oleh

Memahami Visi Indonesia, Ir. H. Joko Widodo 2019-2024 (Bagian 8)

Memahami Visi Indonesia, Ir. H. Joko Widodo 2019-2024 (Bagian 8). Jokowi: Pancasila Ideologi Tunggal! Mungkinkah Negara Berkompromi Dengan Ideologi Komplementer? Oleh: Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM 2012-2017, Aktivis Kemanusiaan.

Keputusan Ijtima Ulama IV di Hotel Lor Sentul Bogor tanggal 5 Agustus 2019 khususnya point 3.6 tentang NKRI bersyariah, Ayat Suci di atas Ayat Konstitusi. Atau secara tersirat mau menyatakan bahwa Kitab Suci berada di atas Pancasila dan Konsitusi Negara. Tentu harus dicermati dan disikapi secara holistik dan komprehensif bahwa mengapa para ulama masih konsisten menyuarakan nilai-nilai spiritualitas agama agar tercermin dalam kebijakan negara? Salah satu argumentasi umum yang sering mengemuka dalam diskursus umat muslim adalah soal keadilan (justice). Jika Pancasila dan UUD 1945 mampu menghadirkan harapan akan keadilan, maka tidak mungkin bangsa ini larut dalam pertentangan ideologi sebagaimana selama ini.

Keputusan Ijtima Ulama IV merupakan sikap ulama terhadap Penegasan Joko Widodo saat penyampaian Visi Indonesia bahwa Pancasila Ideologi Tunggal. “Ideologi Pancasila adalah satu-satunya ideologi bangsa yang setiap warga negara harus menjadi bagian darinya! Setuju?. Sekali lagi, ideologi kita adalah Pancasila. Kita harus ingat ini, Pancasila adalah rumah kita bersama, rumah bersama kita sebagai saudara sebangsa! tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang mengganggu Pancasila! yang mempermasalahkan Pancasila!”.

Saat ini bangsa Indonesia diambang nadir, titik dimana akal dan naluri bangsa ini tersandera. Tersandera dalam pandangan yang statis, kaku, tidak dinamis, permisif, sektarian dan bahkan ekslusif. Negara Indonesia secara faktual telah dibonsai dalam cara pandang yang keliru. Kita tidak menyadari bahwa negara adalah entitas sosial yang senantiasa menyertai perubahan jaman.

Bagaimanapun perilaku yang kaku telah menghadirkan pandangan dan tindakan yang destruktif terhadap bangunan sosial yang telah lama ada. Negara tidak hadir sebagai punggawa bangsa, tetapi justru hadir seperti menerkam rakyat, orang-orang kecil, budayanya dan bahkan agamanya dihina, dicemooh dan dihancurkan.

Apa yang diperlakukan oleh negara selama ini -sejak jaman presiden-presiden terdahulu- adalah wujud nyata sikap pemimpin yang cenderung destruktif terhadap bangunan sosial, budaya dan agama di negeri ini yang dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bunga. Maka tidak mengherankan jika dicaci maki dan dikritik rakyat cenderung merendahkan wibawa negara, dipaksa turun dari Bizantium.

Ditengarai para penegak hukum mengikuti kemauan kekuasan, hukum menyertai opini para kaum oligarki mengabaikan asas keadilan (fair trail dan due proces of law). Tindak tanduk oligarki negeri ini sangat kontras dengan selama ini berkoar-koar tentang adagium Bhinneka Tunggal Ika sebagai salah satu tiang penyangga (pilar) berdirinya negara bangsa Indonesia.

Ironi memang! Pancasila sebagai landas pijak bangsa (norma dasar) mulai terusik, Tuhan mulai dipertentangkan antara sentrum utama kekuasaan dan sumber moral, kemanusiaan terasa tidak adab dan tidak adil, persatuan terkungkung dalam polarisasi SARA, permusyawaratan dimonopoli komunitas mayoritas berlindung didalil dan jargon ”One men, One Vote, dan One Value” di negeri yang penduduknya tidak seimbang, keadilan yang kontradiktif tanpa disertai distribusi kekuasaan yang merata (no distribution of justice without distribution of power).

Kita patut mempertanyakan, dimana posisi dan keberadaan bagi komunitas agama dan sosial di negeri ini? Mengapa para pemimpin menindas perlawanan umat Islam yang menentang penetrasi politik dan ekonomi dianggap sebagai kaum perusak bangsa?

