oleh

Antara Khilafah, Panatagama dan Panatanagari

Antara Khilafah, Panatagama dan Panatanagari.

Ditulis oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.

Sebutan rakyat untuk sesembahannya adalah tuan, Tuhan, Gusti, dan selalu merupakan personifikasi dewa dewi pujaannya; Syiwa, Wisnu, dan Brahma. Maka gelar-gelar mereka juga mengandung kemuliaan sifat-sifat tuan/tuhan/dewa dewi gustinya, misal : Hamengku Buwono Khalifatullah Panatagama, pemangku alam semesta, raja dan pemimpin agama.

Di dalam Serat Centhini jilid-4 dijelaskan bahwa pemimpin negara harus melakukan 5 hal untuk setiap warga di negara yang dipimpinnya agar negara itu dapat menjadi negara maju.

1. Setiap warga harus dididik untuk mengerti hukum di negara yang dipimpinnya. Timbulnya kesemrawutan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara karena banyak warga yang tidak mengerti hukum yang berlaku, termasuk penegak hukum yang melanggarnya.

2. Setiap warga harus dididik dan dilatih agar pandai berbicara. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang dapat menyampaikan ide dan gagasannya dan orang yang mendengarkan dapat mengerti apa yang diucapkannya.

3. Setiap warga harus dididik dan dilatih untuk dapat hidup bertata karma. Dalam pengertian zaman now, setiap orang harus memahami etika dan etiket yang berlaku di bumi yang dipijaknya.

4. Setiap warga dididik, diajar, dan dilatih agar mempunyai kepandaian dan keahlian untuk mencari rezeki. Dalam bahasa jaman now setiap orang harus mempunyai kepandaian dan keahlian untuk mencari nafkah sesuai dengan bakat dan keahliannya.

5. Setiap warga harus dididik agar hidup dengan perilaku yang baik, yang artinya setiap orang harus bekerja dengan baik, tekun, disiplin, jujur, sesuai dengan SOP-nya agar ia selamat hidupnya di dunia dan akhiratnya.

Dan yang membedakan tuan dulu dengan sekarang adalah, dahulu benar-benar berpegang pada tatanan, dan nasehat para Resi dan Begawan, sehingga perilaku mereka benar-benar cerminan manifestasi Tuhan. Maka timbullah penyebutan sebagai Satriagung Binathara, satriya agung yang berkuasa penuh memegang teguh Hasta Brata (8 sifat pemimpin unggul) dan Hasta Dasa Parateming Prabu (18 karakteristik pemimpin).

Sampai kapanpun bangsa ini, apapun agamanya sebenarnya tidak punya jiwa sekuler, itu yang disebut sebagai insting purba jaman baheula tentang rajanya, dewa dewinya atau pemimpinnya. Makanya setiap kali muncul pemimpin baru, akan selalu dihubung-hubungkan dengan kehadiran Ratu Adil, Messiah, Satriya Piningit yang diharapkan mengentaskan rakyat dari segala deritanya, dan memberikan keadilan penuh. Dahulu, Raja memenuhi segala kebutuhan rakyatnya. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab Raja. Sekarang? Justru rakyat menanggung hidup dan kesejahteraan para petinggi dan pamong-pamongnya yang tidak pantas disebut Raja, apalagi Panatagama, maupun Panatanagari. Kerjaan tiap hari hanya merecokin hidup (memajaki rakyat) dan menghisap kekayaan dan sumber daya alam yang seharusnya menjadi haknya segenap rakyat.

Baca Juga :  Fitnah Keji dan Kedzaliman Aparat Dalam Penangkapan Kasus Ali Baharsyah

Antara Khilafah, Panatagama dan Panatanagari

Dahulu kala, Raja digambarkan sebagai wakil Tuhan di bumi, hal ini terlihat dari banyaknya situs-situs peninggalan era-era jaman kerajaan, utamanya di candi Plaosan begitu jelas terdapat patung yang lumayan besar dengan gambaran cahaya di belakangnya, atau bangku di belakangnya, itu yang disebut dengan makara Tuhan. Arca ini menunjukan Raja adalah keAnugerahan Tuhan. Hal ini menandakan bahwa, dahulu Raja dianggap sebagai wakil Tuhan.

