Praktek Politik Oligarki di Tengah Pandemi. Opini Djumriah Lina Johan

Praktek Politik Oligarki di Tengah Pandemi. Oleh: Djumriah Lina Johan, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam.

Publik dikejutkan oleh praktek politik oligarki yang dipertontonkan ke khalayak ramai. Bahkan di kala negeri ini ditimpa musibah Covid-19 yang telah menewaskan lebih dari enam ratus orang dan lebih dari tujuh ribu positif corona. Entah di mana hilangnya nurani rezim dan kroninya.

Disadur dari CNNIndonesia.com pada Selasa (14/4/2020) Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.

Dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, dia membeberkan, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun.

Terakhir, lanjutnya, pemotongan dilakukan terhadap tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus, dari semula Rp2,06 triliun menjadi Rp1,98 triliun. “Di saat sulit pandemi wabah Covid-19, nafkah guru malah dipotong-potong,” kata Fikri dalam keterangannya, Selasa (14/4).

Ketika tunjangan guru dipangkas oleh Pemerintah, segelintir elit politik di negeri ini justru mendapat jatah pembagian proyek kelas kakap bernilai triliunan. Sebagaimana diwartakan oleh Jateng.tribunnews.com pada Selasa (14/4/2020) Ruangguru ditunjuk menjadi aplikator Kartu Prakerja, Staf Khusus Presiden Republik Indonesia (RI) Belva Devara dinilai melakukan praktek korupsi.  Hal tersebut diungkapkan Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Rachland Nashidik lewat akun twitternya @RachlanNashidik; ada Selasa (14/4/2020).

Dalam statusnya, Rachland Nashidik menegaskan Jokowi harus menghentikan pelatihan online dalam Program Kartu Prakerja. Sebab, tidak hanya ekonomi bangsa kini tengah mengalami resesi imbas virus corona, kebijakan tersebut ditegaskannya terindikasi adanya praktek kolusi.  “Pertumbuhan ekonomi dalam pandemi ini diprediksi minus. Bisnis terpuruk. PHK dimana-mana. Tapi negara malah menyediakan Rp. 5.6 Triliun untuk pelatihan online?,” ungkap Rachland Nashidik. “Kebijakan ini bukan saja tak perlu tapi juga korup bila mitra yang ditunjuk adalah perusahaan milik stafsus Presiden,” tegasnya.

Pun demikian dengan dana haji yang dilirik untuk kepentingan penanganan pandemi. Namun di saat yang sama Pemerintah urung menggunakan dana belanja Pemerintah yang sebenarnya bisa dialihkan menjadi sumber anggaran penanganan wabah.

Sebagaimana diberitakan dari Bisnis.com, pada Rabu (15/4/2020) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) berkomitmen untuk tetap memberikan pendanaan kepada siswa penerima LPDP. Hal ini meski dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tertulis bahwa dana abadi pendidkan bisa dijadikan sumber anggaran untuk penanganan Covid-19. “Para mahasiswa on going dan penerima pendanaan riset yang sedang berjalan akan tetap menerima pendanaan hingga masa studi/program riset selesai sesuai perjanjian,” ujar LPDP dalam keterangan resminya, Senin (13/4/2020).

Meski akumulasi dana abadi pendidikan bisa ditarik, alokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 tidak mengurangi belanja wajib untuk pendidikan sebesar 20% dari anggaran.

Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan dana jemaah haji tidak akan digunakan untuk penanganan virus corona (Covid-19). Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang bersumber dari jemaah sepenuhnya dipakai untuk kepentingan penyelenggaraan haji. “Saya pastikan tidak ada dana jemaah haji yang digunakan untuk pencegahan Covid-19,” kata Juru Bicara Kementerian Agama Oman Fathurahman mengatakan dalam keterangan tertulis, Senin (13/4).

