulau Jawa.

“Di Jakarta saja, terkadang kami merasakan. Contohnya seperti mahasiswa Papua mau ngekost. Padahal kostannya kosong. Pas yang punya kost tanya, kita asalnya dari mana dan kita jawab Papua mereka bilang kostannya penuh. Dan itu terus terjadi, kebanyakan seperti itu. Namun di balik itu semua, para tua-tua kita yang ada di Papua sana tentu ada yang tidak senang dengan kondisi anaknya di rantau. Hal ini yang membuat mereka terprovokasi atas gejala yang terjadi di tanah rantau,” kata Vanin.

Ia melanjutkan, anak-anak Papua khususnya mahasiswa Papua, sebetulnya semua cinta akan NKRI. Mereka juga tahu kalau bangsa Indonesia beraneka ragam agama, suku, bahasa dan budaya. Vanin juga menegaskan bahwa kesetiaan orang Papua sebenarnya tidak perlu diragukan lagi. Papua sudah tidak perlu lagi diajarkan tentang nasionalisme, karena mereka tahu persis apa itu nasionalisme.

“Dulu waktu 1969, perwakilan dari pemuda-pemudi Papua pada Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat-red). Dari 8 kabupaten di Papua, ada 175 perwakilan Papua menyatakan sikap bergabung dengan Indonesia. Dan mereka cinta akan NKRI,” tegas Vanin.

Baca Juga :  Bamsoet Dukung Jenderal Andika Perkasa Sebagai Panglima TNI

Menyikapi situasi Papua yang terjadi pada saat ini, Vanin melihat seharusnya presiden memberikan solusi yang tegas. Karena jika tidak ada solusi yang benar-benar tepat untuk Papua, Vanin khawatir peristiwa tersebut akan berulang. Bahkan masyarakat Papua akan mencari solusi yang tercepat, yang sangat mungkin menjurus ke pemikiran radikal.

“Banyak mereka yang bertanya. Apa solusinya referendum? Saya pribadi katakan itu pilihan yang radikal, karena dia tidak memahami nasionalisme,” tutur Vanin.

Sementara itu Sufrin mengatakan, Indonesia mempunyai banyak keragaman mulai dari suku, ras, agama dan kebudayaan. Sebagai anak bangsa, tidak hanya Papua tapi semua anak bangsa menerima keragaman itu sebagai jati diri bangsa. Semua bersatu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Dengan begitu, nasionalisme semestinya tertanam dalam benak semua anak bangsa. Mulai dari Papua hingga seluruh Indonesia.

Baca Juga :  Gerakan Pemuda Jakarta Minta Komnas HAM Ungkap Gugurnya TNI-Polri di Papua

“Papua memang masih menyimpan rasa sakit, dalam kata rasisme. Kita sadar itu. Mari menyembuhkan luka itu dengan rasa nasionalisme yang tinggi, dan junjung tinggi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan Bhineka Tunggal Ika. Mari hargai kebudayaan Nusantara,” tegas Sufrin.

Sedangkan Rahmat selaku aktivis Papua untuk NKRI juga menuturkan bahwa Presiden harus belajar dari bung Karno. Menurutnya, irisan sejarah Papua masuk ke Indonesia sebenarnya penuh dengan dialektika.

Ia menegaskan, posisi mahasiswa Papua sendiri menjadi serba salah. Saat ini, di kalangan pemuda Papua yang sedang belajar di berbagai daerah juga sudah muncul gerakan pulang ke Papua. Kemunculan gerakan ini sendiri membuat dilema bagi para pemuda Papua yang ada di berbagai daerah.

“Kami mahasiswa Papua dengan adanya isu ini banyak gerakan untuk pulang kampung ke Papua ini jadi serba salah. Ada juga isu mahasiswa Papua yang cinta akan NKRI di Jakarta saat kita teriak cinta NKRI, saudara-saudara kita di Papua sana tiba tiba-ada yang meninggal. Ini ada apa sebenarnya?” kata Rahmat.

Ia meminta pemerintah cepat mengambil langkah dan membuat solusi untuk masyarakat Papua.

“Pemerintah harus dekati Papua, komunikasi dan diskusi. Sehingga akan terjalin hubungan yang baik,” tutup Rahmat. (OSY)

Loading...