oleh

HRS Center: Pemukulan Habib Umar Assegaf Contoh Buruknya Budaya Hukum Aparat

SUARAMERDEKA.ID – Direktur  (HRS) Center Dr H Abdul Chair Ramadhan SH MH menyebut pemukulan terhadap Habib Umar Assegaf adalah salah satu contoh buruk budaya hukum aparat di Indonesia. Tindakan yang dilakukan oleh aparat yang menjalankan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di check point Exit Tol Satelit Surabaya, Rabu (21/5/2020) lalu, bahkan disebut tergolong penganiayaan ringan.

Menurut Abdul Chair, tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak pantas dilakukan terhadap Ulama Besar pengasuh Majelis Roudhotus Salaf dan ketua Al-Bayyinat Bangil Jawa Timur. Ia mnjelaskan, Habib Umar Assegaf bersama dengan Almarhum Habib Ahmad bin Zen Al Kaff dan Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff dalam Al-Bayinat yang disebutnya sebuah organisasi ternama, menentang perkembangan ajaran sesat Syiah Iran di Indonesia.

“Aparat yang bertugas dalam rangka PSBB seharusnya lebih arif dan mampu untuk menahan diri. Tindakan pemukulan itu tergolong penganiayaan ringan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 352 ayat 1 KUHP. Dengan ancaman penjara selama-lamanya tiga bulan. Oleh karena itu, pelaku harus diproses secara hukum,” katanya di Jakarta, Jumat (22/5/2020).

Baca Juga :  Rayuan Maut Opung Luhut Sang Utusan Jokowi

Abdul Chair menambahkan, terkait dengan pelanggaran PSBB, ia sudah berkali-kali mengatakan tidak ada sanksi hukum yang mengaturnya. Menurutnya, pembatasan kegiatan di luar rumah dalam konteks PSBB sebagaimana diatur dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 sama sekali tidak mengandung norma hukum ancaman pidana.

Menurut Direktur HRS Center, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menjadi dasar berlakunya Peraturan Pemerintah 21 Tahun 2020, tidak ditemukan adanya norma hukum dimaksud. Begitu pun dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

“Oleh karena itu, terhadap masyarakat yang tidak mengindahkannya tidak dapat kenakan sanksi hukum. Termasuk terhadap Habib Umar Assegaf,” imbuhnya.

Lanjutnya, Polri yang akan menindak pelaku pelanggaran PSBB dengan kekuataan Pasal 212 KUHP juga tidak tepat. Pasal tersebut, menurut Abdul Chair, harus menunjuk adanya regulasi yang menjadi dasar kewajiban seseorang dengan disertai sanksi hukumnya.

“Dengan demikian, tidak dapat diterapkan dalam mengawal kebijakan social distancing. Sebab norma larangan dengan ancaman pidana memang tidak terdapat dalam regulasi tentang PSBB. Jadi, bagaimana mungkin ketentuan Pasal 212 KUHP maupun pasal lainnya dapat diterapkan,” ujarnya.

Baca Juga :  Pidato Pembukaan Sidang Tahunan MPR RI, Bamsoet: Perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara

Abdul Chair menegaskan, pemukulan terhadap Habib Umar Assegaf merupakan preseden buruk yang dapat mengarah kepada kekurangajaran terhadap para Habaib, keturunan Nabi Muhammad SAW. Ia khawatir, insiden ini akan semakin berkembang pada perbuatan permusuhan, kebencian atau penghinaan dari pihak-pihak tertentu terhadap Alim Ulama.

“Apakah ini merupakan tanda yang semakin menunjukkan adanya upaya ke arah tersebut? Jelasnya, baru kali ini ada aparat yang berani terang-terangan di muka umum melakukan tindakan pemukulan. Begitu bencinya pelaku terlihat dari gaya dan tindakan fisiknya kepada Habib Umar Assegaf,” tegasnya.

Menurut Direktur HRS Center ini, orang-orang yang benci terhadap Alim Ulama dan Habaib yang berjuang melawan Syiah rata-rata adalah penganut Syiah. Itu pun, lanjutnya, mereka taqiyyah, tidak menunjukkannya secara terang-terangan di depan publik.

“Kecuali, dirinya telah merasa hebat dan kuat. Selain itu, para pembenci terhadap Alim Ulama dan Habaib adalah juga komunis. Kita harus waspada,” tutupnya. (OSY)

Loading...