Anggaran Dana untuk Mengatasi Wabah Covid-19, Tanggung Jawab Siapa?

Anggaran Dana untuk Mengatasi Wabah Covid-19, Tanggung Jawab Siapa? Oleh: Annisa Fauziah SSi, Alumni Universitas Indonesia.

Saat ini, pandemi Covid-19 telah mengguncang stabilitas ekonomi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Merebaknya pandemi ini membuat prospek perekonomian Indonesia melambat. Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Misbakhun meminta pemerintah mengambil kebijakan afirmatif untuk melindungi perekonomian rakyat.

Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J. Rachbini dan Peneliti LP3ES Fachru Nofrian mengatakan instrumen APBN sangat penting dalam menangani dampak virus ini. Didik dan Fachru menilai bahwa sejauh ini pemerintah terlihat ragu dan maju mundur dalam mengalokasikan dana APBN untuk menangani virus corona. Mereka menilai alokasi dana yang terus berubah mencerminkan kebijakan yang lemah dari pemerintah.

Jika pemerintah benar-benar serius dalam menghadapi Covid-19, tentu pemerintah akan fokus dan memiliki prioritas untuk melindungi rakyatnya. Seperti yang sudah kita ketahui,  saat ini ketersediaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis menjadi hal yang penting. Ironisnya, Kemenko Kemaritiman dan Investasi justru memastikan persiapan pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur terus berjalan (on track) meski saat ini Indonesia tengah menghadapi mewabahnya Covid-19.

Bahkan tim dari Kemenko Kemaritiman dan Investasi beserta dengan Kementerian Keuangan masih terus melakukan koordinasi dengan berbagai calon investor dan mitra untuk pengembangan ibu kota negara yang baru. Semestinya dalam situasi seperti ini,  hal ini bisa ditunda dan tidak dipaksakan, apalagi jika sekadar untuk mengejar proyek pemindahan ibu kota yang ditargetkan selesai 2024.

Di tengah sikap pemerintah yang cenderung lebih “santai” dalam menghadapi pandemi ini, justru kepedulian masyarakat belakangan muncul sebagai bentuk solidaritas untuk memberi bantuan kepada tim medis bahkan mengurangi beban ekonomi sebagian warga miskin. Berbagai LSM dan masyarakat secara individual gencar melakukan donasi untuk membeli APD dan masker untuk tenaga medis. Bahkan ada yang sekadar berbagi makanan gratis untuk pengendara online dan buruh harian yang penghasilannya semakin menurun dan tidak sanggup memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Banyak pula situs penggalangan dana berbasis publik untuk menanggulangi wabah Covid-19 ini. Memang tidak ada yang salah dengan hal ini, justru perlu diberikan apresiasi. Artinya rakyat masih memiliki kepekaan untuk saling membantu satu sama lain. Namun, apakah akhirnya rakyat harus mengambil alih tugas pemerintah untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan warga negaranya?

Juru bicara khusus penanggulangan Covid-19 Achmad Yurianto menyatakan bahwa pemerintah telah menerima sumbangan dari masyarakat untuk percepatan penanganan virus corona dengan total lebih dari Rp 80 miliar. Bahkan pemerintah membuka dua rekening khusus untuk menampung sumbangan masyarakat tersebut. Donasi tersebut akan dikelola oleh Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19. Opsi ini dibuka untuk membantu meringankan beban Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) pemerintah. Padahal, anggaran dana untuk mengatasi wabah Covid-19, memangnya tanggung jawab siapa?

Jika pemerintah memiliki inisiatif yang tinggi serta mengambil kebijakan yang tepat, tentu pemerintah bisa melakukan realokasi anggaran di kementerian lembaga hingga pemerintah daerah. Beberapa hari yang lalu, pemerintah akhirnya mengumumkan akan mengalokasikan APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk penanganan wabah Covid-19. Namun, beberapa pengamat termasuk salah seorang anggota komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat mempertanyakan asal usul anggaran dana tersebut apakah berasal dari utang, realokasi anggaran atau keduanya.

Kekhawatiran dari berbagai pihak tentu bukan tidak berdasar. Pasalnya, rakyat sudah cukup “trauma” dengan jeratan utang kepada IMF. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) saat ini memiliki dana sekitar 1,5 triliun dollar AS untuk membantu penanganan virus corona. Sri Mulyani berharap, alokasi dana tersebut bisa digunakan untuk membantu pencegahan krisis bagi negara anggota IMF.