Sesungguhnya pemimpin negeri mesti empati ketika sekelompok rakyat dengan defile dan berparade menampilkan dengan simbol dan panji panji kekuatan muncul berjuang menegakan keyakinan agamanya, namun pemimpin di bizantium tutup mata, hati dan pintu, mereka berlagak ibarat novel Mangunwijaya “Ikan Ikan Hiu, Ido Oma” Novel Trilogi Perjuangan di Perairan Ambon dan Laut Bandanaira, budak belian di kekuasaan imperium Belanda.

Baca Juga :  Memahami Visi Indonesia, Presiden Ir. H. Joko Widodo 2019-2024 (2)

Negara memang memiliki kewajiban untuk memastikan adanya jaminan kehidupan dan perlindungan bagi semua warga negara, negara memiliki daya paksa untuk taat dan tunduk pada simbol-simbol negara bangsa, negara memiliki kewajiban untuk memastikan hukum berjalan tanpa diskriminasi, juga negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan kepastian hidup seluruh rakyat secara adil dan merata. Namun demikian harus disadari bahwa tahta dari rakyat, untuk rakyat dan demi rakyat. Tahta digunakan dan dimanfaatkan untuk menghadirkan keadilan di negeri ini.

Perilaku yang dipertontonkan dinegeri ini dengan mengkultuskan diri sebagai pemilik negara adalah absurd, arogan, kronisme dan cenderung primordialisme. Namun harus diingat bahwa Bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh kelompok, satu orang, satu suku dan agama. Laksamana Malahyati berjuang di Aceh, Sisingamangaraja di tanah Batak, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Hasanudin di Makasar, Patimura di Ambon, demikian pula ada 7 pahlawan keturunan China, ada Baswedan dari keturunan Arab, pahlawan beragama Katolik dari Jawa Tengah, Slamet Riyadi, Adi Sutjipto, Adi Sumarmo, Yos Sudarso, I.J. Kasimo dll, yang merintis kemerdekaan ini semua suku bangsa dan agama.

Mereka ini keturunan rakyat jelata, bukan darah biru, raja-raja di nusantara juga tidak pernah berjuang kemerdekaan Indonesia, mereka hanya sebagai pemungut cukai, kaki tangan dan anak emas kolonial. Padahal dalam sejarah, kolonial hanya 1 orang raja yang dieksekusi mati oleh Belanda, yaitu Raja Ende Lio di Flores, Pius Wasi Wangge di eksekusi di Kupang. Namun hari ini Kesultanan Yogya, dan Kesunanan Solo dan darah biru di Jawa mengklaim negeri ini milik mereka, omong kosong!

Indonesia masih muda, 73 Tahun bagi sebuah negara belumlah cukup untuk bisa membangun negara bangsa (character and nation bullding). Negara-negara lain seperti Inggris berabad-abad lamanya menjadi negeri seperti sekarang, namun Inggris Raya dan Irlandia masih bermasalah. Iraq, negara tertua, negeri asal hukum hamurabi dan berperadaan tinggi kini menjadi negeri yang berantakan. Mesir negeri yang lahir ribuan tahun sebelum masehi masih menghadapi problem serius tentang penerapan doktrin teokrasi, Iran negeri yang umurnya sudah mencapai ribuan tahun masih bermasalah bagi minoritas sunni.

Pemimpin negeri ini, Presiden, MPR, DPR dan pengelola negara harus mencari jalan keluar untuk mampu memastikan adanya jaminan kehidupan dan eksistensi komunitas suku, agama, ras dan antar golongan dengan jalan baru yaitu menempatkan simbol-simbol negara bangsa secara dinamis, fleksibel dan mampu menampung seluruh ideologi, pandangan hidup, nilai budaya, ideologi agama yang ada, lahir, tumbuh, berkembang dan berkembang di Indonesia melalui:

1. Pancasila
Pancasila tidak mesti dijadikan sebagai azas tunggal karena semua komunitas bangsa ini memiliki azas yang berbeda-beda. Ada yang berazas agama, ada yang berazas budaya, ada yang berazas kepribadian suku dan bangsa di nusantara.

Sudah saatnya membuka wacana (diskursus) Tuhan sebagai sumber kekuasaan atau sumber moral adalah hal yang mudah diperbincangkan, agar termasuk tuntutan akan adanya piagam Jakarta dan juga piagam Madina sebagai sebuah wacana yang hidup.

