oleh

Balada Negeri +62 Hadapi Corona. Opini Yulida Hasanah

Balada Negeri +62 Hadapi Corona. Oleh: Yulida Hasanah, Aktivis Muslimah Jember.

Sedih, ketika dunia termasuk Indonesia belum mampu keluar dari wabah Corona. Tak terpikir bahwa virus yang berukuran amat sangat kecil, Allah SWT beri qadar (kemampuan) begitu cepat menginfeksi organ tubuh khususnya pernapasan manusia. Dikutip dari detiknews.com, pemerintah Indonesia telah memperbarui data kasus akibat virus Corona atau Covid-19. Hingga Ahad (29/03/2020) tercatat kasus positif Corona bertambah menjadi 1.285 kasus. Dengan pasien meninggal 114 orang dan 64 pasien dinyatakan sembuh. (Inews.com)

Sayangnya, meskipun bisa jadi data tersebut terus mengalami peningkatan dari hari ke hari, namun masih belum mengundang kegelisahan yang amat sangat di kalangan pemerintah pusat. Jikapun ada, kegelisahan itu hanya berhenti pada solusi yang bersifat parsial saja. dengan melakukan ‘rapid test’ atau tes cepat para pejabat, anggota DPR dan keluarga mereka. SelainSelain itu juga akan diberlakukan di kantor-kantor dan instansi yang mendapat rekomendasi dari Kementrian Kesehatan. Sedangkan di kalangan rakyat, edukasi dan sosialisasi untuk waspada penyebaran virus hingga hari ini masih dilakukan, namun hal ini juga tak berjalan optimal. Hasil edukasi salah satunya adalah menerapkan social distancing atau membatasi untuk keluar rumah dan berkumpul ternyata tak semua bisa paham. Wajar, karena media edukasinyapun terbatas.

Sungguh memprihatinkan, di saat banyak kalangan menyuarakan lockdown, Indonesia justru menolak dengan alibi menjaga perekonomian rakyat agar terus berjalan. Pemerintah lebih memilih langkah yang amat lamban dan terlihat kurang serius menangani wabah Covid-19 di negeri ini. Dengan dalih meniru metode Korea Selatan, rapid tes menjadi pilihan.

Apakah ketika diketahui jumlah rakyat yang positif Corona telah selesai masalahnya? Tentu tidak, sebab tes cepat ini hanya berfungsi untuk mendeteksi saja. Sedangkan pemulihannya, juga butuh karantina, obat-obatan dan perlengkapan kesehatan pendukung lainnya. Sudahkah hal ini disiapkan semua? Terlebih, menurut keterangan tertulis Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS LatKLIn), rapid test belum diketahui validitas dan akurasinya. (kompas.com)

Baca Juga :  Mudahkan Impor Atau Kita Harus Siapkan Eskavator

Menolak Lockdown, Ciri Negara tak Mandiri

Tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia masih berada dalam bayang-bayang kapitalisme. Roda perekonomian yang ada juga merupakan buah karya sistem ekonomi kapitalis yang diadopsi oleh negeri ini. Kesejahteraan yang masih menjadi PR besar negara akhirnya makin diperburuk oleh hadirnya wabah Corona.

Adanya kebijakan pemerintah mengimpor 500.000 alat tes cepat dari Cina ini makin mempe jelas bahwa negeri ini masih belum bisa lepas dari ketergantungannya pada Cina. Selain itu, negeri ini juga sangat terikat dengan arahan lembaga kesehatan Internasional dalam mengambil kebijakan. Apalagi, penanganan yang terkesan lamban dari pemrintah ini malah dipuji oleh WHO (World Healt Organisation). Menurut mereka, Indonesia sudah optimal dalam menangani wabah Corona ini, dan strategi untuk menanggulangi wabah telah sesuai standar Internasional. (Jawapos.com)

Ironis memang, saat kemandirian negara tergadai, hilanglah kedaulatan dalam membuat kebijakan untuk memimpin dan mengatur segala urusan rakyatnya. Termasuk saat menghadapi ganasnya wabah Corona. Susahnya hidup di dalam sistem sekuler kapitalis seperti saat ini semakin nyata dirasakan. Bagaimana tidak, di saat ribuan manusia terpapar virus ini, ratusan nyawa juga terus berjatuhan dari hari ke hari. Tak tau kapan wabah ini akan selesai.

Memang benar, saat negara memilih lockdown. Maka mau tidak mau negara juga harus hadir secara langsung untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya selama masa lockdown diberlakukan. Namun tentu saja hal ini tak sejalan dengan konsep negara dalam sistem kapitalis. Sebab dalam kapitalis, kebijakan negara lahir di atas asas manfaat, jadi untung rugi menjadi standarnya. Dan menerapkan lockdown sama dengan merugikan negara.

Oleh karena itu, saat negeri ini tak mampu menciptakan kesejahteraan dan enggan melayani kebutuhan pokok rakyatnya, seperti pangan, kesehatan, dan keamanan selama lockdown diterapkan akhirnya keluarlah alibi ‘menolak lockdown demi menjaga perekonomian rakyat.’

Khilafah, Negara Mandiri Atasi Wabah

Islam adalah agama yang Allah SWT turunkan kepada seluruh manusia melalui utusan, Rasulullah Muhammad Saw. Sebagai agama yang sesuai fitrah manusia, Islam begitu menghargai dan menjaga betul nyawa manusia. Sedangkan Khilafah adalah satu-satunya Institusi yang menerapkan sistem Islam secara sempurna.

Baca Juga :  GNPF Ulama Akan Gelar "Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional"

Khilafah merupakan cerminan sebuah negara yang berdaulat dan mandiri. Dengan penerapan sistem Islam, Khilafah mampu menjamin layanan kesehatan bagi seluruh rakyat. Termasuk saat suatu wilayah di dalam kekhilafahan diserang wabah. Pengobatan dan pelayanan kesehatan digratiskan bagi seluruh warga negara yang membutuhkannya, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial dan agama, dengan pembiayaan bersumber dari Baitul Mal. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan Khalifah setelahnya, seperti kisah Umar bin Khaththab yang mengalokasikan anggaran Baitul Mal untuk mengatasi wabah lepra di Syam. Di saat yang sama, Khalifah sigap menangani wabah dengan memberlaukan Lockdown (karantina total) karena mengikuti syariat Nabi Saw ketika menghadapi wabah, “Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Selain itu, Khilafah menjamin ekonomi dan kebutuhan hidup warganya khususnya selama masa Lockdown. Syariat Islam telah memberikan kewenangan kepada pemimpin (Khalifah) untuk mengelola sumber daya alam yang melimpah ruah. Dikelola negara untuk kemashlahatan warganya, hasil pengelolaanya menjadi harta milik umum yang dipakai untuk mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya. Karena hal itu merupakan tanggung jawab negara dan pemimpin (Khalifah), sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw:

“Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggunjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari)

Oleh sebab itu, sangat masuk akal jika semakin banyak umat Islam yang menginginkan kembalinya Khilafah. Sebab, kehadirannya dalam rangka melayani urusan umat dengan berlandaskan hukum-hukum syariah-Nya. kehadiran Khilafah juga akan menjadikan negeri ini optimis hadapi wabah dengan Lockdown. Hasbunallah wa ni’mal Wakil ni’mal Maula wa ni’man Nashiir

Loading...