oleh

Pandemi Corona, Rumah Sakit Naluri atau Bisnis? Opini Naili Amalia

Pandemi Corona, Rumah Sakit Naluri atau Bisnis? Oleh: Naili Amalia SE MM, Pemerhati Ekonomi

Ancaman, di depan mata, tak terlihat tapi dapat merasuk ke tubuh manusia tanpa pasti. Tak terduga sebelumnya entah bagaimana bisa terjadi. Wuhan lah pencetusnya, sehingga menggegerkan semua masyarakat dunia secara nyata. Jika dipikir-pikir ini virus bahaya sekali, ditambah dengan info media masa menggambarkan kengerian kejadian di Wuhan. Hari ke hari bertambah drastis pengidap covid-19 hingga semua akses ditutup serta tidak adanya kegiatan di Wuhan.

Wuhan sebagai awalan setelah itu menyebar ke berbagai negara di Dunia seperti Korean, Italy, Iran, Jerman dan lain sebagainya. Hebatnya Cina membuat kebijakan membangun 2 rumah sakit dalam waktu yang sangat singkat dengan kapasitas banyak bagi penderita covid-19. Selain itu 23 Januari 2020 dengan resmi Cina melakukan lockdown di Wuhan sebagai solusi pemerintah untuk memutus rantai penyebaran sehingga melemahkan perekonomian Cina.

Hampir semua negara yang terkena “pendemi corona” melakukan kebijakan lockdown. Penyebaran corona yang begitu cepat pada setiap negara membuat kualahan untuk mengatasi masalah ini. Lockdown diterapkan di Wuhan Cina dianggap cara paling efektif untuk memberhentikan matarantai covid-19. Beberapa negara telah meniru cara lockdown seperti halnya Italia 9 Maret – 3 April. Masih banyak lagi negara melakukan kebijakan tersebut, diantaranya Manila, Polandia, Filipina, Lebanon, Prancis dan masih banyak lagi.

Entah bagaimana awal virus ini muncul, karena ini virus baru, sehingga belum ada vaksin maupun obat yang pasti. Mirisnya lagi, sangat cepat penularannya dan itupun tanpa disadari serta tak dirasakan dengan pasti oleh manusia. Dianalisir virus tersebut muncul dari hewan kelelawar, karena Wuhan terkenal dengan masyarakat pemakan kelelawar. Tapi nyatanya itu bukan unsur pastinya yangn jelas tanpa makan kelelawarpun dan tanpa sakitpun bisa kena covid-19.

2 Maret 2020, menjadi hari mengejutkan semua warga negara Indonesia yang sebelumnya aman damai tentram. Pemerintah resmi mengumumkan ada 2 warga Indonesia positif covid-19. Bagaikan manusia “tertampar di siang bolong” tanpa salah. Bagaimana tidak, sebelumnya dengan lantang pemerintah tenang dan mengumumkan akan aman dari corona tapi nyatanya harus menghadapi warga yang positif tanpa persiapan sebelumnya.

Tidak dapat dipungkiri waktu begitu cepat. Semakin hari semakin bertambah warga dinyatakan positif covid-19. Seperti yang tidak diduga pemerintah kebingungan dan tidak ada banyangan pula masalah rencana, antisipasi serta upaya penanganan pasien. Seolah-olah semua “mendadak” bergerak karena pertama kali 2 orang dinyatakan positif corona.

Heboh, gembar, bahkan viral. Berita bergerak dengan cepat respon masyarakatpun “bercuit” dengan berbagai komentar. Semua masyarakat heran tercengang tidak beda jauh dengan pemerintah yang tidak pernah menduga sebelumnya. Data menyebutkan bahwa dari tanggal 2 hingga sekarang meningkat sangat drastis. Peningkatan yang sangat signifikan di Ibu Kota Jakarta. 2 Maret 2 orang dinyatakan positif hingga update terakhir hingga tanggal 22 Maret mencapai 514 orang positif covid-19.

Bukan semata-mata kasus Indonesia semata, corona adalah kasus dunia. Hampir semua dunia mengalami dan merasakan pilunya covid-19 menyerang masyarakat. Worldometer (20/3/20) mengatakan kasus corona didunia mencapai 271.629 positif covid-19, 87.403 orang dinyatakan sembuh, 11.280 orang dinyatakan meninggal dengan angka tingkat kematian 4,15%. Tidak lain China negara terbanyak masyarakatnya positif codvid-19 yaitu mencapai 81.250.

