oleh

Tri Petaka Membayangi Indonesia, Sebuah Opini Malika Dwi Ana

Tri Petaka Membayangi Indonesia (Renungan 74 tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia). Oleh: Malika Dwi AnaPengamat Sosial Politik

Arti kata malapetaka di KBBI adalah; kecelakaan, kesengsaraan, musibah. Contoh kalimat: siapa pun tidak mengharapkan malapetaka datang menimpanya. Tidak berbeda dengan maksud tulisan berikut, yakni tentang malapetaka atau musibah yang menimpa bangsa Indonesia. Yang jika dinarasikan dalam jumlah nominal katagori, maka boleh disebut ada 3(Tri) Petaka, Tri Petaka di umur proklamasi kemerdekaan ke 74 tahun. Ini prolog catatan kecil berikut.

Jika ditilik, situasi belakangan mirip dengan situasi saat berakhirnya ORBA (Orde Baru) yang ditandai dengan krisis ekonomi yang parah, lalu tidak ada harapan perubahan politik lewat Pemilu. Potret bopeng Ekonomi yang terperosok merosot belakangan disebabkan oleh kinerja pemerintah yang incompetent, dan ini menjadi Petaka Ekonomi yang sesungguhnya.

Flash back, jelang berakhirnya ORBA, beredar foto ikonik Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Camdessus yang berdiri dengan lengan terlipat ketika Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF. Sejenak terlintas di pikiran seperti seorang guru sekolah yang sedang menjatuhkan hukuman kepada muridnya yang nakal, melambangkan kejatuhan pemimpin besar Indonesia yang sudah berusaha maksimal membangun Indonesia dan mensejahterakan rakyatnya.

Hari itu tanggal, 15 Januari 1998, ekonomi Indonesia yang seharusnya tidak terpengaruh hebat akibat dampak krisis keuangan dan moneter Asia, akhirnya menyerah kalah pada krisis yang direkayasa Amerika Serikat dan China yang berkolaborasi dengan IMF.

Hari itu 15 Januari 1998, Soeharto dan Indonesia masuk perangkap situasi yang diciptakan oleh konspirasi global yang didukung penuh mayoritas konglomerat Tionghoa Indonesia.

IMF menyetujui kucuran utang untuk Indonesia dengan penandatangan perjanjian utang beserta syarat-syarat yang harus dipatuhi Indonesia oleh Presiden Soeharto. Dengan menandatangani perjanjian utang US$ 43 miliar, IMF mendorong percepatan kejatuhan Presiden Soeharto, dan merancang masa depan baru untuk Indonesia yang sarat kepentingan Amerika, China dan para konglomerat Tionghoa Indonesia. Dan terjadilah amandemen UUD 45.

Baca Juga :  Stockholm Sindrom, Curhat Kebangsaan

Dan sejak itu Indonesia silih berganti menjadi korban penjajahan baru (neoimperialisme) asing. Puncaknya pada 2014, ketika China-P Demokrat AS-Cukong-CSIS berhasil mendudukkan seorang boneka menjadi penguasa tertinggi negara. Sejarah petaka itu berlanjut.

Kondisi ekonomi goyah, mata uang jatuh, utang melonjak, beban pembiayaan proyek infrastruktur melebihi daya tahan APBN, kredit dan investasi menurun, defisit neraca pembayaran karena impor terus menerus melampaui ekspor, dan seterusnya tentu saja memiliki konsekuensi politik bagi Presiden Joko Widodo pasca dinyatakan menang oleh MK Mei lalu.

Kegemilangan 2014 akan diulang di 2019 sepertinya. Dan segera, Indonesia menghadapi krisis politik masif, yakni dugaan kecurangan Pemilu karena masih berkuasanya petahana. Sebagaimana publik ketahui, sebaran kemenangan suara 01 tidak melebihi 1/2 jumlah propinsi di Indonesia. Padahal lembaga-lembaga survey dengan quick countnya memenangkan Jokowi secara mutlak. Pernyataan KPU memenangkan 01 ternyata tidak didukung situng manual sesuai konstitusi. Masih ada 12 propinsi yang belum menyelesaikan hitung manualnya dari 34 propinsi. Seharusnya KPU tidak buru-buru menyatakan kemenangan 01 bila hitung manual masih terkatung-katung, melewati batas waktu yang ditentukan. Ya ibarat anak dinyatakan lulus sekolah, tapi nilai manual ijazah belum keluar.