Demikian besar citra seseorang yang dianggap Raja Agung, sehingga tokoh tersebut dipresepsikan sebagai “tangan Tuhan”, dan tokoh yang dianggap telah memberikan banyak sekali warisan, baik tanah, kekayaan, ideologi, bahkan agama yang menjadi pengawal peradaban dari generasi ke generasi.

Tokoh yang berkarisma itu disebut memberikan Nubuat, atau Nabi, atau dalam istilah jawa disebut Ajie atau Adhie, titah sang Raja, dengan memberikan risalah, kerasulan, atau warisan berharga yang akan diwariskan dari generasi ke generasi. Warisan yang berasal dari mitos menuju dunia modern yang sangat materialistis.

Pandangan diatas didukung Prasasti Lintakan di daerah Kedu tahun 919 (841 saka), yang menuliskan, “sumusuk ikana alas”, yang artinya; telah diukur, dibuat tanah hutan ini untuk “pakna nya carua i caitya ni Yaya Sri Maharaja “, artinya; makna dan gunanya adalah untuk memperingati orang mati (caru), di dalam candi (caitya) yaitu ayahandamu, orang tua dari Raja Tulodong (Dennys Lombard, Hal: 18, Nusa Jawa Silang Budaya, Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta Paris, Ecole Francise de Extreme Orient, 2005).

Baca Juga :  Ironi Bangsa Pemilik Tanah Ulayat

Belum ada bentuk demokrasi dan pemilu saat itu, yang ada adalah negara agama, atau negeri dengan Raja sebagai imam atau panatagama selain panatanagari, negara agama atau disebut Sidhayartaa. Dan Khilafah mengadung arti panatagama, pemimpin agama, dan pemimpin negeri. Agamawan sekaligus negarawan.

Melihat posisi kaki pada gambar arca di candi Plaosan tersebut posisinya setengah bersila, artinya setengah Raja, setengah Brahman, lihat posisi tangannya yang menengadah, itu posisi meminta, mudra tapa, posisi panandita, tetapi di kepalanya ada mahkota, artinya dia adalah juga Raja.

Alam semesta atau jagat raya disebut oleh peradaban, epistemologi dan filologi Jawa dengan ‘Bawono’, sedangkan makhluk hidup yang menghuninya dinamakan ‘Buwono’. Para Hamengkubawono, yang ditugasi mengelola Bawono adalah makhluk-makhluk ekstra-dimensi dari sudut pandang alam-kemanusiaan, para staf atau Malaikat yang berdimensi mengetahui manusia namun tak diketahui oleh manusia kecuali yang mengolah batin dan kelembutan jiwanya. Sementara Hamengkubuwono yang dimandati mengurusi Buwono, yakni isi dan penghuni alam semesta, khususnya bumi, disebut Khalifatullah, yang dalam hal ini dikhususkan untuk makhluk manusia. Maka ada gelar Hamengkubuwono Khalifatullah Panatagama. Hamengkubuwono adalah Manusia, yang Allah menjulukinya sebagai Khalifah. Sedangkan Hamengkubawono dalam pengertian atau bahasa mudahnya adalah para Malaikat, yang berarti-harafiah rentang birokrasi Allah. Para Khalifah manusia dengan para Malaikat bekerja sama “mamayu hayuning bawono”. Menjaga keselarasan. Sunda Sa’ampareun Jagat/Cahaya Pencerahan Universal.

Maka pengertian Khalifatullah Fil Ardhi, artinya pemimpin yang mendapat petunjuk dari Tuhan untuk menguasai bumi, namun pada konteksnya ini disebut Khalifatullah ing tanah Jawi, menguasai tanah Jawa. Dan secara personal, masing-masing diri kita ini adalah Khalifatullah, yang diamanati oleh Tuhan untuk mengurus bumi dan seisinya, Hamengkubuwono, untuk memayu hayuning bawana, agar bumi ini lestari dan terjaga dari kerusakan.

Sarwa Hayu Sagung Dumadi

Loading...