Jika dikulik lebih dalam Indonesia merupakan negara dengan tingkat kematian yang tertinggi setelah Italia yaitu mencapai 8,67%. Total terakhir 21 Maret meninggal dunia sebesar 38 orang dan dinyatakan sembuh sebanyak 20 orang.

Baca Juga :  SDM di Bali Bermutu Rendah, Sebuah Opini I Wayan Budiartawan

Komentar Publik?

Setelah pemerintah menyatakan ada warga negara positif covid-19 masyarakat makin gelisah. Tanpa adanya aba-aba untuk penanganan diri hingga makin banyak masyarakat yang terjangkit. Setelah itu dikejutkan dengan warga Surakarta meninggal karena covid-19. Sehingga pemerintah dengan resmi mengatakan bahwa ini merupakan bencana nasional (14/3/2020).

Banyak diantara masyakat menengah atas sangat khawatir. Kebijakan sangat tepat yaitu dengan meliburkan kegiatan pendidikan semalam 2 minggu. Selain itu himbauan dari pemerintah pusat untuk menghindari krumunan atau perkumpulan seperti halnya kegiatan CFD, konser, hiburan dan lain sebagainya. Banyak dari mereka juga melakukan WFH (Work From Home) sebagai langkah pencegahan corona.

Kekhawtiran menaun sehingga semua kompak menyuarakan”#dirumahaja”. Keep social distancing sebagai solusi pencegahan penularan corona yang tidak akan pernah tau terjadinya. Sampai-sampai hampir semua pejabat tinggi di negeri ini melakukan rapat melalui “video call”. Langkah “alay” atau “keterlaluan khawatirnya” bagi golongan menengah atas ini bukan sesuatu yang berlebihan. Tetapi sejatinya harus sadar dengan sendirinya akan bahaya corona, sehingga mengantisipasi dengan sendirinya.

Berbanding terbalik, respon masyarakat golongan bawah. Kebanyakan dari mereka justru masih menghina akan adanya corona dan merasa tidak takut. Banyak juga diantara mereka justru corona dijadikan bahan “lelucon”. Seperti beberapa hari lalu penulis mendapati salah seorang pak ogak persimpangan yang memberikan aba-aba belok dengan sebutan “yuk corona belok aman”. Bagi mereka lelucon tetapi rasanya miris mendengarnya.

Tidak lain karena kurang dilandasi akan perkembangan pola pikir. Hal ini membuat tidak respek terhadap sesuatu untuk saling menghargai atas sesuatu. Kurangnya rasa sadar diri serta terlalu meremehkan akan pedemi corona yang ada didepan mata. Padahal semua orang tidak akan tahu bagaiman covid-19 akan merasuki tubuh manusia “dengan cara apa dan melalui apa”. Reaksi kaum “santuy” menanggapi corona. Tidak banyak juga, justru menghina “para pemikir” dengan anggapan tak mampu menangani kasus ini. Tolong pikirkan “corona tidak mudah saudara”.

Sikap Rumah Sakit

Pada dasarnya hakikat rumah sakit merupakan tempat khusus yang dibuat untuk menolong dan mengatasi masalah kesehatan. Tidak lain didalamnya sangat memikirkan hal “laba” dari setiap pelayanan jasa. Proses operasional didalamnya dijalankan oleh berbagai ahli profesi profesional sesuai bidangnya untuk mendedikasikan diri atas aspek menolong nyawa seseorang. Satu rumah sakit dijalankan berbagai staf ahli profesi sebagai naungan mereka mengais nafkah. Profesi ini tergolong masih dibutuhkan banyak oleh negeri ini salah satunya tenaga medis selain tenaga pendidik.

Pengalaman penderita petama di Indonesia menyatakan corona dapat menyerang “siapa saja dengan kondisi bagaimana saja”. Pada dasarnya semua orang harus sadar akan diri masing-masing mulai menjaga stamina, menjaga mobilitas serts menjaga sikap sosial. Mulai 16 Maret 2020 semua rumah sakit secara kompak menerapkan kebijakan pasien tidak boleh dijenguk. Ada jugalah nitizen menentang sikap kebijakan ini. “Masak jenguk ndak boleh segitunya banget”. Padahal jelas ini merupakan langkah untuk mensadarkan masyarakat agar sadar akan penyebaran virus dan rentan tertular dengan orang yang sakit.

Banyak sekali polemik di negeri ini tentang corona. Beberapa hari lalu dunia maya heboh atas vidio seorang wanita mengatasnamakan sebagai PDP (Pasien Dalam Pengawasan) tetapi ditolak oleh salah satu pihak rumah sakit. Resah?, kawatir?, jelas karena wanita tersebut rentan menularkan codvid-19, tapi tak adanya sentuhan dari rumah sakit. Bahkan tak ada hati untuk menolong dan dilepaskan begitu aja “tak bertanggung jawab”.

