SUARAMERDEKA.ID – KUHP baru meluaskan pasal-pasal yang belum sebelumnya diatur dalam KUHP Belanda. Salah satunya soal pasangan kumpul kebo dan zina.
Di Belanda, kumpul kebo tidak diatur dan bukan kejahatan karena masyarakat Belanda tidak mempermasalahkannya. Di KUHP baru yang mengadopsi nilai-nilai ketimuran, hal itu dilarang karena tidak sesuai dengan norma-norma keindonesiaan.
“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” demikian bunyi pasal 412 ayat 1 KUHP baru yang dikutip detikcom, Rabu (7/12/2022).
Nah, bisakah sembarangan orang menggerebek pasangan kumpul kebo? Ternyata tidak. Sebab, yang bisa mengadukan adalah suami/istri atau orang tua. Hal itu diatur dalam Pasal 412 ayat 2:
Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Demikian juga dengan zina. Dalam KUHP Belanda yang berlaku saat ini, zina hanya berlaku bagi pasangan yang sudah terikat pernikahan. Bila kedua pasangan tidak terikat pernikahan, maka bukan delik pidana. Oleh KUHP baru, yang akan berlaku pada 2025, hal itu diluaskan menjadi semua persetubuhan di luar ikatan pernikahan adalah delik pidana. Ancamannya 1 tahun penjara.
Tapi bisakah warga sekitar menggerebek pasangan zina di atas?
“Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan,” demikian bunyi pasal 411 ayat 2.
Lalu bagaimana bila di sebuah masyarakat meyakini ada nilai-nilai komunal yang melarang zina dan kumpul kebo dan membuat perdanya? Meski KUHP baru memberikan ruang bagi masyarakat untuk membuat Perda Adat, namun tidak berlaku membuat delik baru yang sudah diatur dalam KUHP.
“Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa,” demikian Pasal 2 ayat 2.
Sumber : detikcom