oleh

Kebijakan Umum Pertahanan Negara Ditetapkan Presiden. Opini Ramadi Siregar

Kebijakan Umum Pertahanan Negara Ditetapkan Presiden. Oleh Ramadi Siregar, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara (Jakumhaneg) yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara. Penetapan Jakumhaneg oleh Presiden harus dilihat dari sejarah lahirnya undang undang pertahanan negara sebagai kelanjutan reformasi nasional. Keterlibatan militer yang begitu besar pada masa pemerintahan orde baru kemudian melalui agenda reformasi fungsi militer dikembalikan untuk lebih berfokus sebagai alat pertahanan negara.

Bertolak dari agenda reformasi yang menghendaki pengelolaan pertahanan negara yang disiapkan secara dini dan berkesinambungan dalam kerangka negara demokrasi, undang undang pertahanan memberi kewenangan kepada Presiden terpilih untuk mengambil langkah penting dan strategis dalam membangun sistem pertahanan negara selama masa lima tahun pemerintahannya.

Jakumhaneg yang ditetapkan Presiden bukan berarti semata mata kehendak sendiri oleh Presiden. Jakumhaneg seyogianya adalah kebijakan yang dirumuskan oleh sebuah forum yang dihasilkan dari prefrensi politik yang realistis oleh karena itu dalam menyusun Jakumhaneg Presiden memerlukan pertimbangan dari sebuah Dewan Keamanan Nasional (DPN) yang sampai saat ini belum terbentuk. Keanggotaan DPN memungkinkan seluruh elemen pemerintahan dan keterlibatan masyarakat untuk memberikan masukan terhadap pembangunan pertahanan negara.

Sebagai perbandingan dalam menyusun Buku Putih Pertahanan Australia yang dikeluarkan bulan maret 2016 mereka menerima masukan kurang lebih tiga ratus tulisan dari berbagai kalangan masyarakat termasuk pensiunan militer. Hal seperti inilah belum ditemukan dalam penyusunan Jakumhaneg selama ini sehingga Jakumhaneg hanya cenderung bersifat formalitas, tidak menunjukkan rancangan pembangunan sistem pertahanan yang fundamental dan berkesinambungan yang harus ditetapkan Presiden.

Untuk menjelaskan ini dapat dilihat dari Jakumhaneg 2015-2019 yang dalam salah satu pasal memuat tentang rencana pembangunan organisasi pertahanan yaitu pembangunan Perwakilan Kantor Pertahanan di daerah yang bersifat vertikal. Kemhan telah dua kali mengajukan secara resmi melalui surat Menhan kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan pembangunan Perwakilan Kantor Pertahanan di daerah, dua kali juga pihak istana menjawabnya melalui surat Setkab Pramono Anung yang prinsipnya Presiden tidak menyetujui dibentuknya Kantor Perwakilan Pertahanan di daerah. Timbul pertanyaan bagaimana mungkin Jakumhaneg yang sudah ditetapkan Presiden tidak dapat direalisasikan dikemudian hari. Untuk menjawab pertanyaan ini akan diberikan penjelasan dalam pragraf berikutnya.

Jakumhaneg yang disusun selama ini adalah hasil pemikiran para ahli strategi di Kemhan yang nota benenya diawaki atau didominasi oleh Perwira militer yang sudah memiliki pemikiran strategis dengan latar belakang pengalaman militer. Dengan demikian harus diakui rumusan kebijakan yang disusun di Kemhan merupakan pemikiran atau didominasi para pakar Perwira. Kepakaran para Perwira diperoleh dari pendidikan dan latihan serta pengalaman selama bertugas di lingkungan militer. Perlu diketahui bahwa pemikiran militer sangat berpengaruh pada masa lalu bahkan perwira militer terlibat langsung dalam menyusun kebijakan nasional.

Pemahaman akan kejayaan militerisme pada masa lalu inilah yang mewarnai orientasi kebijakan pertahanan di Kemhan saat ini. Para ahli strategi militer akan berupaya mengusung pemikiran mereka karena mereka dididik, dilatih dan diindoktrinasi untuk bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan negara. Masyarakat Indonesia sudah menerima demokrasi secara luas akan tetapi pemikiran yang memahami bahwa militer satu satunya pemangku keselamatan bangsa dan negara dianggap lumrah dan wajar terutama di negara yang baru saja mengalami negara demokrasi. Koonings, Kess and Kruit (2009).

Sementara itu dalam organisasi pertahanan modern, Kemhan diharapkan tampil sebagai suatu lembaga yang mewadahi dan memberikan ruang dan waktu bagi para pejabat sipil dan pejabat militer berinteraksi setiap saat. Kalau dicermati tidak ada tempat lain dalam konteks ketatanegaraan yang memungkinkan sipil dan militer berinteraksi secara intensif selain di Kemhan. Di lembaga Kemhan memungkinkan terjadi titik kontak antara personil militer dan sipil dengan melibatkan begitu banyak aktor dari kedua belah pihak bertemu dan bekerja sama atau bahkan berselisih faham untuk mendapatkan suatu kebijakan yang strategis.