Baca Juga :  Ikatan Fisioterapi Indonesia Dukung Kebijakan Social Distancing

Dimana hati nurani rumah sakit? Dengan tega dan lantang menolak pasien PDP tanpa pegawasan serta pengarahan. Seolah mereka tak “peduli” sehingga lepas tangan. Corona sangat dibenci dan dihindari banyak orang. Pikirannya “jika sebuah rumah sakit menangani corona itu artinya rumah sakit tersebut akan sepi dari pasien lain”. Setiap masyarakat akan beranggapan ada corona didalamnya, sehingga menghindari dan tidak mau untuk kesitu. “Jelas takut tertular”. Disitulah rumah sakit akan merasa rugi atas kekhawatiran sepi dari pasien. Seperti rumah sakit Hasan Sadikin sekarang jarak beberapa km dari situ menjadi ”red zone” sebagai salah satu pusat penanganan corona di Baandung.

Dipertanyakan sisi naluri rumah sakit?. Alasan ampuh menolak pasien adalah “ruangan penuh” tidak ada tempat. Tidak munafik jika emang rumah sakit mengutamakan “bisnis” karena untuk perputaran operasional dan menggaji semua orang yang menaung. Setidaknya punya “etika”. Pembelajaran luar biasa dari kasus diatas, dilain bisnis harus tetap menonjolkan nurani untuk menolong. Kebanyakan masyarakat pasti akan berkunjung di rumah sakit terdekat. “Wajib hukumnya” rumah sakit untuk menolong dan bertanggung jawab atas pasien yang datang apapun keadaannya.

Membludaknya pasien corona membuat kewalahan tim tenaga medis yang tersedia. Penanganan pasien corona dipusatkan pada rumah sakit milik pemerintah. Sayangnya di Indonesia bukan hanya corona saja yang harus segera ditangani, tim medis juga menangani kasus lain dengan kategori bahaya sepert DBD. Sangat terasa tidak adanya “equivalensi” antara tim medis dan pasien. Pemerintah seharusnya mengambil langkah untuk menambah pasukan tenaga medis. Harusnya sih pemerintah melibatkan rumah sakit swasta di wilayah terbanyak positif corona, atas dasar rasa kemanusiaan. Catatan rumah sakit juga harus “menerima”.

Apresiasi luar biasa bagi tenaga medis bertaruh nyawa. 3 dokter meninggal dunia akibat terpapar covid-19 suatu keberanian tulus bertaruh risiko besar demi kemanusiaan. Dukungan muncul dari pemerintah mendatangkan berbagai alat serta obat dari Shanghai, Tiongkok. Berbagai upaya akan dilakukan pemerintah untuk membasmi corona kemaslahatan umat bersama. Wisma atlit disulaplah menjadi “Rumah Sakit Darurat Corona”. Biaya tak tanggung-tanggung di gelontorkan 27 T untuk penanganan corona. Tak cukup pemerintah dan tim medis bekerja keras, tapi semua aspek termasuk  “masyarakat berbagai golongan” harus waspada dan jaga diri di “rumah kita”.

Nyata? Memang, corona menyerang dunia ini hingga masuk ke Indonesia. Masyarakat bertanggapan berbeda-beda mulai dari yang khawatir banget hingga tidak peduli bahkan corona dibuat bahan bercandaan. Miris memang, virus yang tidak pernah tau bagai mana munculnya, belum pernah ada sebelumnya, gasnas sekali penelurannya membuat orang meringis ketakutan. Belum ada cara ampuh memutus rantai, tak adapula obat pasti membunuhnya.

Hakikatnya setiap manusia punya daya imun berbeda dan covid-19 merupakan virus tergolong self limited disease / self healding (Sembuh dengan sendirinya). “Bukan berarti tak berbuat apa-apa”, tapi harus terus berusaha melawan jaga stamina, jaga kesehatan, selalu fit, berpola hidup sehat jangan lupa #dirumahaja. “Sadarlah akan kesehatan” jangan sungkan langsung kedokter jika terjadi sesuatu pada diri.

“Jangan panik” Keep social distancing untuk memutus rantai serta tetaplah #dirumahaja sebagai langkah menghindari virus covid-19. Langkah paling ampuh adalah selalu berdoa kepada Allah agar selalu dalam lindungan-Nya.

Loading...