Pasal 6 UUD 1945 mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Prabowo tidak menang secara nasional (menurut KPU) tetapi dia menang di 26 provinsi dan tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen.

Hal-hal diatas berpotensi menggagalkan Jokowi dilantik menjadi presiden. Konstitusi menjadi penghalang besar mewujudkan keinginannya menjadi presiden dua periode. Jika bersikeras, maka KPU harus menyelesaikan situng di 12 propinsi sebelum jadwal pelantikan presiden. Dan tentu saja ini membuat KPU pusing tujuh keliling. Karena harus menyesuaikan situng manualnya dengan situng yang dijadikan rujukan kemenangan Jokowi. Keduanya harus sama. Tapi itu tidak mungkin sama, sebagian besar Form C1 memenangkan Prabowo. Selain itu, solusi kedua adalah pemilu ulang, tapi itu tidak mungkin dilakukan sepertinya.

Baca Juga :  Mafia Peradilan di Jakarta Timur (1): Ada Komnas HAM di Jaman Soeharto
Demikianlah, dua petaka ekonomi dan politik yang terjadi hampir bersamaan di Indonesia, saling beriringan dan berkaitan. Di luar perhitungan nalar manusia, sepertinya gejala-gejala bencana alam juga sedang mengintai di berbagai daerah di sekitar Jawa dan bahkan ibu kota negara. Ya ibarat bisul, dia taraf gatal-gatal pada puncaknya sebelum akhirnya bisul itu ‘mbledhos’ alias meletus. Seandainya ketiga petaka tersebut terjadi sekaligus bebarengan, bagaimana kira-kira efeknya terhadap negara Indonesia yang baru melakukan selebrasi HUT proklamasi kemerdekaan yang ke 74 tahun?

Konflik-konflik ekonomi, politik dan ketidakadilan dibanyak hal biasanya mengarah kepada datangnya chaos; situasi kacau balau, di mana masyarakat mudah disulut, dan lalu menjadi bentrok fisik, disintegrasi bangsa dan berbagai polemik muncul. Lepas dari design atau grand design. Kasus Papua menarasikan banyak hal, mulai dari rasisme, ketidakadilan ekonomi, ketidakmerataan pembangunan dan lain sebagainya. Ekonomi Indonesia yang anjlok, dan termasuk dalam daftar Negara Berisiko Default. Cadangan devisa menipis, sudah begitu dihadapkan dengan jatuh tempo pembayaran cicilan hutang, sementara negara juga menghadapi bencana alam terus-terusan yang pasti akan menguras kas negara.

Mudah-mudahan dalam kondisi seperti ini alam memunculkan Tokoh Bangsa yang sudah terpilih secara alami, melalui seleksi alam yang ketat, seperti kelahiran raja-raja besar Nusantara terdahulu yang selalu didahului oleh bencana alam; gunung meletus, gempa, maupun banjir bandang.

Maka di

bulan, hari jadi Indonesia ke 74 ini semoga Indonesia segera mengalami situasi ‘wungu’ yang sebenarnya atau bangun dan bangkit yang sesungguhnya; dibangunkan dan dibangkitkan dari situasi tidak terjaga menjadi terjaga, diberi kesadaran menyaksikan diri dan memahami cahaya dan lalu mencapai kejayaannya, seperti dinarasikan oleh lagu Indonesia Raya; “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya… untuk Indonesia Raya….” Sehingga segera mampu memerdekakan diri dari pemimpin-pemimpin yang melakukan pembodohan, pembohongan, pemiskinan, kejahatan dan penipuan. Merdeka, berdaulat, adil, makmur dan sejahtera.

Loading...