Baca Juga :  IPB Klaim Jeruk dan Kulit Jeruk Berpotensi Mampu Melawan Covid-19

Lembaga Kemhan merupakan forum dimana perancangan, pengelolaan, dan pelaksanaan kebijakan pertahanan dilakukan. Tidak bisa dipungkiri jabatan penting penentu kebijakan yang diduduki sipil di lembaga Kemhan saat ini lebih sempit dibandingkan militer, dengan sendirinya kebijakan yang dihasilkan didominasi pemikiran perwira militer. Komposisi sipil dan militer yang belum diatur di Kemhan akan melanggengkan dominasi militer di lembaga sipil pertahanan, hal seperti inilah yang perlu dikritisi. Idealnya sipil dan militer duduk bersama dengan kapasitas yang sama dalam menyusun kebijakan pertahanan dan poin inilah salah satu yang direkomendasikan dalam tulisan ini.

David Pion Berlin dalam penelitiannya terhadap perkembangan demokrasi di negara negara Amerika Latin menemukan bahwa dalam menghadapi intervensi militer dalam penyusunan kebijakan pemerintahan sipil, maka salah satu langkah yang diambil oleh pemerintahan sipil adalah menghindari militer terlibat langsung dalam rantai komando pengambilan keputusan seraya tetap menerima masukan dari kalangan militer. Tanpa disadari para politisi sebenarnya sudah melakukan hal tersebut dimana dalam pengusulan Perwakilan Kantor Pertahanan oleh militer (pengusulan tersebut dikategorikan sebagai usulan dari militer), walaupun dilakukan dengan agresif namun penentunya adalah politisi sipil dan harus disadari oleh militer.

Contoh nyata seperti yang terjadi saat ini dalam pembahasan rancangan Perpres tentang pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme sebagai tindak lanjut revisi undang undang terorisme. Rancangan Pepres yang diusulkan oleh pemerintah dalam hal ini Kemhan tersebut dikritisi dan mendapatkan penolakan dari kelompok sipil. Kelompok sipil yang menolak rancangan Perpres ini menilai bahwa rancangan akan mengancam supremasi konstitusi, mengganggu integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil. Sekali lagi bahwa pada akhirnya politisi dan sipillah yang menentukan dimana fungsi militer dalam menangani terorisme.

Penjelasan singkat diatas menggambarkan persoalan yang dihadapi dalam perumusan Jakumhaneg begitu pelik. Belum terbentuknya DKN maka selama ini penyusunan Jakumhaneg berada di Ditjenstrahan Kemhan dengan berpedoman bahwa Menhan membantu Presiden dalam perumusan Jakumhaneg. Ada catatan penting tentang hubungan Presiden dan Mehan serta para pejabat di Kemhan seperti ditulis David Pion Berlin dalam membangun organisasi pertahanan paska berakhirnya era militerisme di Amerika Latin, bahwa Menteri dan para pembantu menteri di Kemhan harus memiliki persepsi yang sama dengan Presiden terhadap Pertahanan negara. Oleh karena itu Menteri bisa saja dari militer aktif/purnawirawan dan sipil akan tetapi yang diperlukan adalah tersedianya para staf di Kemhan yang memiliki pengetahuan dibidang pertahanan negara serta memiliki visioner mambangun lembaga pertahanan kedepan dengan tidak melihat siapa menterinya dari militer aktif/purnawirawan maupun sipil karena mereka pada dasarnya tidak untuk melayani menteri.

Lebih lanjut para ahli berpendapat dalam menyusun kebijakan pertahanan di negara transisi demokrasi sangat penting siapa diluar dan didalam lingkaran penentu kebijakan. Perbedan antara pengusung ide pembentukan kantor yang bersifat vertikal yang dimuat dalam Jakumhaneg kemudian tidak disetujui Presiden adalah salah satu contoh persepsi yang berbeda antara lembaga Kemhan dengan Presiden. Sangat ironis memang Lembaga Pertahanan yang kedudukanya sangat penting dalam sistem pemerintahan tidak sejalan dengan kebijakan yang digagas oleh pemerintahan sipil dalam hal ini Presiden.

Barangkali perlu melihat apa yang dilakukan negara-negara yang sebelumnya dianggap negara militerisme kemudian beralih menjadi sistem demokrasi atau negara yang dikategorikan negara demokrasi gelombang ketiga dalam mereformasi militernya. Korea Selatan merupakan negara yang dianggap lebih cepat dan tuntas dibandingkan dengan Indonesia dalam menyelesaikan persoalan sipil dan militer. Tidak sama persis akan tetapi maknanya sama yaitu suatu kebijakan pertahanan yang ditetapkan oleh Presiden, Korea Selatan menuangkan kebijakan pertahanan dengan sebutan Defence Refrom (DF). Kebijakaan pertahanan yang dikeluarkan Presiden yang dimuat dalam DF memuat beberapa hal penting antara lain; menunjukkan semakin meningkatnya keterlibatan sipil dalam mengelola pertahanan negara, mengatur hubungan kelembagaan antara pucuk pimpinan militer dengan pemerintah serta mengatur mekanisme pemilihan pucuk pimpinan militer.

