oleh

Budidaya Lobster Perspektif Teori Sink Population

Budidaya Lobster Perspektif Teori Sink Population. Oleh: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI).

Satu bulan ini, banyak orang bertanya tentang lobster. Keingintahuannya sangat tinggi. Rata-rata dari mereka follower pendukung budidaya Lobster dengan segala kontroversinya. Yang menarik, ada migrasi pembudidaya ikan laut yang merugi selama 5 tahun ini akibat kebijakan Mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti.

Migrasi pembudidaya ini, sekaligus berperan menolak ekspor benih Lobster dengan segala alasan argumentasinya. Bahkan, mereka tampil diberbagai media. Mereka juga masuk melalui struktur Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam membangun wacana-wacana budidaya Lobster untuk meraih opini publik dan mendapat dukungan.

Lagi pula, pengamat dadakan muncul atas nama ekonomi nasional karena mereka bersimpati terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti. Pengamat dadakan ini, muncul mengandalkan media-media darlyng sebagai follower yang selama ini dipakai oleh Menteri sebelumnya.

Semua mereka ini, tak ada yang muncul dalam perjuangan antitesa kebijakan Menteri KKP sebelumnya. Justru pejuang-pejuang yang relatif keras dan objektif selama 5 tahun ini tidak dipakai “tanda kutif.” Banyak sekali pengamat perikanan terbuang waktunya untuk meluruskan informasi yang benar-benar fakta selama ini. Namun, kalah dengan pengamat dadakan yang ingin meraih simpati dan mengambil hati.

Nah, sala satu modal pengamat dadakan ini, menggaungkan Budidaya Lobster dan menolak ekspor Benih Lobster. Tentu mereka juga memiliki alasan dengan modal narasi investigasi ke sentra-sentra budidaya di Vietnam maupun dinegara lainnya.

Walaupun, mereka sangat mengetahui mahalnya cost budidaya lobster yang tinggi itu. Sala satu kontroversinya yakni hasil Focus Group Discussion (FGD) Hipilindo pada 19 Desember 2019 di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan menolak ekspor benih lobster.

Rekomendasi paling krusial dalam Focus Group Discussion (FGD) Hipilindo pada 19 Desember 2019 itu, yakni besaran bibit lobster yang harus ditangkap margin Survival Rate (SR)-nya 30-40 persen. Rekomendasi ini membuat nelayan tangkap meradang. Masalahnya, benih yang layak di ekspor itu margin SR-nya 0,01 – 0,03% persen. Kalau margin SR sudah 30-40 persen, mestinya tidak ditangkap karena tingkat Survival Rate (SR)-nya sudah melewati masa kritis.

Alasan kuat melegalkan ekspor benih lobster daripada budidaya, yakni hitungan ekonomi dan keuntungan bagi devisa negara. Tetapi, hitungan Survival Rate (SR) lobster sudah banyak sekali referensi yang menjelaskan secara ilmiah. Survival Rate (SR) yang benar adalah 0,01 – 0,03%.

Mestinya, tangkapan untuk budidaya yakni tingkat margin SR-nya 0,03 – 0,07 persen. Kalau ukuran 30-40 persen sudah masuk kategori induk lobster yang harus dilarang ditangkap. Dari SR-nya 0,07 – 0,10 persen yang ditangkap untuk budidaya itu bisa dilakukan restocking sebanyak 10% dari hasil budidaya. Tentu kategori syarat restocking pada ukuran margin SR-nya sudah 30 – 40%.

Jumlah Survival Rate (SR) tersebut, tertera dalam buku E. V. Radhakrishnan, Bruce F. Phillips dan Gopalakrishnan Achamveetil, berjudul: “Lobsters: Biology, Fisheries and Aquaculture” bahwa selama tujuh dekade terakhir, lobster telah menjadi subjek penelitian fisiologis, biokimia dan molekuler dan lebih dari 15.000 penelitian makalah telah diterbitkan pada biologi lobster, ekologi, fisiologi, perikanan dan akuakultur selama abad sebelumnya dan saat ini.

Begitu juga rekomendasi krusial lainnya dalam FGD tersebut, yakni tidak menganalisis siklus mortalitas Lobster, bahwa ukuran bibit 50 gram paling kritis. Ukukuran 50 gram ini mau diekspor oleh pembudidaya. Sungguh berat rancangan pembudidaya yang masuk pada jalan kerugian kedepannya. Mengapa? karena ukuran ini bertahan paling lama dan sangat rentan masa pemakaian gas yakni hanya 30 jam.

Apalagi, jarak Indonesia dengan beberapa negara tujuan ekspor dengan perjalanan rata-rata menempuh 1,5 jam hingga 10 jam. Sudah jelas cost cargonya sangat tinggi. Belum termasuk mortalitas dalam proses ekspor. Kalau melihat trend berdasarkan data FAO 2016 bahwa kisaran tahun 2005 – 2015 produksi tahunan lobster dunia dari perikanan tangkap rata-rata 2,73.051 T, bukan disumbang oleh Indonesia, tetapi mayoritas Vietnam karena cargo mereka jarak pendek dan panjang tetap di tempuh dalam waktu 12-15 jam perjalanan. Mayoritas yang diekspor dalam volume kecil: “udang lumpur” dan “udang hantu,” yang saat ini tidak dianggap sebagai lobster.

