oleh

Konstruksi Militer-Sipil, Tatanan Pertahanan Negara

Konstruksi Militer-Sipil, Sebagai Tatanan Pertahanan Negara dan Politik Negara Rakyat Dari Kaum Pergerakan dan Masyarakat Sipil. Oleh: Yudi Syamhudi Suyuti, Koordinator Eksekutif JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional).

Dalam era revolusi kemerdekaan, rakyat melahirkan tentara, kaum pergerakan hingga politisi yang membagi tugasnya untuk mencapai kemerdekaan.

Kemudian paska revolusi kemerdekaan, tentara dan politisi di dua era, orde lama dan orde baru. Antara Totaliter dan Dwi Fungsi ABRI. Dan di era reformasi, tentara mengalami kebuntuan dalam mencapai kedudukan sistem pertahanannya.

Lalu apa yang harus dilakukan saat ini antara militer, sipil dan kaum pergerakan itu sendiri yang semuanya dihadapkan pada situasi kuldesak. Disini kita tidak membahas tentang kepolisian secara khusus. Karena memang kedudukan kepolisian adalah sebagai bagian dari Criminal justice system. Ini merupakan instrumen untuk digunakan dalam pelayanan sipil menyangkut masalah penegakan hukum. Tentu polisi disini bisa berkedudukan di bawah Kemendagri dan berkordinasi dengan kepala daerah.

Sedangkan sistem Negara harus dibangun politiknya oleh sipil, dimana praktek-praktek sipil diperkuat hingga rakyat banyak mendapatkan hak dan kewajibannya. Yaitu sebagai pencapaian tatanan kemanusiaan yang adil, baik secara individu maupun kolektif.

Dan militer berada pada posisi sebagai sistem pertahanan dalam tatanan negara. Sistem pertahanan ini bukan hanya terkonsentrasi pada wilayah pertahanan teritorial atau fisik. Namun juga menyangkut pertahanan kedaulatan rakyat dalam sebuah Negara.

Disini diperlukan terbentuknya badan-badan pertahanan yang memperkuat Negara melalui badan-badan pertahanan tersebut. Akan tetapi tidak dicampur aduk dalam praktek sipil politik negara. Jika Negara memiliki Pemerintah, Parlemen dan Peradilan, maka dimana badan-badan pertahanan berkedudukan.

Baca Juga :  JAKI Layangkan Surat ke Kabareskrim Polri Soal Tragedi 21, 22, 23 Mei 2019

Negara yang merupakan organisasi milik rakyat membutuhkan representasi nya dikembalikan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga Tertinggi Negara. Dari MPR lah selain ada utusan – utusan golongan dan wilayah-wilayah juga di dorong kekuatan masyarakat sipil yang dilahirkan oleh kaum aktivis, pergerakan dan LSM dalam bentuk Komisi-Komisi Sipil. Seperti Komisi Pembangunan Agraria, Komisi Nasional Hak Kemanusiaan, Komisi Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.

Badan-Badan Pertahanan yang berangkat dari militer tetap berada pada komando militer dan dibentuk untuk memperkuat Komisi-Komisi tersebut. Namun Komisi-Komisi tersebut tetap berjalan dalam praktek-praktek sipil untuk mewujudkan tatanan kemanusiaan.

Misalnya Badan Pertahanan Agraria membentengi Komisi Pembangunan Agraria (yang bersifat independen). Bagaimana tugas Badan tersebut dalam fungsi pertahanannya yaitu bertugas mempertahankan KPA dari ancaman dan gangguan berupa serangan dari kekuatan penghancur agraria. Berbicara agraria, bukan hanya bicara menyangkut soal tanah saja. Karena menurut UU No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Agraria, menjelaskan bahwa agraria terdiri dari permukaan tanah, di dalam tanah, di atas tanah hingga ruang angkasa.

Kenyataannya saat ini terjadi disintegrasi agraria yang menghasilkan kejahatan kemanusiaan, kejahatan agresi dan genosida. Disinilah dibutuhkan kerja pemimpin eksekutif untuk mengeksekusi persoalan-persoalan agraria yang di awasi oleh parlemen juga oleh komisi independen berada dalam ruang rakyat dan negara. Dan ketika terjadi masalah menyangkut gangguan pertahanan agraria dan disintegrasi, karena ini adalah hal yang beresiko atas hilangnya kedaulatan, maka militer dapat melakukan eksekusi militer. Tentu dengan cara-cara mutakhir yang dilakukan dengan pendekatan semesta.

Pendekatan militer semesta merupakan cara berpikir dan praktek militer yang harus dikembangkan terus menerus, hingga menjadi ilmu militer yang sempurna. Pendekatan semesta merupakan pendekatan militer yang berpihak pada kemanusiaan. Dimana senjata dan teknologi tempur mutakhir meski sangat dibutuhkan, bukanlah segalanya. Tapi prinsip kemanusiaan adalah moral perang sesungguhnya.

Baca Juga :  Transformasi Criminal Justice System di Indonesia, Evaluasi Kapolri, Jaksa Agung dan Menkumham

Namun praktek KPA dalam penyelidikan dan penyidikan serta eksekusinya dijalankan melalui praktek sipil. Dan dalam penuntutannya pun tetap berada dalam kerangka Criminal Justice System. Begitu juga untuk Komisi-Komisi lainnya.

Pemerintah melalui kementerian-kementeriannya diisi oleh kelompok politik sipil. Termasuk kementerian pertahanan yang mengkoordinasikan badan-badan pertahanan tersebut jika dibutuhkan. Untuk menjalankan fungsi pertahanannya atas permintaan komisi-komisi.

Konsentrasi perintah tertinggi perang tetap dipegang oleh Presiden dan persetujuannya dilakukan oleh DPR.

Lalu, apa yang membatasi badan-badan pertahanan agar tidak bertindak melampaui batas kewenangannya, adalah kedudukan MA yang berdampingan dengan Pengadilan Kriminal Internasional (International Court /ICC).

Presiden tetap berkedudukan sebagai Kepala Negara, dimana konsentrasi hak dan kewajiban rakyat dalam kapasitasnya sebagai pemimpin eksekutif benar-benar mampu melayani rakyat melalui kepemimpinannya, memimpin Negara.

Dengan konstruksi model Negara seperti ini, tentu hak asasi manusia, demokrasi dan ruang-ruang sipil semua terakomodir. Akan tetapi Negara tetap berdaulat dan kedaulatan tersebut berada di tangan rakyat. Kita saat ini tidak butuh Dwi Fungsi TNI, tapi sangat butuh Sishanrata dalam tatanan Negara. Ini demokrasi mutakhir.

Loading...