Solusi Pendapatan Daerah di Masa Wabah. Oleh: Yuliyati Sambas, S.Pt, Pegiat literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK.
“Corona adalah Musuh Bersama.” Tagline ini demikian melekat di benak masyarakat akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, ujian global berupa tersebarnya wabah virus Covid-19 ini telah memengaruhi hampir setiap denyut kehidupan. Termasuk di antaranya perekonomian masyarakat dari tataran makro hingga mikro. Keberadaannya seolah serupa “musuh” yang diharap segera kepergiannya.
Tak terkecuali apa yang terjadi di Jawa Barat khususnya Kabupaten Bandung. Sebagaimana dilansir oleh dara.co.id (23/03/2020) bahwa Kepala Badan Pendapatan Asli Daerah (Bapenda) Kabupaten Bandung, Usman Sayogi mengatakan, sejak virus Corona mulai mewabah di Indonesia termasuk Jawa Barat, PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Bandung mengalami penurunan.
“Hampir semua sektor Pajak Daerah saat ini terkena imbas dari virus Corona. Kalau kemudian wabah itu terus berlanjut dan meningkat, ada kemungkinan ekonomi makro tidak bisa tercapai sesuai terget,” kata Usman saat ditemui di kantornya, Soreang, Kabupaten Bandung, Senin (23/3/2020).
Hal senada diungkap oleh Bupati Kabupaten Bandung, Dadang Naser. Usai menghadiri Rapat Koordinasi Dampak Covid-19 terhadap Perekonomian Jawa Barat serta Launching West Java Economic Society 2020 dan Institut Pembangunan Jabar. Dimana acara tersebut digelar melalui video conference bersama Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil serta semua bupati dan walikota se-Jabar, di Bale Riung Soreang, Kamis (19/3/2020).
“Isu Covid-19 ini, pastinya berimbas pada penurunan pendapatan. Karena ada imbauan untuk penutupan tempat pariwisata, keramaian, hotel dan restoran. Dengan pola kebijakan negara saat ini, akan berdampak kepada pendapatan daerah dan nilai tukar mata uang rupiah,” ungkap Bupati Dadang Naser. (Tribun Jabar.id, 24/03/2020)
Problem tersebut bukan hanya terjadi di lingkup Kabupaten Bandung saja. Hampir semua wilayah yang terdampak virus Corona mengalami hal serupa. Sebutlah Kota Bekasi, melalui Wakil Walikotanya, Tri Adhianto mengatakan bahwa penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bekasi imbas pandemi corona (Covid-19) cukup besar.
Dia menjelaskan, penurunan ini terutama akibat jasa dan roda perekonomian di pusat perbelajaan dan restoran yang menurun bahkan ditutup sementara. (Tribun Jakarta.com, 31/03/2020)
Begitupun yang terjadi di DKI Jakarta yang saat ini menjadi wilayah terdampak virus Corona paling tinggi di Indonesia. Sejak awal Maret bahkan melalui Komisi C DPRD Provinsi DKI Jakarta mengusulkan kepada Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) untuk segera merasionalisasi proyeksi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp50,01 triliun pasca merebaknya Corona Virus. (dprd-dkijakartaprov.go.id)
Sebagai pengampu tanggung jawab masyarakat di lingkup daerah, tentu tak mengherankan jika para kepala daerah beserta jajarannya mengkhawatirkan kondisi tersebut. Pada kenyataannya sumber-sumber pemasukan daerah untuk berlangsungnya pengurusan amanah, yang terbanyak berasal dari pajak dan retribusi daerah. Sebagian kecil saja masuk dari pendapatan dinas-dinas, BUMN dan lain-lain. (Wikipedia)
Padahal jika ditengok dari arah kekayaan bumi yang ada di tiap wilayah, bangsa ini sungguh demikian kaya. Mulai dari kekayaan di perut bumi, daratan, lautan dan potensi alam lainnya. Menjadi tak masuk akal jika didapati ada wilayah yang masih dalam taraf kekurangan/miskin di masa wabah sekalipun. Tentu jika dikelola dengan mekanisme yang tepat.
