oleh

Melawan Krisis Kemanusiaan di Indonesia dan Dunia Internasional 2020

Melawan Krisis Kemanusiaan di Indonesia dan Dunia Internasional 2020. Oleh: Yudi Syamhudi Suyuti, Koordinator Eksekutif JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional).

Tulisan ini akan saya mulai dengan kalimat, “cinta yang mula-mula”. Sebuah makna mendalam dari asal usul manusia atas cinta Nya Tuhan pada mahluk ciptaanNya bernama Adam hingga diberikan teman pendamping perempuan bernama Hawa.

Dan melalui dialektika hidupnya, pasangan Adam dan Hawa tergoda rayuan iblis hingga harus menebus sejarahnya untuk menjalankan revolusi di dunia. Peristiwa Adam ini pernah dijadikan tesis oleh filsuf Iqbal yang menyatakan bahwa turunnya Adam ke bumi bukanlah merupakan kesalahan sejarah, melainkan adalah tugas suci untuk sebuah revolusi.

Dan saya menyebut revolusi Adam memiliki tugas sebuah misi khusus di dunia untuk tegaknya kembali prinsip kemanusiaan dalam kehidupan di dunia ini. Inilah cinta mula-mula yang dimiliki Adam untuk ditebus dan diterapkan dalam sebuah tatanan manusia sekarang. Yaitu tercapainya Tatanan Rakyat Dunia Baru.

Sejak tahun-tahun yang telah berlalu, kita telah melewati banyak masa dalam kehidupan entitas manusia beserta unsur-unsur pendukungnya seperti lingkungan hidup, transaksi ekonomi, kekuasaan politik, perang dan segala persoalan yang hadir, dimana masa-masa tersebut juga hadir ajaran Tuhan, kitab suci, filsafat, ideologi hingga ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lintasan sejarah ini telah melintasi kita sebagai jalannya romantisme sejarah, cinta, kekuasaan hingga pembebasan. Ada yang menang, ada yang kalah, ada yang terjajah dan ada yang menjajah.

Melalui tulisan ini saya sengaja membatasi refleksi ke belakang masa-masa lintasan sejarah dalam batasan waktu di penghujung masa lalu, yaitu tahun 2019. Disinilah akumulasi dari lajunya gerbong kehidupan yang dinamis sebagai penutup jaman lama dan kemudian terbukanya secara alami melalui pintu waktu, yaitu sebuah jaman baru, dalam masa 2020. Dan proses tertutup hingga terbukanya pintu lama dan baru inilah yang menjadi tekanan kita sebagai penentuan kita dipusat persimpangan jalan, yaitu antara ancaman dan tantangan.

Karena saat ini kita, disaat sedang menutup dan membuka pintu dari yang lama ke yang baru, kita sedang menghadapi sebuah ancaman besar untuk kita semua, yaitu “Krisis Kemanusiaan.”

Krisis kemanusiaan bukan berarti kutukan. Dalam masa 2019 dunia memang terus menjadi pararel dengan bagian-bagian disetiap nasionalnya. Termasuk di Indonesia. Ketersambungan ini membuka mata kita lebih lebar, ketika pembantaian manusia atas dasar kedaulatan nasional atau kepentingan investasi menjadi pandangan para pemimpin atau aktor atas pengamalan kitab ajaran dunia. Dimana seolah kekuasaan hegemoni adalah kekuatan ilahi mereka.

Berbeda maknanya dengan perang yang terjadi demi kepentingan tanah, air dan kedaulatan. Meskipun dalam pandangan kebijaksanaan tertinggi, perang masih dapat diatasi dengan pendekatan negosiasi. Sehingga apapun alasannya, perdamaian adalah jalan terbaik. Namun pembantaian manusia adalah kekejaman.

Kita melihat pada 2019, Omar al Bashir mantan Presiden Sudan telah diadili oleh Pengadilan Kriminal Internasional sebagai contoh bahwa kejahatan genosida masih menjadi ancaman untuk umat manusia di dunia ini. Selain itu Aung San Suu Kyi yang dahulu adalah tokoh penting dalam perjuangan demokrasi, justru ketika berkuasa menjadi salah satu tokoh paling kejam atas kejahatan kemanusiaan di Rakhine, Myanmar.