Demikian pula kemanusiaan yang adil dan beradab. Istilah “adil dan beradab” itu kata kerja bukan kata sifat. Sehingga tidak tepat dimasukan sebagai falsafah hidup (filosofiche groundslack). Demikian pula persatuan Indonesia tercerai berai dalam sektarianime dan etnisistas, adalah fakta sosial yg tidak bisa ditutupi atau disembunyikan bahwa ada Islamo phobia, Kristen phobia, papua phobia, Jawa phobia, Bali phobia sudah mulai tumbuh kembang dan menjamur dimana-mana.

Persoalan permusyawaratan, sistem pemilu sekarang promosional terbuka adalah sistem Winners takes all, pemenang ambil semua. Tidak tepat karena adanya fakta bangsa kita persebaran penduduk yang tidak seimbang. Jawa masih dominan dari suku lain. Maka bukan tidak mungkin Presiden melalui pemilihan dan juga legislatif pasti didominasi oleh mayoritas di negeri ini. Ini yang namanya kekuasaan berpusat pada satu suku. Problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice). Maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini.

Baca Juga :  Tanah Mama Ditengah Penetrasi Kapital dan Hegemoni Kuasa di NTT

2. NKRI
NKRI itu hanya sebuah bentuk bangunan negara bangsa. Bentuk negara ini sama dan ibarat nomenklatur yang termasuk bangunan sosial, bangunan sosial bersifat dinamis bukan statis dan kaku, sebagaimana sistem sosial yang selalu berubah. NKRI itu juga bisa berubah, sangat ironis seluruh dunia Negara kesatuan itu dibentuk jika; luas wilayahnya kecil, negara kontinental (daratan), penduduknya homogen, kekuasaan terpusat. Kalau bangsa kita jelas bahwa wilayah negara ini terlalu luas, negara maritim, penduduk heterogen, dan pemerintahan demokratis, inilah yang namanya contradictio in terminus. Sudah saatnya kita harus formulasi ulang tentang NKRI dengan bentuk negara federasi atau serikat. Bangsa Aceh bisa mengatur dan mengurus diri sendiri, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, NTT dll.

3. UUD 1945
UUD 1945, sebagai landasan konstitusional tidak dapat diterapkan dan tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia. Kalau kita cermati sebagai landasan konstitusional tidak mampu menjadi pijakan para pembuat undang-undang. Berbagai pasal di batang tubuh yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundangan yang dihasilkan saat ini. Selain adanya gugatan sekelompok orang yang dituduh makar yang ingin agar kata “asli” dihidupkan kembali. Juga adanya undang-undang yang bertentangan misalnya hukuman mati, sesuai dengan pasal 28 huruf i UUD 1945 menyatakan pengakuan hak hidup namun dalam UU KUHP masih menerapkan hukuman mati.

Demikian pula UUD juga tidak statis, kita memilik pengalaman amandemen UUD 1945. Sudah saatnya UUD 1945 dilakukan perubahan secara radikal untuk mengakomodir agar adanya kepastian kepentingan golongan minoritas dalam eksistensi Republik ini.

4. Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika ini hanya hanya adagium yang dimaknai secara simbolik tetapi tidak substansial. Pengakuan keanekaan secara simbolik tidak disertai dengan kebijakan yang berbhineka. Ketika Presiden menunjuk menteri 28 orang dari 34 di antara berasal dari 1 suku yaitu Jawa maka sejatihnya tidak melaksanakan atau mewujudkan bangsa pelangi atau Bhinneka.

Bhinneka adalah bangsa pelangi karena itu tidak tepat kalau disebut Ika atau Tunggal. Pengakuan secara faktual bahwa kita berbangsa multi etnik dan Multi minoritas adalah sesuatu ada (being). Kenyataan hari ini menyaksikan bangunan kebhinekaan bangsa rapuh bahkan nyaris runtuh. Saatnya mesti belajar mengakui adanya fakta bangsa ini memang berbeda-beda.

Semua riu redah dan riak-riak di bangsa ini tidak jatuh dari langit. Ada akar historisnya dan ironisnya persoalan-persoalan ini muncul ketika bangsa ini memilih Pancasila, UUD 45, NKRI Adagium Bhinneka Tinggal Ika menjadi pilar-pilar bangsa yang konstan tanpa membuka ruang menampung nilai-nilai baik yang lahir, timbuh dan berkembang di negeri ini.

Termasuk Hukum Syariah, Khilafah dan Khalifah sebagai komplementer untuk melengkapi cara pandang, pemikiran dan tindakan berbangsa dan bernegara. Sampai kapanpun bangsa ini akan bermasalah ketika penetrasi Islam transnasional begitu kencang berkembang pada mayoritas, namun negara menutup ideologi, dogmatika agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Loading...