oleh

Presiden FIDH Surati Jokowi, Kecam Langkah Indonesia Terkait Papua

SUARAMERDEKA.ID – Presiden FIDH (Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia/International Federation for Human Right) Dimitris Christopoulos mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Ia mengecam tindakan rasisme terhadap orang Papua dan meminta dilakukan penyelidikan terhadap penggunaan kekerasan secara tidak proporsional oleh polisi.

Dalam website resmi FDIH dijelaskan, Dimitris Christopoulos menulis surat terbuka tersebut pada 18 September 2019. Berdasarkan website tersebut, FDIH adalah sebuah NGO hak asasi manusia yang menggabungkan 184 organisasi dari 112 negara. Tertulis sejak 1922, FIDH telah membela semua hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya debagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

“Kami menulis kepada Anda untuk menyampaikan keprihatinan mendalam kami mengenai situasi di provinsi Papua dan Papua Barat,” jelas Presiden FIDH.

Lanjutnya, FIDH mengutuk penggunaan kekuatan yang tidak proporsional oleh pasukan keamanan dalam menanggapi protes di wilayah Papua selama beberapa minggu terakhir. Mereka juga mengutuk penembakan peluru langsung oleh polisi pada pengunjuk rasa pada 28 Agustus di Deiyai. Menurut FIDH, penembakan tersebut dilaporkan menimbulkan korban pada masyarakat sipil. Disebut pula adanya penangkapan puluhan orang Papua dengan tuduhan palsu. Termasuk tuduhan penghasutan ditujukan kepada pengacara HAM Veronica Koman pada 5 September 2019.

Presiden FIDH mengatakan, gelombang protes dipicu oleh video yang beredar viral di Indonesia. Video tersebut menunjukkan polisi menahan sekitar 40 siswa Papua di Surabaya. dan menyebut mereka “monyet”. Perlakuan ini terjadi setelah mereka diduga gagal mengibarkan bendera Indonesia pada Hari Kemerdekaan.

“Polisi menyerbu asrama mereka pada 17 Agustus. Menggunakan gas air mata pada para mahasiswa dan menangkap mereka. Kecaman rasial yang serupa digunakan oleh pasukan keamanan di Malang, Jawa Timur, dan Semarang, Jawa Tengah. Hal-hal seperti yang digambarkan dalam video adalah hal biasa bagi orang asli Papua, yang secara teratur menjadi korban rasisme dan diskriminasi, dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua,” tegas Dimitris Christopoulos.

Presiden FIDH juga merasa prihatin dengan keputusan pemerintah yang mengerahkan 6 ribu personel polisi dan militer tambahan ke Papua. Penambahan ini untuk memperkuat keberadaan polisi yang ada di wilayah tersebut. Ia juga mempertanyakan penutupan internet di provinsi Papua dan Papua Barat serta pembatasan wartawan asing meliput di Papua.

Baca Juga :  Selalu Tebar Teror, Tokoh Adat Papua Nilai Sebby Sambom Melawan Hukum dan Meresahkan Warga

“Ini bertentangan langsung dengan janji yang Anda buat pada Mei 2015 untuk mencabut pembatasan wartawan asing yang meliput Papua. Sejak itu, beberapa orang asing, termasuk wartawan, telah dideportasi dari wilayah tersebut. Dalam kasus terakhir, pada 2 September, empat warga Australia dideportasi karena diduga berpartisipasi dalam demonstrasi pro-kemerdekaan di Papua Barat pada bulan Agustus. Kami khawatir langkah-langkah ini bertujuan sebagai sarana untuk membatasi aliran informasi dari wilayah tersebut. Tindakan semacam itu merupakan pelanggaran terhadap hak atas informasi. Yang dilindungi UUD 1945 pasal 28F,” tegasnya.

Presiden FIDH  mengingatkan Presiden Jokowi bahwa situasi di Papua Barat sangat rawan. Pasalnya, sejarah marginalisasi dan diskriminasi terhadap penduduk asli Papua telah berlangsung selama puluhan tahun. Meskipun Indonesia telah melakukan beberapa rekomendasi Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council/HRC) melalui lapuran Universal Periodic Review (UPR).

Baca Juga :  Gerakan Anti Penjajahan Nekolim China, Opini Prihandoyo Kuswanto 

“Meskipun mendukung beberapa rekomendasi yang dibuat untuk Indonesia terkait dengan impunitas dan keadilan selama UPR, Indonesia telah gagal untuk mengakhiri impunitas atas pelanggaran HAM masa lalu di Papua,” kata Dimitris Christopoulos.

Berikut adalah langkah-langkah yang disarankan Presiden FIDH kepada Presiden Jokowi:
  • Secara terbuka mengutuk tindakan rasisme dan diskriminasi yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Semarang, dan Malang. Menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi.
  • Memerintahkan penyelidikan atas semua dugaan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan oleh pasukan keamanan terhadap mahasiswa Papua.
  • Memerintahkan penyelidikan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan keamanan selama demonstrasi yang terjadi di wilayah Papua.
  • Memerintahkan penyelidikan terhadap kelompok-kelompok nasionalis dan milisi yang mungkin melakukan kekerasan terhadap orang Papua.
  • Akhiri pemadaman internet di seluruh wilayah untuk mendapatkan akses informasi.
  • Memungkinkan wartawan asing untuk kembali ke provinsi Papua dan Papua Barat untuk mendapatkan akses informasi.
  • Membatalkan dakwaan palsu terhadap pengacara HAM Veronica Koman, dan aktivis serta pembela HAM lainnya yang mungkin menghadapi dakwaan serupa.
  • Akhiri penangkapan terhadap demonstran damai dan lbebaskan yang masih ditahan.
  • Segera mencabut enam poin peringatan kepolisian yang melarang demonstrasi yang dapat mengarah pada tindakan anarkis. Dan memastikan orang Papua dijamin hak mereka untuk kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, dan berserikat.
  • Menangani pelanggaran HAM masa lalu di wilayah Papua dengan mengimplementasikan secara memadai rekomendasi yang dibuat untuk Indonesia tentang impunitas atas pelanggaran masa lalu selama UPR. (OSY)
Loading...