oleh

Apakah Survei Litbang Kompas Berpolitik.? Sebuah Opini Denny JA

APAKAH SURVEI LITBANG KOMPAS BERPOLITIK?

Denny JA

Terlalu banyak bumbu politik mengomentari data statistik. Itulah kesan awal saya membuka WA di jaringan pribadi (japri), pagi ini, Rabu 20 Maret 2019.

“Bisakah kita percaya survei Litbang Kompas bro Denny?” Apakah Kompas bermain politik? Dengan redaksi yang berbeda begitu banyak yang bertanya hal yang sama soal publikasi survei Harian Kompas di hari itu.

Jokowi digambarkan menurun dari 52.6 persen (Okt 2018) ke 49.2 persen (Maret 2019). Prabowo dinyatakan menaik dari 32.7 persen (Okt 2018) menuju 37.4 persen (Maret 2019). Pesannya: Jokowi hati-hati! Belum aman!

Kompas memang menyajikan pula simulasi yang ia sebut ekstrapolasi elektabilitas. Jika pemilih yang belum menentukan tidak dihitung, sebanyak 13.4 persen (terbagi proporsional), Jokowi masih unggul: 56,8 persen versus 43,2 persen.

Jika pilpres diselenggarakan di hari survei, sebenarnya Kompas juga mengabarkan Jokowi menang besar: doubel digit, dengan selisih 13,6 persen. Kemenangan Jokowi di 2019 lebih besar dibanding kemenangan Jokowi di Pilpres 2014, yang hanya sekitar 7 persen (mono digit).

Walau dikabarkan menang, kecemasan datang di banyak kubu Jokowi. Kompas menggambarkan Jokowi belum di angka psikologis 50 persen (elektabilitas yang tidak diekstrapolasi). Jokowi juga digambarkan menurun trendnya, hampir di semua kantong pemilih.

Walau dikabarkan kalah, harapan datang dari banyak kubu Prabowo. Trend Prabowo digambarkan menaik. Masih ada satu bulan lagi trend menaik itu terjadi untuk melampaui Jokowi.

Data yang sama, yang mengirimkan pesan yang sama, melahirkan emosi yang berbeda. Kecemasan di pendukung Jokowi (walau masih menang double digit) dan harapan di kubu Prabowo (walau masih kalah double digit)?

Bagaimana saya harus merespon survei litbang Kompas, menjawab para bro dan sis yang membanjiri WA saya pagi ini?
-000-

Saya akan menjawabnya setelah kisah ini. Datang pula info dua bumbu politik, yang tak terlalu saya hitung. Tapi ada baiknya disinggung untuk menggambarkan psiko-sosial sebagai respon survei Litbang Kompas.

Bumbu Politik pertama: sebuah pesan bahwa pemred Kompas Ninuk Pambudi tidak netral lagi. Suaminya Rahmat Pambudi pernah menjadi sekjend HKTI di bawah Prabowo. Suaminya orang dekat Prabowo.

Disertai pula berita dari Kompas sendiri tanggal 7 Maret 2011: Gerindra Ajukan Tiga Nama Calon Menteri. Rahmat Pambudi, suami pemred Kompas, diajukan Prabowo/Gerindra untuk menjadi menteri pertanian, di era pemerintahan SBY.

Diedarkan pula foto Ninuk sedang berjalan dengan Prabowo. Disertakan pula keluhan internal dari senior wartawan Kompas soal kekhawatiran positioning Kompas dalam pilpres kali ini.

Foto dan info itu berlanjutkan pada pertanyaan: apakah kedekatan Pemred Kompas (dan suaminya) pada Prabowo ikut mempengaruhi survei Kompas?

Bumbu Kedua: kesan atau lebih tepatnya opini bahwa Kompas sedang repositioning. Selama ini Kompas dianggap terlalu pro penguasa. Ketika Reuni 212, Kompas tak memberikan berita yang adil.

Baca Juga :  Bamsoet Tetap Ikuti Kejurnas Drifting Bersama Akbar Rais Usai Kecelakaan di Kejurnas Sprint Rally Bersama Sean Gelael

Kompas harus kembali ke tengah. Dukungan Jokowi di angka 49.2 persen dianggap cukup mewakili psikologis posisi di tengah. Angka itu masih di bawah 50 persen, belum mencapai the magic number kemenangan 50 persen lebih.

Namun selisih dengan Prabowo masih dibuat dua digit. Selisih dua digit masih menyenangkan kubu Jokowi. Tapi trend Jokowi menurun dan Prabowo menaik, menyebangkan Prabowo.

Berita survei litbang membuat every body happy. Ini khas Kompas! Pesan ini tidak menihilkan hasil survei Kompas. Tapi ini pesan khas tokoh yang merasa selalu ada kemasan di balik data penting. Kompas dianggap melakukan kemasan tambahan itu.

-000-

Saya tak pernah menghitung dua bumbu di atas. Saya hanya menganggapnya bunga bunga respon dari data statistik!

Saya hanya ingin mengomentari dari sisi metodelogi dan cara menarik kesimpulan semata.

Namun justru di sana letak masalah. Survei Kompas hanya memberikan keterangan sangat sedikit soal metodologi. Plus keterangan: kesalahan di luar pemilihan sampel mungkin terjadi.

