oleh

Penjajahan Politik Ekonomi Dibalik Status Baru Indonesia

Penjajahan Politik Ekonomi Dibalik Status Baru Indonesia. Oleh: Djumriah Lina Johan, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam.

Sebuah berita mengejutkan penguasa beserta rakyat negeri ini. Yakni, dicoretnya Indonesia dari daftar negara berkembang. Hal ini sebagaimana diwartakan dari CNBC Indonesia, pada Minggu (23/2/2020) bahwa Amerika Serikat lewat US Trade Representative (USTR) merevisi daftar kategori negara berkembang mereka untuk urusan perdagangan internasional. Beberapa negara yang semula ada di daftar negara berkembang seperti China, Brazil, India kini naik kelas jadi negara maju. Termasuk juga Indonesia dan Afrika Selatan, sebagaimana pengumuman USTR yang dikutip dari The Star, Minggu (23/3/2020).

Revisi daftar ini sebenarnya untuk mempermudah Amerika Serikat melakukan investigasi ke negara-negara tersebut, mencari tahu apakah terdapat praktik ekspor yang tidak fair, seperti pemberian subsidi untuk komoditas tertentu.

Memang benar, pada dasarnya Indonesia merupakan negara kaya sumber daya alam maupun manusia. Namun, jika melihat latar belakang orang nomor satu di AS tersebut seorang pengusaha ulung. Maka adanya kebijakan perubahan status negeri ini di mata WTO menjadi negara maju haruslah dikritisi bukan justru bangga sebagaimana perkataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Paling tidak, ada empat hal yang bisa dianalisis dari perubahan status negara ini :

Pertama, efek perubahan status menjadi negara maju. Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, konsekuensi Indonesia ketika menjadi negara maju yaitu bakal dihapuskannya pula Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP (Generalized System of Preferences). Dengan fasilitas GSP, Indonesia sebelumnya bisa menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS. Sehingga akan membantu bagi negara berkembang dan miskin untuk terus bertumbuh.

Baca Juga :  Kapitalisasi Alat Kesehatan di Tengah Wabah Corona. Opini Djumriah LJ

“Kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk. Ekspor ke pasar AS terancam menurun khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. Ini ujungnya memperlebar defisit neraca dagang,” kata dia.

Mengutip data statistik Kementerian Perdagangan (Kemendag), Amerika Serikat (AS) merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah China. Pada 2019, nilai perdagangan Indonesia-AS mencapai USD 26,975 miliar. Ekspor Indonesia ke AS sebesar USD 17,720 miliar, sedangkan Impor Indonesia dari AS sebesar USD 9,255 miliar. Indonesia tercatat mengalami surplus perdagangan dengan AS hingga USD 8,464 miliar.

Selain itu, pencabutan status tersebut juga berpotensi menghilangkan fasilitas Official Develompment Assistance (ODA). Fasilitas tersebut merupakan alternatif pembiayaan dari pihak eksternal untuk melaksanakan pembangunan sosial dan ekonomi. Melalui ODA, negara-negara berkembang tidak hanya mendapatkan pendanaan dari pihak eksternal. Namun, mereka juga berpotensi mendapatkan bunga pinjaman yang rendah.

Kedua, perubahan status menjadi negara maju justru merugikan Indonesia. Mulai dari semakin sulit bersaing dalam kancah perdagangan internasional hingga utang negara akan semakin sukar dilunasi karena meningkatnya suku bunga bagi negara maju. Maka jelas hal ini akan berimbas pada menurunnya investasi yang diperkirakan akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi negeri. Bahkan bisa jadi negara ini akan berubah status kembali namun menjadi lebih hina di mata internasional, yaitu negara miskin.

Ketiga, adanya perubahan status justru membuktikan hegemoni AS atas perdagangan global. Hal ini jelas terlihat bahwa Trump sebagai pemimpin AS merasa telah dirugikan dengan adanya negara-negara yang berlindung di balik status negara berkembang dan disinyalir melakukan hal tersebut demi mendapatkan perlakuan istimewa dalam beberapa kesepakatan dagang di WTO.

Baca Juga :  Pangkalan TNI AL Banyuwangi Peringati Hari Nusantara Ke-19

WTO adalah lembaga resmi pelaksana perdagangan bebas. Lembaga ini sengaja dibentuk dari sebuah kesepakatan negara besar untuk meluaskan pasar. Bahkan WTO ini seolah menjadi legalitas perdagangan bebas. WTO menjadi legalitas negara-negara besar untuk meluaskan pasar mereka, dan mencari sumber daya alam baru yang murah melalui perdagangan dengan tarif nol persen, yakni tanpa hambatan. Dengan WTO, penjajahan ekonomi dunia bisa direstui.

Dengan demikian, semakin jelas bahwa WTO merupakan perpanjangan tangan AS. Maka dengan kekuasaannya tersebut Pemerintah AS bisa memperlakukan secara khusus bagi negara-negara mitra dagangnya yang dianggap tidak setara dengannya yang diklasifikasi sebagai negara berkembang. Dan ketika AS merasa dirugikan, ia bisa merevisi klasifikasi ini dan menjadikan negara berkembang menjadi negara maju. Tak lain demi tujuan keuntungan pribadi negara adidaya tersebut.

Keempat, akibat penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme global sejatinya hanyalah alat penjajahan untuk menghisap kekayaan alam dan SDM negara-negara miskin dan berkembang. Para pemilik modal adalah tuannya. Dan materi adalah tujuannya. Maka tak akan bisa negara ini menjadi negara yang independen apabila masih mempertahankan sistem rusak ini.

Dengan demikian, ketika Indonesia ingin terlepas dari cengkeraman perjanjian-perjanjian serta organisasi internasional yang mengikat dan merugikan sejenis WTO serta dari intervensi negara penjajah. Maka satu-satunya cara adalah dengan memunculkan kekuatan baru yang setara atau bahkan melebihi kedigdayaan negara sejenis AS. Bisakah? Tentu bisa. Namun, hal tersebut hanya dapat diwujudkan dengan menjadikan Islam sebagai sistem politik ekonomi serta sistem yang mengatur segala lini kehidupan. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw beserta Khulafaur Rasyidin.

Wallahu a’lam bish shawab.

Loading...