Baca Juga :  Sri Mulyani Sebut Data Penerima Bansos Belum Di-update dari 2015

Yang menjadi analisis bersama, atas beberapa rekomendasi FGD Hipilindo itu bahwa jika Indonesia sudah mensuplai Vietnam 300 juta benih lobster per tahun, kenapa produksi Vietnam hanya 1500 ton?. Jika ingin melarang ekspor Benih Lobster, memangnya pembudidaya sudah mampu memelihara 300 juta ekor benih lobster per tahun?.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan diatas, logika yang perlu dipahami adalah 300 juta ekor Benih Lobster (BL) jika dibagi 2000 ekor / Kepala Keluarga (KK), butuh 150.000 Kepala Keluarga (KK) untuk lakukan budidaya. Per KK butuh modal setidaknya antara 150 – 200 juta per KK, modalnya dari mana?. Apakah pemerintah mau menanggung modal besar ini.

Induk lobster yang ukuran 2-3 Kg mampu menghasilkan telur 150 ribu – 800 ribu per induk. Variasi ini tergantung jenis, ukuran dan usia induk. Kalau 4-5kg tentu umurnya sudah ratusan tahun dan bertelur bisa 2 kali setahun dengan jumlah telurnya capai 3-4juta.

Sementara, Hatching Rate (HR) di alam >95 persen. Kemudian, siklus Survival Rate (SR) dari menetas sampai pada Peurulus hanya 1 persen. Sementara dari Peurulus sampai pada ukuran matang reproduksi 1 persen. Sehingga SR dari telur sampai size matang 0,01 Persen.

Dari siklus tersebut, mana lebih untung ekspor benih lobster dengan penangkapan untuk budidaya dan proses budidaya lobster?. Jawabannya: Lebih untung ekspor benih lobster dengan ukuran tertentu. Logika perbandingan keuntungannya yakni:

1. Ekspor langsung: standar harga 150.000 per ekor. Bila pemberlakuan perkuota per tahun. Maka, lipatgandakan standar harga dengan kuota ekspor pertahun. Misalnya kuota ekspor tahun 2020 sebesar 100 juta benih lobster. Maka Rp150.000 x 100.000.000 (benih) = Rp151.300.000.000.000.00 (Seratus Lima Puluh Satu Triliun Tiga Ratus Miliar).

2. Ekspor Lobster Budidaya: standar harga benih untuk budidaya 150.000 dilipatgandakan jumlah pembudidaya. Katakan seluruh Indonesia hanya 100 orang pembudidaya. Tempatnya pusat sentra budidaya. Jumlah lubang 200 ukuran 10 x 12 meter. Luas area budidaya 500 hektar.

Upaya pembesaran benih selama 12 – 13 bulan. Satu lubang budidaya 2000 benih. Berarti 2000 x 200 lubang hasilnya: 400.000 (empat ratus ribu) benih. Biaya logistik pakan satu lubang perhari 500.000 (lima ratus ribu). Berarti Rp500.000 x 200 (lubang) hasilnya: 100.000.000 x 13 bulan hasilnya: 1.300.000.000.00. Itu hasil pengeluaran selama budidaya 1,3 miliar.

Sekarang kita hitung untuk ekspor lobster masing-masing ukuran. Kita hitung saja ukuran berat 3-4 ons seharga 250.000 (dua ratus lima puluh ribu). Kita hitung ya, tahun 2020 target ekspor 50 ton. Hitungannya: 250.000 x 50 ton hasilnya: Rp12.500.000.000 (dua belas miliar lima ratus juta). Pertimbangan lain dari beratnya Budidaya Lobster ini adalah: 1) daerah (wilayah) tempat pusat budidaya: 2) suhu udara, ombak, dan: 3) distribusi pakan. Ketiga hal diatas harus seimbang diperhatikan dan sejalan dilakukan.

Menurut Bayu Priambodo (2019) dalam presentasinya di FGD Budidaya Lobster pada 19 Desember 2019 di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahwa jika paham teori Sink Population mestinya notulen FGD tidak akan muncul kontra ekspor Benih Lobster (BL). Karena apabila rekomendasi penangkapan Benih Lobster ukuran 30 Gram menurut pandangan mereka. Apakah tidak berat dan kedepan mengalami kerugian? karena bagian dari 30 gram ini merupakan kerentanan lenyap (Sink) secara tersendiri.

Mengapa demikian? karena teori Sink Population cara menamakan benih Lobster yang hilang (lenyap). Tentu kategori populasi yang lenyap itu, mengumpul dengan kemelimpahan tinggi diarea – area tertentu, tetapi tidak banyak ditemukan populasi dewasanya?. Kemana mereka?. Sink! Lenyap!.