Jika saat ini berbagai negara di bawah ideologi kapitalisme sekuler masih menggantungkan anggaran bencana kepada bantuan asing, bank dunia, atau IMF. Tentu kita harus mengambil pelajaran bahwa di hadapan para kapital “No Free Lunch”. Artinya di balik bantuan yang diberikan pasti ada timbal balik yang harus diberikan. Begitupun pada akhirnya jeratan utang semakin membelenggu negara berkembang untuk terus terjajah dan tergantung kepada para kapital.

Pandemi global seperti ini memang tidak bisa dihindari oleh negara mana pun, termasuk negara maju sekali pun. Kondisi seperti ini akan berimbas secara langsung kepada perekonomian negara. Bisa jadi pemerintah tidak mampu lagi menopang seluruh pembiayaan dan kebutuhan yang ada, misalnya saja karena kondisi kas keuangan dan faktor lain yang tidak mencukupi. Hal Ini pernah dialami pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab saat mengalami krisis ekonomi yang hebat. Rakyat Daulah Islam kelaparan massal, yang sakit pun ribuan.

Yang pertama dilakukan Khalifah Umar adalah menjadi teladan terbaik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis ekonomi ini. Ia mengambil langkah untuk tidak bergaya hidup mewah. Makanan ia seadanya. Bahkan kadarnya sama dengan rakyat yang paling miskin atau bahkan lebih rendah lagi. Beliau bisa merasakan betul bagaimana penderitaan yang dialami oleh rakyatnya. Beliau kemudian segera mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi krisis ekonomi secara cepat, tepat dan komprehensif.

Untuk mengoptimalisasi keputusannya, khalifah segera mengerahkan seluruh struktur, perangkat negara dan semua potensi yang ada untuk segera membantu masyarakat yang terdampak. Salah satunya yaitu membuat posko-posko bantuan. Khalifah sendiri yang bekerja dalam posko-posko tersebut, memastikan semua berjalan optimal. Lembaga-lembaga pemerintahan yang langsung berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan rakyat. Baik yang bergerak dalam bidang finansial atau yang lainnya, langsung diminta bergerak cepat.

Ketika pemerintah pusat sudah tidak mampu lagi menutupi semua kebutuhan dalam rangka menyelesaikan krisis. Pemerintah pusat langsung memobilisasi daerah-daerah wilayah Kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu untuk membantu menyelesaikan krisis tersebut. Khalifah Umar langsung mengirim surat dan utusan langsung untuk mengurusi hal ini, agar bantuan segera terkondisikan dan disiapkan.

Para gubernur dengan semangat ukhuwah Islamiyah dan manajemen pemerintahan yang rapi serta saling menopang, langsung sigap menyiapkan dan memberikan bantuan dengan jumlah yang sangat banyak. Bantuan itu benar-benar bisa membantu secara tuntas semua kebutuhan yang diperlukan.

Itu semua dilakukan dengan spirit menjalankan syariah Islam dalam pengelolaan pemerintahan khususnya, bantuan daerah kepada pusat dalam upaya penanggulangan krisis. Begitulah totalitas khilafah dalam menyelesaikan sebuah krisis. Jika pemerintah pusat sudah tidak mampu lagi, khalifah akan memobilisasi bantuan dari wilayah-wilayah di bawah kekuasaan khilafah. Mereka didorong dan dipacu untuk memberikan bantuan yang kualitas dan kuantitasnya terbaik.

Ini adalah sebuah sikap kepedulian yang luar biasa dari seorang kepala negara terhadap penderitaan rakyatnya. Khalifah Umar tahu bahwa tanggung jawab seorang kepala negara sangatlah besar kelak di hari kamat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dalam melayani urusan rakyatnya.

Tentu saat ini kita sangat merindukan sosok pemimpin seperti seorang Umar bin al-Khaththab yang begitu peduli dalam mengurusi setiap urusan rakyatnya. Begitupun kita rindu dengan diterapkannya syariat Islam secara kaffah yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam dan menyelesaikan seluruh problematika kehidupan kita.

Alumni Universitas IndonesiaAnggaranAnggaran Dana Wabah Covid-19Annisa FauziahCOVID-19Khilafah
Comments (0)
Add Comment