SUARAMERDEKA.ID – Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Provinsi DKI Jakarta (DPD GAMKI DKI Jakarta) mengaku heran dengan sikap dan respon berlebihan yang ditunjukkan oleh para buzzer terhadap Pernyataan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), yang mengkritisi kondisi lembaga anti rasuah yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Provinsi DKI Jakarta (DPD GAMKI DKI Jakarta), Jhon Roy P Siregar, para responden yang menyerang PGI dan KPK adalah para kaki tangan koruptor sesungguhnya.
“Saya membaca pernyataan yang dikeluarkan oleh Ketua Umum PGI Pdt Gomar Gultom tentang KPK itu. Isinya menyatakan prihatin akan kondisi lembaga anti rasuah itu kok. Kemudian meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan mengatasi polemik yang masih terjadi di KPK. Apa yang salah dari pernyataan seperti itu? Tidak ada. Biasa saja. Kok ada saja buzzer yang berotak sempit yang menggiring seolah-olah PGI tak boleh mengkritisi kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia?” terang Jhon Roy P Siregar, dalam rilisnya, di Jakarta, Minggu (30/05/2021).
Mantan fungsionaris Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) ini menuturkan, konteks Kekristenan yang dipahami oleh PGI, sama seperti pemahaman di GMKI dan GAMKI. Yakni, bahwa Gereja harus hadir di tengah-tengah pergumulan Masyarakat Indonesia.
“Sama-sama Nasionalis dan Oikumenis. Dan memiliki tanggung jawab pelayanan di masyarakat. Politik Gereja ya seperti itu. Bukan berpolitik praktis lewat Parpol. Tetapi menyuarakan kebenaran, mengingatkan yang kurang tepat untuk dibenahi agar benar. Dan itu sangat jelas juga dalam tugas dan panggilan Gereja. Maka ada namanya Marturia, Koinonia dan Diakonia. Itu tugas gereja, tugas umat Kristen,” beber Jhon Roy P Siregar.
Maka, lanjut dia, alangkah memalukannya jika ada orang yang mengaku tokoh gereja, tokoh mahasiswa, tokoh anti korupsi, yang malah menyerang pernyataan PGI itu.
Menurut Siregar, sebaiknya para buzzer seperti itu belajar dan membaca baik-baik apa itu Marturia, Koinonia dan Diakonia. Sebab, itulah tugas dan panggilan Gereja di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam berbangsa dan bernegara.
Jhon Roy P Siregar setuju dengan PGI, bahwa KPK harus tetap ada untuk melakukan tugas-tugas pemberantasan korupsi di Indonesia. Lagi pula, lanjut dia, kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia adalah sebagai hasil dan amanat Gerakan Reformasi 1998, yakni pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Siregar mengingatkan, jangan dikarenakan saat ini hampir semua corong informasi dan media dikuasai oleh rezim Joko Widodo, lantas semua pihak yang mengkritik rezim itu menjadi salah.
“Saya melihat, para pegiat anti korupsi saat ini juga sudah keblinger. Tidak membaca dan tidak mengetahui akar atau asal mula KPK itu dari mana. Buzzer dan para aktivis, atau mereka yang menyatakan diri sebagai relawan cenderung menyerang hal-hal yang benar dan baik, asalkan junjungannya tidak dicolek-colek. Padahal sudah bersalahan,” tutur Siregar.
Yang lebih aneh lagi, lanjut Jhon Roy P Siregar, ada pula yang menyatakan dirinya tokoh gereja tapi asbun alias asal bunyi dan menyerang PGI. Juga ada orang yang juga menyatakan dirinya tokoh Gerakan Reformasi 1998 atau aktivis 1998, juga menyerang PGI.
“Lah dia sendiri kalau tahu apa saja amanat Reformasi 1998 itu, pastinya dia mendukung KPK agar diperkuat dan terus eksis memberantas korupsi loh,” sebut Siregar.
Oleh karena itu, dia menegaskan, tidak ada yang perlu diributi dan diributkan dari pernyataan PGI mengenai KPK itu. Justru, masyarakat yang merasa sebagai pegiat anti korupsi harusnya mendukung PGI dan KPK untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut Jhon Roy P Siregar, saat ini KPK sedang dibonsai habis-habisan. Dan hampir semua corong media dan kekuasaan dilakukan untuk mengerdilkan KPK.
“Tidak ada persoalan kebangsaan dan agama sebetulnya dalam pemberantasan korupsi di KPK. PGI juga tidak berpolitik praktis karena menyuarakan kondisi itu. Lihat, sewaktu KPK hendak dibonsai lewat revisi Undang-Undang KPK, banyak yang tadinya mengaku bagian dari Gerakan Reformasi 1998 malah turut hendak menghabisi pemberantasan korupsi di KPK itu,” jelasnya.
Siregar juga menegaskan, labelisasi kadrun dan non kadrun, atau taliban dan saliban dalam urusan pemberantasan korupsi itu adalah produksi para buzzer.
Mereka yang berotak sempit alias tidak melek hukum, tidak melek politik dan asbun alias asal bunyi.