Oman menjelaskan BPIH berasal dari biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), APBN, nilai nanfaat, dana efisiensi, atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal itu diatur dalam Pasal 44 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Ia berkata BPIH yang bersumber dari Bipih, nilai Manfaat, dan dana efisiensi dipergunakan untuk membiayai pelayanan kepada jemaah haji. Sementara BPIH yang bersumber dari APBN digunakan untuk operasional petugas haji.

“Apabila haji batal dilaksanakan tahun ini, hanya BPIH yang bersumber dari APBN yang dapat direalokasi untuk mendukung upaya penanganan penyebaran Covid-19,” ujar Oman.

Sebelumnya, wacana menggunakan dana haji untuk penanganan virus corona muncul dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama Fachrul Razi, pada Rabu (8/4). Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Nanang Samodra mengusulkan penggunaan dana haji karena hingga saat ini belum ada tanda-tanda Arab Saudi akan membuka penyelenggaraan haji. (CNNIndonesia.com, Senin, 13/4/2020)

Dengan demikian, menyelidik kebijakan anggaran Pemerintah di atas mengkonfirmasi beberapa hal :

Pertama, upaya melanggengkan politik oligarki yang hanya menguntungkan penguasa dan orang-orang yang berada di dalam lingkaran yang sama. Jelas ini mengindikasikan masih bercokolnya praktek KKN di negeri demokrasi ini.

Kedua, hilangnya nurani dan urat  malu rezim berkuasa dengan tanpa tedeng aling-aling menyabotase anggaran haji dan tunjangan pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal sebagaimana yang dipahami bersama bahwa dana haji ialah amanah dari rakyat khusus untuk pelaksanaan haji sehingga tidak boleh dipergunakan sembarangan.

Begitupula dengan tunjangan guru, guru yang menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan bangsa seharusnya dimuliakan dan diberi tunjangan yang semestinya. Bukan malah dipangkas tunjangan yang sudah mini tersebut.

Ketiga, penguasa saat ini secara gamblang memperlihatkan fokusnya bukan pada kesejahteraan rakyat melainkan keuntungan konco-konconya. Slogan kesejahteraan hanyalah angan-angan yang tidak akan pernah terwujud jika negara ini masih berpegang teguh pada sistem kapitalisme.

Keempat, tak lain dan tak bukan akibat sistem kapitalistik yang menggigit. Sistem ini mendoktrin bahwa kemakmuran para pemilik modal adalah tujuan di atas tujuan. Maka wajar jika kita mendapati banyaknya para pengusaha yang berkamuflase sebagai penguasa. Apalagi tujuannya jika bukan untuk semakin memperkaya diri sendiri dan keluarga tujuh turunan?

Hal ini jelas berbeda dengan Islam. Pertama, Islam tidak pernah mengajarkan adanya praktek KKN. Sehingga politik oligarki sejatinya haram untuk dilakukan oleh kaum Muslimin. Karena Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Maka kesejahteraan seluruh warga negara merupakan amanah yang wajib diwujudkan oleh para pemimpin yang amanah.

Kedua, Islam memiliki pengaturan prioritas anggaran. Dalam negara Islam ada pos di dalam Baitul Mal yang disebut dengan pos Thawariq, atau pos yang berisi dana untuk penanganan wabah maupun bencana alam. Pos ini ada tidak ada hajat akan selalu diisi oleh negara, yaitu dari harta fai, jizyah dan kharaj. Sehingga negara Islam tak akan kelimpungan seperti Indonesia dalam menangani wabah virus yang menggila serta menggilas perekonomian.

Dengan demikian, Islam mampu menjamin kesejahteraan serta keberkahan kehidupan umat. Namun, sekali lagi hal ini hanya bisa terjadi dan tak hanya sekedar menjadi konsep dan gagasan semata jika tidak diwujudkan dalam realitas kehidupan. Maka PR besar umat sekarang adalah mengembalikan kejayaan Islam. Wallahu a’lam bish shawab.

dana hajiDjumriah Lina JohanPolitik OligarkiPraktek Politik Oligarki di Tengah Pandemi
Comments (0)
Add Comment