Baca Juga :  PKS: Jangan Omong Doang, Jadikan GeNose dan CePad Alat Deteksi Covid-19 Resmi Negara

Yang uniknya pada masa pemerintahan Presiden Roh Moo-hyun (2003-08) tepatnya pada tahun 2005 Reformasi Pertahanan yang dinamai DR 2020 yang difokuskan pada membangun kekuatan militer yang lebih kecil, berteknologi lebih maju dan seimbang di seluruh angkatan. DR 2020 memuat rencana untuk mengurangi militer Korea Selatan dari sekitar 650.000 menjadi 500.000 pasukan sampai tahun 2020. Akibat pengurangan personil militer maka pada level perwira tinggi terjadi pengurangan sampai dengan tahun 2020 sebesar 15 persen dari 430 menjadi 370 perwira tinggi.

Untuk efektivitas pembiayaan, mereka juga mengurangi durasi layanan wajib militer dari semula 24 bulan menjadi 18 bulan. Sementara itu, pasukan cadangan akan dikurangi jumlahnya menjadi sekitar 1,5 juta dari 3 juta, tetapi dengan pelatihan dan peralatan yang lebih baik. Sejalan dengan itu, pada tahun 2020, rencana tersebut berusaha mengubah komposisi semua angkatan bersenjata dengan 74,2 persen yang terdiri dari angkatan darat, 8,2 persen dari angkatan laut, 4,6 persen diisi oleh korps marinir, dan 13 persen oleh angkatan udara.

Selain itu di DR 2020 juga mereduksi tugas tugas militer dengan mendelegasikan tugas keamanan pantai kepada polisi untuk lebih memungkinkan militer untuk fokus pada tugas pokoknya. Dalam meningkatkan peran dan kontrol sipil, pemerintah Korea Selatan merencanakan untuk mempekerjakan 70 persen posisi di Kemhan dengan warga sipil, menandai peningkatan 50 persen dari jumlah sebelumnya.

Pada masa pemerintahan Lee Myung-bak (2008-13), kebijakan pertahanan Korea Selatan memutuskan untuk kembali menggunakan kemampuan aliansi, menyiratkan bahwa prioritas yang lebih besar ditempatkan pada penguatan hubungan pemerintahan Korea Selatan dengan Amerika serikat. Pada gilirannya, mengurangi anggaran pertahanan dari rencana 5 tahun sejumlah 621 triliun won menjadi 599 triliun won (kira-kira pengurangan dari $ 552 miliar menjadi $ 532 miliar) dengan dampak signifikan pada pengadaan.

Dapat disimpulkan Korea Selatan dianggap berhasil mereformasi pertahanan secara konfrehensif yang dituangkan dalam Difence Reform dalam masa lima tahun pemerintahan Presiden. Kesinambungan Difence Reform dari pemerintahan yang satu kepemerintahan berikutnya terutama pada masa tiga pemerintahan awal reformasi merupakan kunci keberhasilan reformasi militer di Korea Selatan. Meskipun mengurangi 150.000 militernya, para ahli berpendapat militer Korea Selatan akan memiliki mobilitas yang tinggi dan mematikan.

Lantas apa yang mestinya diprioritaskan dalam Jakumhaneg? Seorang penulis mengemukakan pendapatnya kurang lebih demikian “para ahli pertahanan negara cakap dalam merencanakan pengadaan senjata ratusan juta dollar, menganalisa perkembangan lingkungan strategis untuk menentukan ancaman, akan tetapi kurang cermat mengatasi persoalan yang ada didepan mata”. Sering kita dengar sipil dan para politisi memperbincangkan bahwa kesejahteraan prajurit dianggap belum terpenuhi dengan baik dan perlu ditingkatkan. Bahkan undang undang pertahanan sendiri telah mengamanatkan bahwa kesejahteraan prajurit dijamin oleh negara. Belakangan ini perbincangan mengenai sejumlah perwira yang tidak mendapatkan jabatan bukan rahasia lagi. Ketersediaan ruang jabatan dengan jumlah perwira yang tidak seimbang merupakan gambaran militer yang belum profesional. Postur militer yang cenderung gemuk di level menengah keatas menjadi tantangan bagi para pakar pertahanan. Uraian diatas adalah beberapa permasalahan dari sekian banyak persoalan yang ada didepan mata.

Kemhan memiliki tanggung jawab besar serta memiliki legalitas dalam menyusun kebijakan pertahanan. Satu hal penting yang harus disadari oleh perancang pertahanan negara saat ini adalah terwujudnya efektifitas dari pemerintahan demokratis dalam mengelola sektor pertahanan khususnya dalam kaitannya dengan penyusunan kebijakan pertahanan, pengawasan legislatif dan keterlibatan yang efektif dari masyarakat sipil dalam kerangka legitimasi demokratis dan akuntabilitas publik.

Loading...