oleh

Jangan Sia-siakan Kemenangan. Opini Wijiati Lestari

Jangan Sia-siakan Kemenangan. Oleh: Wijiati Lestari, Owner Taqiyya Hijab syar’i.

Hari Raya Idul Fitri merupakan kemenangan bagi umat Islam. Bahagia pasti yang dirasakan oleh umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Walaupun kita merayakannya di tengah pandemi Corona yang tidak tahu kapan berakhirnya. Tetapi kebahagiaan tetap terasa di tengah umat muslim,setelah satu bulan berperang mengendalikan nafsu dan hal-hal yang membatalkan puasa. Serta mengisi waktu-waktu di bulan Ramadhan dengan berbagai aktivitas ibadah wajib dan sunnah untuk mendapatkan limpahan pahala dan ampunan dari Allah SWT. Akhirnya kemenangan itu hadir di tengah-tengah kita.

Tetapi tak seharusnya kemenangan ini melenakan kita. Bukan hanya menjadi seremonial belaka. Setelah kemenangan datang kita kembali lagi terlena dengan tidak lagi terikat aturan syariat. Padahal saat Romadhon kita sudah digembleng untuk taat terhadap aturan syariat, terbukti ketika mendengar adzan subuh berkumandang maka senikmat apapun makanan yang tersaji di depan kita, kita tak akan tergoda walaupun sekedar mencicipinya.

Padahal makanan yang tersaji adalah makanan halal, tetapi karena aturan syariat yang tidak memperbolehkan makan begitu adzan subuh berkumandang maka kita menahan diri darinya.Pun begitu saat berbuka sebelum adzan berkumandang kita tak akan makan dan minum apapun, karena syariat Islam mengatur demikian.

Baca Juga :  Isu Daur Ulang Pancasila VS Islam. Opini Dimas Huda

Nah begitu pula seharusnya ketika di luar Romadhon, seharusnya sebagai umat Islam kita tetap terikat dengan syariat Islam di setiap lini kehidupan. Bukankah tujuan dari puasa Ramadhan adalah supaya kita menjadi bertaqwa seperti firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Takwa yang diminta tentu takwa yang sebenarnya sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali-Imron ayat 3

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenarnya dan jangan sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim.”

Nah apa makna Takwa yang dimaksud ayat di atas. Takwa berasal kata waqo’ yang berarti melindungi. Yaitu melindungi diri dari murka dan azab Allah SWT dengan cara menjalankan semua perintah dan menjauhi laranganNya. Sebagaimana dijelaskan Thalq bin Habib seorang Tabi’in salah satu murid Abbas Ra. Mengatakan

“Takwa adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah SWT berdasarkan cahaya-Nya karena takut terhadap azab-Nya(tafsir Ibnu Kasir 1/2440)

Maka takwa ini bukan hanya ketakwaan individu, tetapi juga harus ada dalam tataran masyarakat, bernegara bahkan hubungan dengan luar negeri. Karena dengan ketakwaan dan keimanan merupakan kunci keberhasilan dan keunggulan bagi umat Islam.

Baca Juga :  Paradigma Sekuler Dibalik Narasi New Normal. Opini Maysaroh

Hal ini bisa kita lihat bagaimana dengan keimanan dan ketaqwaan bisa mengubah masyarakat Arab yang jahiliyah menjadi masyarakat yang penuh peradaban, menjadi masyarakat yang unggul. Sampai akhirnya Nabi Muhammad Saw berhasil mendirikan negeri Islam di Madinah, dengan beliau sebagai kepala negaranya. Bahkan sepeninggal Nabi Muhammad Saw sistem pemerintahan Islam terus dilanjutkan oleh Abu Bakar ra, Umar bin Khattab Ra, Utsman bin Affan Ra, Ali bin Abi Thalib Ra, dan terus berlanjut hingga hampir 13 abad umat Islam unggul dan mulia di berbagai bidang.

Itu semua terjadi karena mereka tidak menyia-nyiakan setiap kemenangan yang ada. Mereka senantiasa menyandarkan setiap perbuatan di berbagai bidang kehidupan dengan syariat Islam syariat yang didesain langsung oleh Pencipta manusia. Alloh SWT sebagai Pencipta dunia seisinya pastilah Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik untuk ciptaan-Nya. Keterikatan dengan syariat Islam bukan hanya pada tataran individu, tetapi juga masyarakat bahkan tataran kehidupan bernegara.

Jika fakta sejarah sudah membuktikan keunggulan umat Islam karena keterikatan mereka dengan segala aturannya maka seharusnya tidak perlu ada keraguan bagi kita untuk menerapkannya saat ini.

Loading...