Lanjut, Bayu Priambodo (2019) menjelaskan bahwa: fenomena ini terjadi karena pengaruh arus dan kondisi alam regional. Sink Population hanya mensupport 0.01% (1:10000) populasi dewasa. Sangat kecil. Tetapi, Tentu ada populasi “non sink population”. Populasi inilah yang mensupport populasi dewasa sebanyak less than 0.1% (1:1000). Populasi non sink ini secara umum ada dimana mana. Tetapi tidak banyak. Tidak berhot spots pola-nya.

Baca Juga :  Porsi Koalisi Mana Yang Akan Prabowo Prioritaskan?

Alasan kuat Bayu Priambodo (2019) dalam menjelaskan teori Populasi Sink, salah satu cirinya adalah kematian-nya sangat tinggi karena; predator (wajar, gerombolan bayi-bayi yang lemah akan jadi kudapan ikan ikan buas), habitat terbatas, kompetisi pakan dan habitat. Pada saat jadi puerulus itu, Benih Lobster (BL) sudah running out of energy. Cadangan lipid di tubuhnya sudah menipis setelah menempuh perjalanan sangat jauh bersama arus, lalu Benih Lobster (BL) harus segera menemukan sumber makanan ketika terhempas ke darat menjadi benthic. Namun, Ketika secara alami berada pada kemelimpahan tinggi, mereka tak berdaya, makanan yang ada terbatas untuk berbagi.

Untuk meyakinkan, Bayu Priambodo (2019) mencoba menarasikan bahwa beratnya proses budidaya lobster, selain karena faktor wilayah alam, ketersediaan pakan dan juga faktor Sink Population sebagai penghambat pembudidaya di wilayah Indonesia. Sala satu alasan yang rasional yakni apabila diambil kategori ukuran margin Sink population itu untuk budidaya tadinya hanya mensupport 0.01% (1:10000) populasi dewasa, maka kalau ditangkap untuk budidaya yang diprediksi mencapai Survival Rate (SR)-nya 70 – 80%, tentu kita sebenarnya sedang menyelamatkan alam. Maksudnya, kita budidaya sampai SR 80% berarti kita kembalikan hutang kita SR 0,01% ke alam itu tadi.

Tentu populasi dewasa tidak terganggu. Tentu pengembalian “ke alam” itu dilakukan pada saat sudah mencapai ukuran 50 Gram per ekor, itulah saatnya “bayar hutang” pada alam. Saat mereka sudah kuat sudah agak besar tubuhnya. Berapa hutang kita? 0.01%. Tetapi, masak iya kita begitu pelit sama alam?. Supaya tidak pelit, ya kita balikinnya minimal 1 % (persen)-lah. Berarti kita kembalikan 100 setiap 10000 Benih Lobster yang kita ambil untuk budidaya.

Bayu Priambodo (2019) juga menjelaskan perbedaan beberapa daerah antara Indonesia, Vietn dan Australia, bahwa mengapa? ahli budidaya dan pengelolaan lobster ada di Australia dan kenapa? tidak ada budidaya lobster di Australia?. Jawabannya?: mereka tidak punya benih dan sink population. Setidaknya, mereka belum menemukan lokasi “sink population” itu. Namun, sebatas ditaksir dekat Darwin baru-baru ini sudah di identifikasi sebagai lokasi “Sink/Hot Spots Population.”

Kemudian, mengapa? Vietnam bisa budidaya?. Jawabannya: mereka punya sink population sekitar 3-5 juta per tahun itu. Mereka kebetulan lebih dulu tahu mereka punya sink population dan memanfaatkan-nya dengan sangat elegan: “dibudidaya dan restocking.”

Tentu, teori Sink Population ini, sangat bermanfaat untuk membangun pengetahuan tentang natural dispersion. Dikembalikan 1% karena SR di sink population kan hanya 0,01%. Jadi kita sudah bayar ke alam 100 x dari SR alami. Maka sangat terkagum – kagum jika ada yang akan restocking 10%.

Ini merupakan tantangan besar bagi rencana budidaya lobster, selain logistik yang tinggi juga harus mencari lokasi “Hots Spots Sink Population.” Lagi pula, walaupun ada lokasi lokasi “Hots Spots Sink Population” jika tidak tersedia pakan dan shelter di kawasan hot spots Benih Lobster (BL), maka BL tidak bisa tumbuh dewasa. Oleh karena itu jika tidak ditangkap untuk dibudidayakan, maka Benih Lobster (BL) akan mati sia-sia, tidak termanfaatkan.

Kelimpahan dan kerentanan populasi adalah harus dimanfaaatkan secara optimal. Fakta seperti inilah yang harus disampaikan kepada publik agar publik paham bahwa yang disebar luaskan oleh ibu mantan menteri KKP Susi Pudjiastuti adalah HOAX. Tidak 100% Benih Lobster (BL) akan menjadi 100% lobster dewasa. Sama seperti bohongnya tentang harga lobster Rp 4-5 juta/kg.

Jadi jika Benih Lobster (BL) yang pasti mati lalu dilarang ditangkap untuk dibudidayakan (Pasal 7 Permen 56 tahun 2016), itulah yang disebut Sesat Pikir. Ampunilah jika masih ada pengikutnya yang ikutan Sesat Pikir.

Loading...