Tak ada keterangan dalam metodelogi misalnya, apakah survei menggunakan simulasi kertas suara atau tidak? Pemilih yang ditanya akan memilih siapa secara oral oleh peniliti, selalu mungkin memberi jawaban berbeda jika ia diminta melihat kertas suara yang ada foro pasangan Jokowi dan foto pasangan Prabowo.

Kertas suara yang menyerupai kertas suara persis seperti di TPS nanti sudah dilakukan oleh LSI Denny JA sejak Febuari 2019. Dari simulasi terbatas, ternyata Jokowi lebih diuntungkan jika pemilih ditanya dengan foto. Nuansa seorang Kiai dari Ma’ruf Amin dan wajah populer Jokowi di foto menjadi unsur pembeda.

Tak ada pula keterangan dalam metodelogi bagaimana dengan prosentase response rate. Ini istilah untuk responden yang bersedia menjawab. Banyak pula responden yang tak bersedia menjawab.

Survei yang sama sama memilih sampel dengan random, tapi yang satu memiliki response rate 95 persen (hanya 5 persen yang menolak menjawab), akan memberikan kualitas yang berbeda dibanding yang response rate, katakanlah, hanya 45 persen.

Pasti ada sejumlah responden yang menolak atau berhalangan. Terhadap mereka yang menolak, apakah dicari pemilih pengganti? Bagaimana cara memilih penggantinya? Tanpa panduan sistematis, response rate dapat membuat hasil survei tak akurat.

Tak ada pula keterangan soal kontrol kualitas. Apakah survei Kompas melakukan cek and recek soal jawaban responden. Bagaimana cara mengeceknya? Seberapa banyak yang dicek?

Tanpa cek dan recheck secara cukup dan ramdom, peneliti yang berpengalaman bisa saja hanya mendatangi responden sebagian. Sisa responden, ia isi sendiri di bawah pohon atau di dalam warung.

Ada pula beberapa masalah dalam cara litbang Kompas menarik kesimpulan. Kompas sendiri yang menyatakan margin of error survei itu plus minus 2.2 persen.

Baca Juga :  Ketika Gosip Komisaris BUMN Pun Dijadikan Isu

Tapi Kompas menyatakan tren dukungan Jokowi menurun dari 52.6 persen menjadi 49.2 persen. Secara statistik itu kesimpulan yang salah. Jika margin of error plus minus 2.2 persen, maka ada rentang margin of error dari plus 2.2 persen dan minus 2.2 persen. Margin of error itu sebenarnya punya rentang 4.4 persen.

Selisih dari 52.6 persen menuju 49.2 persen itu hanya 3.4 persen. Itu masih di bawah margin of error 4.4 persen. Secara nominal ia turun, tapi secara statistik itu tidak signifikan dikatakan turun. Jokowi stabil karena masih dalam rentang margin of error. Begitulah cara membaca data statistik.

Kata trend juga tak tepat diberikan kepada hanya dua data dari dua waktu yang berbeda. Harus ada minimal 3 waktu data, agar sah kita melihat pola: memang ada trend yang menurun dan menurun lagi (dua kali berturut), ataukah sebenarnya itu fluktuasi biasa.

Kompas juga menyatakan selisih Jokowi dan Prabowo sekitar 11.8 persen (49.2 persen- 37.4 persen). Ujar Kompas Prabowo hanya perlu menambah elektabilitas 6 persen untuk membuatnya berubah dari runner up menuju pemenang pilpres.

Kompas langsung berasumsi tambahan 6 persen pada Prabowo otomatis berarti berkurangnya 6 persen pada Jokowi. Jika Prabowo 37.4 persen ditambah 6 persen menjadi 43.4 persen. Jokowi berkurang 6 persen dari 49.2 persen menjadi 43.2 persen. Sim salabim, Prabowo unggul: 43,4 persen vs Jokowi 43,2 persen!

Inipun kesimpulan yang salah secara statistik. Bertambahnya dukungan pada Prabowo, katakanlah 6 persen, tak otomatis dari dukungan Jokowi. Kompas sendiri menggambarkan ada suara yang belum menentukan pilihan sebanyak 13.4 persen. Bisa saja Prabowo bertambah 6 persen menjadi 43.4 persen, tapi Jokowi tetap 49, 2 persen karena tambahan Prabowo dari suara yang belum menentukan. Jokowi tetap menang!

Hal yang sama dengan menurunnya dukungan Jokowi 6 persen. Itu juga tak otomatis lari mendukung Prabowo. Bisa jadi dukungan Jokowi berpindah menjadi suara yang kembali belum menentukan. Jokowi menjadi 43, 2 persen, Prabowo tetap 37,4 persen. Jokowi tetap menang!

-000-

Kurang memberi informasi soal metodologi dan problem teknis dalam membuat kesimpulan, itu yang bisa saya komentari. Itulah titik lemah display survei litbang Kompas.

Tapi apakah survei Litbang Kompas berpolitik? Saya tak punya info untuk memberikan respon yang bisa dipertanggung jawabkan.

Hanya satu yang bisa katakan, spesialis lembaga survei seperti LSI Denny JA, SMRC, Indikator, Charta Politika, dalam survei di waktu yang tak terlalu berbeda, memiliki hasil survei yang berbeda.

Empat lembaga itu hasilnya mirip. Jokowi sekitar 52-58 persen. Prabowo sekitar 30-35 persen.

Tapi biarlah aneka data berhamburan di ruang publik walau berbeda. Sebagaimana kita membiarkan seribu bunga berkembang.*

Maret 2019

Loading...