Hal itu bisa dirunut mulai dari kaidah otonomi daerah yang dianut. Dimana telah mewajibkan masing-masing mandiri mengurusi wilayahnya. Menggunakan pos-pos PAD sendiri-sendiri.
Mereka seolah tidak saling peduli dengan apa yang terjadi pada daerah lain, bahkan dalam satu kawasan bangsa sekalipun. Jika dalam keadaan normal daerah dengan sumber PAD rendah menjadi wilayah “miskin”, bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika muncul musibah semisal merebaknya wabah seperti yang terjadi sekarang. Ini sungguh merupakan konsekuensi logis dari diberlakukannya sistem ekonomi kapitalis khas demokrasi.
Hal di atas tak mesti terjadi jika sistem ekonomi diarahkan pada pandangan Islam. Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki seperangkat aturan dan sistem kehidupan paripurna yang terpancar dari akidah yang kokoh. Ia pun hadir dari Zat yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan bagi setiap makhluk-Nya.
Terkait sistem ekonomi, Islam memiliki pandangan yang khas dimana mekanismenya bersifat sentralistik. Islam memandang bahwa seluruh wilayah negara ada dalam satu kesatuan kepemimpinan. Tidak ada wilayah yang independen dari kekuasaan pusat layaknya federasi atau juga otonomi daerah. Maka dalam hal pembiayaan dan pengaturan belanja negara pun dianggap satu, tanpa memandang lagi wilayahnya. Jika pendapatan sebuah wilayah tidak sanggup mem-back up pengeluaran (kebutuhan), maka wilayah tersebut akan disubsidi oleh pemerintah pusat hingga mencukupi. Hal ini karena strategi penganggaran di tiap wilayah didasarkan pada kebutuhannya, bukan pemasukannya. Maka yang terjadi pada saat di satu wilayah terdampak oleh wabah penyakit atau masa paceklik, wilayah lain yang tidak atau minim terdampak melalui kekuasaan pusat akan didorong untuk membantu wilayah tersebut.
Adapun tuduhan tak berdasar dari sebagian kalangan yang merasa khawatir akan terjadi kekuasaan yang diktator otoriter, hal ini tidaklah terbukti. Sungguh sistem ekonomi Islam telah digali dari nash-nash syara dan dicontohkan demikian gemilang oleh Rasulullah saw. sebagai teladan umat sepanjang masa. Dilanjutkan oleh para khalifah (pemimpin pemerintahan tertinggi dalam sistem Islam) dalam rentang kekuasaan yang berabad lamanya, juga cakupan wilayah yang demikian luas. Telah terbukti secara historis betapa sistem ekonomi Islam berhasil memberi kesejahteraan pada setiap individu masyarakat yang ada di bawah kekuasaannya.
Sementara dari arah pendapatan yang di masa kapitalis saat ini berasal dari pajak, demikian banyak kelemahannya. Mulai dari prinsip keadilan yang tidak terakomodir dalam prinsip ini. Dimana pajak akan dibebankan kepada tiap individu tak memandang ia orang berada atau kekurangan. Semua terkena imbas pajak. Jikapun pajak diarahkan pada ranah-ranah semisal perusahaan besar atau tempat wisata. Namun pada kenyataanya hal itu akan dibebankan oleh para pengusaha pada konsumen yang menjadi user dari perusahaan dan tempat wisata tersebut.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, sungguh didapati betapa sistem ekonomi Islam demikian memegang prinsip keadilan yang hakiki. Mampu mendistribusikan harta kekayaan pada setiap wilayah dan individu. Sehingga sejatinya permasalahan pendapatan daerah di masa wabah akan terpecahkan dengan merujuk pada sistem ekonomi Islam.
Namun demikian, pelaksanaan sistem ekonomi Islam akan berjalan sempurna jika ditunjang oleh penerapan sistem kehidupan paripurna yang juga merujuk pada ideologi Islam. Ia hanya mampu diterapkan dengan sempurna dalam sistem pemerintahan yang khas yakni Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.