oleh

Anak Dipenjara Akibat Surat Nikah Orangtua Tidak Teregister di KUA Bekasi Selatan

SUARAMERDEKA – Fakta persidangan kasus penyerobotan tanah yang menyertakan dugaan penggunaan surat nikah orangtua yang disangka palsu, terkesan bertolak belakang dengan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Kota Bekasi, Senin (11/02/2019).

Tidak ada satupun saksi yang diajukan oleh JPU di persidangan menyatakan, bahwa surat nikah kedua orangtua terdakwa adalah palsu. Muncul pula kecurigaan ada kejanggalan pada proses jual beli tanah yang diperkarakan. Berdasarkan Akta Jual Beli antara H. Ismail selaku penjual, dengan Candra Lumy selaku pembeli, pada tahun 1984.

Demikian dikatakan Penasehat Hukum RS dan RE, Remon Riyan. SH. Saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (13/2/2019). RS dan RE adalah kakak beradik yang didakwa melanggar pasal 385 ayat 1 (menjual tanah hak orang lain), dan pasal 264 ayat 2 (memakai surat nikah palsu atas nama orangtua terdakwa). Serta pasal 263 ayat 2 KHUP.

Mereka diperkarakan pelapor karena tidak mengakui tanah dan bangunan yang ditempati oleh kedua terdakwa beserta keluarganya telah dijual oleh H. Ismail (orangtua terdakwa-red). Tanah tersebut berada di kelurahan Jaka Sampurna, Kota Bekasi.

Untuk membuktikan bahwa keduanya adalah ahli waris yang sah, mereka menunjukkan beberapa dokumen. Diantaranya surat nikah orangtuanya, yang menurut surat dakwaan JPU surat nikah tersebut diduga palsu.

“Dakwaan JPU tersebut menurut kami tidak tepat dan rancau, serta bertentangan dengan fakta persidangan. Tidak ada satupun saksi yang dihadirkan oleh JPU menyatakan secara spesifik, bahwa surat nikah almarhum H. Ismail itu adalah Palsu. Begitu pula surat keterangan yang dibuat dari KUA Bekasi Barat maupun Bekasi Selatan. Surat keterangan tersebut hanya menyatakan bahwa tidak terdaftar dan tidak menyatakan itu palsu,” kata Remon Riyan.

Remon mengaku bingung dengan dasar apa JPU mendakwa kliennya dengan dakwaan tambahan pasal 264 ayat 2, Dalam surat dakwaannya. Karena berdasarkan surat keterangan Kepala KUA Bekasi Selatan, dijelaskan “bahwa data yang ada pada register model N di arsip KUA Bekasi Selatan hanya ada mulai dari tahun 1964 sampai dengan 2018. Maka dengan terbitnya surat nikah No.278/1959 (milik H Ismail) yang dikeluarkan di KUA Bekasi Selatan tidak dapat dijelaskan”.

Baca Juga :  PPKM Mikro Diperpanjang, Mendagri Ingatkan Masyarakat Tetap Terapkan 5M

“H Udin selaku Kepala KUA Bekasi Selatan, yang membuat dan menandatangani surat keterangan. Bahwa yang tercatat dan terdaftar di KUA tersebut mulai tahun 1964. Tapi bukan berarti yang dibawah tahun 1964 itu adalah palsu,” ujar Remon Riyan.

Oleh karena itu, penasehat hukum terdakwa ini heran, mengapa JPU dengan cerobohnya mendakwa kliennya dengan pasal tersebut. Karena dakwaan itu menimbulkan orang berasumsi macam-macam.

“Jika surat nikah H. Ismail tidak diakui atau diragukan keasliannya hanya karena semua surat nikah sebelum tahun 1964 tidak teregister di KUA Bekasi Selatan. Maka semua pernikahan di Bekasi Selatan yang dibawah tahun 1964 dianggap tidak sah. Dan semua anak yang lahir adalah anak haram,” tegas Remon Riyan.

Lanjut penasehat hukum RS dan RE ini, dari fakta persidangan yang diselenggarakan pada hari Senin lalu (11/2/2019) justru muncul fakta lain yang dianggapnya sangat aneh. Selain soal status surat nikah, muncul juga masalah uang kerohiman (uang santunan).

Dalam dakwaan disebutkan, pelapor keberatan dengan permintaan dana kerohiman yang diajukan oleh kedua terdakwa. Kedua terdakwa disebutkan meminta dana kerohiman sebesar 1 miliar. Besarnya dana kerohiman inilah yang membuat Leman Rahardja melakukan upaya hukum. Pelapor beralasan besaran dana sangat tidak masuk akal.

“Dakwaan jaksa tersebut jelas bertolak belakang dan bertentangan dengan fakta persidangan. karena faktanya di persidangan saksi Joko yang dihadirkan oleh JPU berkata lain. Saksi justru mengakui bahwa Pelapor lah yang menawarkan kerohiman 1 miliar itu lewat Firman. Pelapor menawarkan uang 1 miliar kepada para ahli waris dan ahli waris menolak. Ahli waris tidak pernah meminta karena tidak merasa orangtuanya menjual tanah yang disengketakan,” tegas Remon Riyan.

Lanjut Remon Riyan, dalam keterangannya, saksi bahkan menyatakan pernah memfasilitasi pertemuan antara Firman (perwakilan pelapor) dengan para ahli waris di Gandaria City. Pelapor ingin memberikan uang 1 miliar kepada para ahli waris dan ahli waris menolak. Fakta itulah yang membuatnya menyimpulkan. Bahwa dakwaan JPU sangat bertolak belakang dan bertentangan dengan fakta persidangan.

Baca Juga :  Banyuwangi Pamerkan Hasil Karya Pelajar Dalam Sebuah Festival Merdeka Pelajar

Penasehat hukum terdakwa ini juga melihat ada yang mencurigakan dalam proses jual beli tanah yang disengketakan. Dalam keterangan dakwaan, lahan yang disengketakan tersebut milik H Ismail (orangtua terdakwa). Tanah tersebut dijual kepada Candra Lumy pada tahun 1984. Dan Candra Lumy pada 31 Maret 2010 menjual kepada Leman Rahardja.

“Jika tanah tersebut benar sudah dibeli oleh Candra Lumy pada tahun 1984, yang mana pada saat itu almarhum H. Ismail masih hidup. Mengapa tanah yang dibeli tersebut tidak langsung dikosongkan dan dikuasai?” tanya Penasehat hukum.

Menurut Remon, semua orang tahu urusan tanah akan menjadi pelik jika penjualnya meninggal, sementara para ahli waris tidak tahu jika sudah dijual. Terlebih lagi ternyata tanah tersebut sudah dijual pada pihak lain.

“Itu jika memang benar telah terjadi transaksi jual beli pada tahun 1984 tersebut. Kenapa harus menunggu H. Ismail meninggal baru memberikan penawaran kepada ahli waris? Terus buat apa pembeli harus menawarkan uang kerohiman 1 miliar kepada para ahli waris. Jika memang merasa benar-benar telah membeli dan memiliki hak terhadap tanah tersebut?” tanya Penasehat hukum.

Berdasarkan fakta tersebut, pengacara merasa banyak hal yang mencurigakan dalam kasus yang mereka tangani. Untuk itu, mereka berencana akan mengambil langkah hukum lebih lanjut. (OSY)

Loading...