oleh

Demokrasi Konglomerat, sebuah Opini Asyari Usman

Demokrasi Konglomerat. Oleh: Asyari Usman, Wartawan Senior.

Sudah lama tak mendengar pekikan Demorkasi Pancasila. Juga tidak pernah lagi tertulis Ekonomi Pancasila. Juga, tidak ada lagi diskusi, seminar atau lokakarya tentang pengelolaan kehidupan politik, ekonomi, maupun sosial yang berembel-embel Pancasila.

Dalam bentuk naskah-naskah akademis, mungkin masih ada di perpustakaan. Begitu pula dalam bentuk karya tulis buku, tentu masih banyak. Tetapi, dalam bentuk implementasi politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, dlsb, sudah tidak ada lagi. Penipuan besar kalau ada yang berani mengatakan nilai-nilai Pancasila itu ada di dalam kehidupan kita.

Kalaupun ada, nilai-nilai Pancasila itu hanya hidup di ruang privat. Misalnya, umat Islam masih melaksanakan sholat di rumah atau berjemaah di masjid. Mereka masih mau berbagi dengan sesama. Masih saling perduli. Tetapi, Pancasila sebagai panduan berbangsa dan bernegara seperti yang dicita-citakan oleh para pemikir dan pendiri bangsa, kini sudah tinggal nama. Tidak ada lagi Pancasila sebagai rujukan.

Lantas, kenapa bisa begitu? Apa sebabnya?

Penjelasannya sangat pendek. Dan juga sangat pedih. Yaitu, karena Indonesia sudah mengadopsi liberalisme. Total. Sepenuh hati. Demokrasi liberal, ekonomi liberal. Sistem sosial sudah liberal, begitu juga kebudayaan. Semua liberal.

Baca Juga :  Defender of the Cukongs Mulai Kepanasan. Opini Asyari Usman
Inti dari semua sub-sistem liberal itu adalah modal. Kapital. Duit alias fulus. Demokrasi liberal diatur oleh uang (modal). Uang besar, tentunya. Ekonomi liberal, pastilah ekonomi yang berdasarkan kekuatan duit tak berbatas. Legislasi ekonomi dan bisnis didikte oleh para pemilik modal besar.

Sub-sistem politik-sosial-budaya juga dikendalikan sepenuhnya oleh uang. Semuanya berdasarkan dan dikendalikan oleh modal. Buktinya adalah ‘money politics’ yang kini menjadi kultur baru dunia politik. Untuk urusan politik, tidak ada budaya. Sesakral apa pun budaya yang Anda bangga-banggakan selama ini.

Demokrasi yang kita praktekkan memerlukan uang besar. Uang besar itu ada di tangan para pemilik korporasi besar. Para politisi sepenuhnya bergantung pada dan diatur oleh mereka. Demokrasi Pancasila sudah tinggal slogan.

Omong kosong bila ada yang masih mengklaim demokrasi di negara ini dituntun oleh nilai-nilai Pancasila. Dengan fakta-fakta yang ada, demokrasi adalah milik para pengusaha besar. Milik para konglomerat, apalagi konglomerat hitam-jalang.

Merekalah yang menentukan siapa yang harus duduk sebagai penguasa. Mulai dari eksekutif tertinggi hingga satu-dua level di bawahnya. Mereka pula yang mengatur siapa-siapa yang harus duduk sebagai bos instansi-instansi penting yang mereka perlukan untuk kepentingan bisnis mereka.

Baca Juga :  DPD Nasdem: KPU Harus Independen dan Mengacu Kepada Undang-Undang

Itulah demokrasi uang, demokrasi padat modal. Dari waktu ke waktu semakin menancap kuat. Inilah yang sedang diturun-temurunkan kepada generasi penerus.

Demokrasi yang berkonten nilai-nilai Pancasila, telah mati. Sudah lama dikuburkan. Reformasi 1999 yang semula dimaksudkan untuk penguatan posisi politik rakyat, akhirnya dibajak oleh para pemilik modal. Merekalah yang sejak Reformasi menyusun diktat yang menggeser Demokrasi Pancasila menjadi Demokraasi Konglomerat.

Anehnya, masih ada yang percaya demokrasi yang ada hari ini masih pancasilais. Jawabannya: omong kosong! Tidak ada demokrasi Pancasila. Demokrasi yang berketuhanan itu tidak seperti yang sedang Anda terapkan hari ini. Demokrasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab itu, tidak seperti pilpres 2019.

Demokrasi Pancasila dirancang untuk melahirkan para politisi dan pemimpin yang bermoral. Pemimpin yang punya rasa malu ketika ditemukan banyak bukti kecurangan yang menunjuk ke diri Anda.

Demokrasi Pancasila tidak dirancang untuk menampilkan pemimpin semisal Anda. Sebaliknya, Anda adalah contoh spektakuler yang muncul dari Demokrasi Konglomerat.

Loading...