Uyghur saat ini kembali menjadi perhatian dunia internasional atas kekejaman Cina dengan pembuatan kamp konsentrasinya. Hampir di seluruh dunia mengutuk dan memberikan sanksi terhadap Cina. Beberapa sanksi dan tekanan atas tindakan Cina muncul dari Uni Eropa dan PBB melalui pelapor khususnya yang menduga telah terjadi pembunuhan tokoh etnis Uyghur di Cina.

Baca Juga :  JAKI Mendesak KNKT Nyatakan Kapal MV Nur Allya Tidak Tenggelam

Tentu negara-negara di dunia juga mengutuk tindakan Cina terhadap masyarat Uyghur yang melanggar hak asasi manusia. Hal ini benar-benar melintasi batas agama, melainkan atas dasar solidaritas kemanusiaan dunia.

Dari kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia yang memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan sosial juga sangat solid mengutuk tindakan Cina ini.

Kita saat ini memang menghadapi masalah besar, yaitu krisis kemanusiaan. Bukan berarti kita anti terhadap prinsip kedaulatan nasional, karena dalam pandangan hak asasi manusia, kedaulatan nasional juga bagian yang diperjuangkan sebagai hak asasi setiap bangsa. Namun ketika pembantaian massal, genosida atau agresi melampaui prinsip kemanusiaan, maka kedaulatan nasional seperti apa yang hendak dicapai dalam persepsi kepemimpinan di sebuah entitas atau negara. Jika pembantaian menjadi landasan tegaknya kedaulatan nasional, apakah tidak bedanya dengan apa yang dilakukan oleh penjahat genosida, pimpinan ISIS Abu Bakr al Baghdadi yang telah mati dibunuh dalam sebuah operasi militer. Dimana ISIS dengan rekayasanya mengatasnamakan kedaulatan agama untuk tindakan genosida.

Saya pikir pemimpin Cina harus berhati-hati dengan tindakannya yang justru secara hukum internasional dan hukum adat sedang melakukan pembubaran negaranya sendiri secara tidak sengaja, atas tindakannya terhadap masyarakat Uyghur. Dan tentunya Cina sedang mengikis kedaulatan nasionalnya sendiri dalam kasus ini. Termasuk masalah penguasaan laut bebas di Cina Selatan (selain masalah Uyghur) perluasan penguasaan perairan bebas menjadi ancaman atas eksistensi Cina. Saya berpendapat, Cina harus memulai memikirkan cara untuk menghargai entitas dunia internasional yang sama-sama memiliki hak kedaulatan dan memegang aturan hukum internasional. Jika Cina hanya mengedepankan egonya sendiri, bukan tidak mungkin Cina menjadi bubar sebagai negara.

Pada prinsipnya krisis kemanusiaan bukan hanya terjadi pada pembantaian, penyiksaan, pembunuhan atau intimidasi untuk penciptaan rasa takut dan kekuatiran saja. Tetapi pemidanaan yang tidak sesuai standart hukum internasional yang di dasari prinsip kemanusiaan juga bentuk ancaman terhadap kemanusiaan. Selain itu korupsi, intoleransi ekonomi, kesenjangan sosial dan segala bentuk ketidak dilan merupakan krisis kemanusiaan. Ketidak amanan dalam menjalankan ibadah agama bagi setiap pemeluk agama juga bentuk dari krisis ini.

Di Indonesia sendiri, tahun 2019 adalah puncak dari tahun krisis kemanusiaan yang terjadi. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi seperti kriminalisasi, pembunuhan aktivis dan masyarakat saat demonstrasi saat 21, 22, 23 Mei dan 24 sampai 30 September belum dituntaskan. Dan ini merupakan rentetan persoalan politik yang masih tersisa untuk diselesaikan pemerintah seadil-adilnya. Termasuk masalah Papua dan Papua Barat, Negara harus benar-benar berkonsentrasi dalam pencapaian resolusi yang benar-benar adil.