“Dan mereka-merekalah yang selama ini membangun opini dan membuat kekisruhan wacana, memutarbalikkan fakta dan kebenaran. Asalkan rezim tidak dikritisi,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt Gomar Gultom mengeluarkan pernyataan, PGI Meminta Presiden Turun Tangan Menyelamatkan KPK.
“Kita sangat prihatin dengan upaya-upaya pelemahan KPK yang terjadi selama ini. Terutama yang memuncak dengan pelabelan intoleran dan radikalisme atas 75 pegawai KPK melalui mekanisme Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) belakangan ini”, demikian disampaikan oleh Pdt Gomar Gultom, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) saat menerima 9 perwakilan dari pegawai KPK bersama Tim Hukum mereka.
Lebih lanjut, Pdt Gomar Gultom mengatakan, PGI akan menyurati Presiden untuk dapat segera mengambil tindakan penyelamatan lembaga anti rasuah ini dari upaya-upaya pelemahan ini, dengan menyelamatkan ke-75 pegawai KPK tersebut.
“Dengan disingkirkannya mereka yang selama ini memiliki kinerja baik serta memiliki integritas kuat dengan alasan tidak lulus TWK, dikhawatirkan akan membuat para penyidik berpikir ulang untuk melaksanakan tugasnya dengan profesional seturut dengan kode etik KPK di masa depan, karena kuatir mereka di-TWK-kan dengan label radikal,” lanjut Pdt Gomar Gultom.
Dan, menurut Novel Baswedan, kondisi semakin khawatir, karena mereka yang dipinggirkan ini banyak di antara mereka yang sedang menangani kasus-kasus korupsi yang sangat signifikan.
Novel Baswedan, salah seorang di antara yang hadir menyebutkan kegalauannya.
“Bagaimana kita mau berbangsa bila yang selama ini bekerja profesional tiba-tiba dilabeli radikal dan menjadi musuh negara?” ujarnya.
Novel juga menyebutkan bahwa TWK bukanlah tools untuk melihat seseorang lulus atau tidaknya seseorang menjadi ASN dalam alih status ini.
“Prosesnya adalah upaya yang sudah ditarget. Ada fakta dan bukti untuk ini. TWK hanyalah justifikasi untuk target tertentu,” lanjut Novel.
Sedangkan Hotman Tambunan mengeluhkan, ketika taat beragama diidentikkan dengan talibanisme.
“Kami harus taat beragama, karena agamalah yang mengajar kami untuk berbuat seturut etika. Di KPK itu godaannya banyak sekali, dan ancaman selalu datang. Nilai-nilai agamalah yang membuat kami tetap bertahan,” kata warga GKI Kayu Putih tersebut, seraya menunjuk rekannya yang selama tiga tahun berturut-turut terakhir ini selalu mendapat nilai A untuk kinerjanya.
Selanjutnya, ada Adri Deddy Nainggolan, yang adalah warga GKI Kebayoran Baru, mengungkapkan keprihatinannya dengan begitu mudahnya masyarakat termakan hoaks yang menyebutkan adanya talibanisasi di KPK.
“Tidak ada itu. Dan celakanya warga gereja pun mudah termakan oleh isu ini,” ujar Adri Deddy Nainggolan.
Sedangkan, Saor Siagian, anggota Tim Hukum yang mendampingi mereka juga mengeluhkan kondisi di KPK saat ini.
“Tiga dari Komisioner KPK periode baru lalu Kristen, dan Sekjen KPK juga Kristen. Saut Situmorang berkali-kali berkata, tidak ada talibanisme di KPK,” ujar Saor Siagian.
Pdt Jacky Manuputty, yang merupakan Sekretaris Umum PGI (Sekum PGI), mengungkapkan kegelisahannya melihat fenomena pabrikasi hoaks di medsos.
“Yang begitu mudah mengubah persepsi kita atas keadaan dan lembaga tertentu. Dan ini yang terjadi dengan upaya pelemahan KPK ini,” ujar Jacky Manuputty.
Dan yang tragis adalah, seperti kata Koordinator Divisi Advokasi YLBHI, Mohamad Isnur, pabrikasi itu dilakukan oleh negara melalui lembaga KPK dan BKN.
“Ini ancaman buat masa depan bangsa kita,” ungkap Isnur, yang turut dalam pertemuan tersebut.
Sementara Rasamala Aritonang, yang adakah warga jemaat HKBP Pasar Rebo menyebutkan, pihaknya sedang menghadapi tantangan berat.
“Kami sebagai KPK ini tantangannya berat. Kami berhadapan dengan koruptor. Dan yang bisa korupsi hanyalah mereka yang punya akses kepada kekuasaan. KPK ini hanyalah alat, pisau untuk memotong bagian badan yang koruptif. Dan reaksi dari para koruptor ini adalah membuang pisau ini. Itu yang sedang kami alami,” beber Rasamala Aritonang.
Menanggapi penjelasan dari kesembilan pegawai KPK tersebut, Ketua Umum PGI Pdt Gomar Gultom menyatakan keheranannya terhadap pernyataan Presiden Jokowi untuk tidak menggunakan TWK sebagai dasar penonaktifkan pegawai KPK, namun pernyataan itu tak ditindak-lanjuti. “Siapa sebenarnya yang menjadi presiden?” ujar Pdt Gomar Gultom. (RED).