oleh

Menakar Peran Ibu di Masa Pandemi, Opini Heni Kusmawati

Menakar Peran Ibu di Masa Pandemi
Oleh : Heni Kusmawati, S.Pd (Member Akademi Menulis Kreatif Bima)

Mengantisipasi tersebarnya virus corona di lembaga pendidikan, sejumlah provinsi meliburkan sekolah dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA selama dua minggu yakni sejak tanggal 16 Maret hingga 30 Maret 2020. Sebagai gantinya proses belajar dilakukan di rumah dengan sistem online. Untuk itu, orang tua khususnya ibu berperan besar dalam mengawasi proses pembelajaran di rumah. Meskipun terlihat menyenangkan, akan tetapi, banyak orang tua yang stres akan hal tersebut.

Sebagai contoh, pernyataan seorang wali murid yang mengaku stres karena pembelajaran anaknya di rumah. Banyak tugas yang diberikan oleh guru setiap harinya, ditambah lagi sang anak yang acuh tak acuh dengan tugas tersebut, mereka justru asyik bermain gadget di gawainya. Di sisi lain, seorang ibu yang tidak semua mata pelajaran di sekolah diketahuinya, seperti bahasa inggris, dengan terpaksa menggunakan google translate untuk membantu mengerjakan tugas anaknya tersebut. Adapun dari orang tua siswa lain mengeluhkan terkait tidak semua orang tua bisa menyediakan fasilitas yang mendukung (Hp) untuk melakukan program belajar di rumah (Republika.co.id).

Tidak hanya dari orang tua yang mengalami stres dengan program belajar di rumah, peserta didik pun merasakan hal yang sama. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima aduan terkait anak-anak yang stres akibat diberi banyak tugas secara online oleh semua guru mata pelajaran di sekolah.

Fakta di atas menunjukkan ketidaksiapan seorang guru dan juga seorang ibu dalam membimbing dan mendidik anaknya saat belajar di rumah. Hal ini karena proses pembelajaran sudah dilimpahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan. Sehingga dalam kondisi seperti ini wajar orang tua mengaku stres.

Baca Juga :  Ribuan Buruh Gelar Aksi Solidaritas untuk Palestina

Semestinya, walaupun anak sudah mengenyam pendidikan formal, bukan berarti tanggung jawab ibu telah berakhir. Seorang anak masih membutuhkan pengawasan dan pendidikan dari seorang ibu. Apalagi dalam sistem pendidikan sekuler saat ini, seseorang dituntut untuk cerdas dari sisi intelektual namun moral atau akhlaknya tidak sejalan dengan kecerdasan intelektualnya.

Sistem pendidikan sekuler juga menjadikan output pendidikan baik laki-laki maupun perempuan menjadi orang yang materialis. Seakan-akan, orang-orang mengejar pendidikan tinggi demi mendapatkan pekerjaan. Kalau tidak berpendidikan, mustahil mendapatkan pekerjaan, kalaupun ada pekerjaan palingan hanya jadi ART atau tukang bersih-bersih. Karena tuntutan pendidikan seperti itu, maka wajar banyak anak-anak yang mengikuti proses belajar di sekolah hanya sebatas formalitas. Sehingga tidak ada perubahan yang cukup bagus terhadap sikap dan tingkah laku peserta didik.

Hal itu juga diperparah dengan adanya program kesetaraan gender, dimana perempuan harus sama dengan laki-laki. Sama-sama bisa bekerja full dalam sehari, menjadi pemimpin dan lain-lain. Seorang perempuan sekaligus ibu rumah tangga lebih memilih bekerja di luar rumah meninggalkan kewajiban sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya. Padahal kesetaraan gender akan memalingkan fungsi keibuan menuju pemberdayaan ekonomi.

Inilah yang diinginkan oleh kafir barat sebagai pengusung sistem kapitalisme sekuler yang rusak. Jika kewajiban ibu diabaikan, maka nasib anak-anak juga akan terabaikan. Anak-anak akan menjadi pelaku kriminalitas seperti menjadi preman, pembegal, pemerkosa, penjambret hingga menjadi pembunuh.

Jika demikian, bagaimana mungkin bisa menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian yang bagus? Sementara orang tua justru sibuk dengan pekerjaan di luar rumah. Apalagi pada masa physical distancing (menjaga jarak fisik) ini, merupakan momen yang bagus bagi seorang ibu untuk dekat dengan keluarga serta menanamkan nilai-nilai Islam sehingga terbentuk kepribadian Islam dalam diri seorang anak. Waktu 14 hari adalah waktu yang cukup lama untuk mengevaluasi dan mengontrol perkembangan kepribadian seorang anak.
Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik perlakuannya kepada keluargaku.” (HR Ibnu Majah).

Baca Juga :  Majelis Hakim Menolak Gugatan PMH SPRI dan PPWI Kepada Dewan Pers

Oleh karenanya dalam Islam, keluarga adalah pendidikan pertama bagi anak-anak. Dalam lingkungan keluarga, anak-anak dituntut untuk memiliki kepribadian Islam, dimana ilmu dan amalannya sejalan. Sehingga ketika dalam lingkungan keluarga telah terbentuk kepribadian Islam, maka lingkungan sekolah tinggal menguatkannya kembali. Ini juga akan memudahkan pihak sekolah dalam mendidik generasi-generasi yang berprestasi dan berakhlak mulia.

Di masa kekhilafahan, banyak generasi-generasi emas yang bermula dari didikan seorang ibu. Khalifah Harun Al-Rasyid, beliau menjadi khalifah berkat pengasuhan dan didikan dari seorang ibu yang bernama Khaizuran.

Kemudian seorang pemuda pembebas Konstantinopel yakni Muhammad Al-Fatih. Sejak kecil setiap selesai melaksanakan sholat subuh selalu diajarkan ibunya tentang geografi, garis batas wilayah Konstantinopel. Tak hanya itu, ibunya telah menanamkan pada diri Muhammad Al-Fatih, bahwasannya dia akan membebaskan Konstantinopel. Dan ternyata, hal itu menjadi kenyataan. Di usianya yang masih muda yakni 21 tahun berhasil membebaskan Konstantinopel.

Lahirnya Imam-imam besar seperti imam Malik, imam Hambali, imam Syafi’i dan lain-lain juga dari keberhasilan ibu dalam mendidik anak-anaknya. Inilah bukti keteladanan ibu dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi pemimpin, pejuang dan menjadi ulama besar.
Wallaahu a’lam.

Loading...