Baca Juga :  Melawan Jokowi Paska Keputusan Mahkamah Konstitusi

Itu masalah besar yang begitu tampak karena menyangkut persoalan politik nasional dan internasional. Akan tetapi sebetulnya ada banyak masalah yang tidak menjadi magnet perhatian masyarakat, akan tetapi tidak kalah penting dalam masalah krisis kemanusiaan.

Hilangnya 25 ABK (Anak Buah Kapal) Kapal Cargo MV. Nur Allya yang hingga kini masih misterius adalah salah satu contoh banyaknya kasus krisis kemanusiaan yang tidak bisa dianggap kecil di Indonesia. Dampak tidak terselesaikannya masalah ini, akan membuat stigma dunia internasional, bahwa kelautan Indonesia rawan atas pelanggaran HAM di laut. Hal ini karena nyawa manusia pekerja pelayaran dipandang tidak bernilai.

Memang tidak semua masalah, tidak terselesaikan. Meskipun, belum sepenuhnya tuntas, masalah penyiksaan kasus penyidik KPK, Novel Baswedan telah mengalami kemajuan. Dan harapan kami, dengan tertangkapnya pelaku kekerasan pada Novel Baswedan ini dapat menuntaskan kasus tersebut.

Tentu 2019 harus menjadi evaluasi kita semua bahwa Indonesia dan Dunia Internasional sedang mengalami krisis kemanusiaan. Gejolak protes di 30 negara secara pararel yang terindikasi terjadinya krisis global merupakan desakan rakyat dunia melawan ketidakadilan global sebagai proses penyelesaian krisis kemanusiaan.

Dan tidak ada lagi alasan untuk tidak melawan krisis kemanusiaan ini dengan cara-cara yang bermartabat. Dan ini tugas semua umat manusia di dunia ini. Mulai dari aktivis, politisi, ilmuwan, penegak hukum, agamawan, kaum humanis, pengusaha dan seluruh komponen masyarakat hingga rakyat individu. Bahkan termasuk aktor-aktor negara. Melawan krisis kemanusiaan adalah menyelesaikan masalah dan mengakhiri krisis. Sumber permasalahan dari semua ini adalah sistem dan tatanan dunia yang telah membusuk. Sehingga apapun yang dilakukan menjadi masalah.

Di tahun 2020 sudah saatnya kita kembali pada kalimat pertama dalam tulisan ini, yaitu kembalinya, “cinta yang mula-mula.”

Jika anda ingin melihat masalah krisis kemanusiaan ini dengan cara pandang rasional, maka kembalilah menjadi manusia yang sederajat. Dan tentu ini merupakan suatu gerakan, dimana nilai-nilai dasar manusia diletakkan menjadi tatanan sosial.

Kita harus sadar bahwa prinsip kemanusiaan melebihi kekuatan kapital, emas, senjata pemusnah massal hingga ilmu pengetahuan yang disalah gunakan demi hegemoni dan dominasi. Karena impunitas dalam sistem kekuasaan bukan lagi berada pada masanya untuk mencapai kemajuan yang cepat. Karena justru akan memperlambat kemajuan itu sendiri.

Dan jika kita meletakkan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam seluruh sektor entitas kehidupan, mulai dari tingkat lokal, nasional hingga internasional, maka segala perbedaan, perselisihan dari segala macam pandang selalu ada titik temunya. Tanpa harus menghilangkan otonomi setiap ide dan gagasan setiap orang dan kelompok.

Dan perlawanan terhadap krisis kemanusiaan ini harus kita menangkan bersama. Sehingga pertarungan gagasan yang awalnya menghasilkan persaingan dan konflik akan bertransformasi menjadi kerjasama yang adil. Baik melalui sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan lingkungan hidup.

Selamat datang tahun baru 2020 semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai hati setiap manusia.

Loading...