oleh

Khilafah, Masa Depan Indonesia dan Dunia. Opini Ahmad Khozinudin

Khilafah, Masa Depan Indonesia dan Dunia.

Ditulis oleh: Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.

Bismillah,

Saya ingin menghormati Bang Toni Hasyim, yang selain meminta saya menulis sekaligus juga memaparkan konsep Khilafah yang selama ini saya perjuangkan, agar bisa dipahami realitasnya secara lebih terperinci. Meskipun, setelah memahami perspektif Khilafah yang saya sampaikan, tidak selalu pemahaman itu berujung kepada kesepahaman pendapat.

Saya hanya berusaha membangun jembatan diantara dua ujung sungai, agar orang yang ingin berinteraksi diantara ujung sungai mampu menyeberang, menyambangi pikiran di seberang sungai, meniti melalui jembatan penyeberangan yang disajikan. Sekali lagi, jembatan dibuat untuk orang yang butuh menyeberang, bukan memaksa orang untuk menyeberang.

Melompat dan berselancar diantara berbagai arus dan gelombang pemikiran, bagi sebagian orang menakutkan. Tapi bagi ‘Peselancar Ide’, para pemburu pendapat, gelombang pemikiran dengan arus yang menenggelamkan lebih menarik ketimbang duduk menepi di pinggiran sungai dengan riuh arus menggelitik padahal berdiameter dangkal.

Soal bangsa ini, memang diantara kita sepakat (Ijma’) bahwa ada masalah dan masalah itu besar. Masalah itu terindera, bagi siapa saja yang memiliki kemampuan sekedar untuk hidup. Apalagi memiliki penginderaan yang tajam, pemikiran yang dalam, tentu akan bersepakat bangsa ini dalam masalah besar.

Namun, substansi masalah itu bersumber dari mana? Inilah, sebab perbedaan dari akar masalah dan solusi yang ditawarkan.

Jadi, jangan salahkan Bang Hatta Taliwang yang berseloroh, kalau diskusi dengan Dr Zul pasti ujungnya kembali ke UUD 45 yang asli. Sementara, kalau diskusi dengan saya, ujungnya pasti selalu ke Khilafah. Itu semua bermula pada perspektif memandang masalah, dan perspektif menawarkan solusi.

Saya sependapat, dengan siapapun yang melihat ekonomi kita bermasalah, tambang kita bermasalah karena dikuasai asing, intervensi China bermasalah, LGBT bermasalah, dekadensi moral bermasalah, pendidikan sekuler bermasalah, parpol bermasalah, utang kita bermasalah, korupsi bangsa ini parah, dan sederet problem terindera yang kita saksikan bersama di negeri ini.

Namun, saya memiliki perspektif bahwa semua itu akar masalahnya karena bangsa ini, umat ini, negeri ini, tidak taat kepada Allah SWT, tidak menerapkan hukum Allah SWT, tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah. Cara pandang yang saya adopsi ini adalah perspektif Islam, sehingga persoalan bangsa jika ditilik dari perspektif Islam adalah karena bangsa ini jauh dari Islam, karena bangsa ini tidak menerapkan syariat Islam, yakni hukum Allah SWT yang pasti terbaik, karena berasal dari dzat yang maha baik, karena Allah SWT adalah tuhan manusia, Tuhan yang menciptakan alam semesta dan kehidupan.

Baca Juga :  Presiden Jokowi Support Delegasi Indonesia di Kompetisi WorldSkills 2019

Dari perspektif itu, kemudian muncul Resolusi. Nah, saya memang selalu menawarkan Islam yakni menawarkan syariat Allah SWT sebagai solusi dari seluruh persoalan bangsa yang hari ini kita indera.

Dalam persepektif solusi yang demikian, akhirnya saya keluar dari pemikiran umum. Misalnya, solusi berupa melakukan perjuangan politik via sistem demokrasi. Karena demokrasi, bukan metode untuk menerapkan Islam. Demokrasi adalah sistem untuk menerapkan nilai sekulerisme yang bersumber dari doktrin kedaulatan rakyat.

Kemudian, saya mendakwahkan Khilafah sebagai sistem pemerintahan politik yang memang sejak awal didesain untuk menerapkan syariat Islam. Sekaligus, saya mencoba menawarkan peta jalan bagaimana Khilafah itu tegak, dengan melakukan kajian terhadap perjuangan dakwah Rasulullah Saw saat menegakkan kekuasaan Islam di Madinah.

Pandangan inilah, yang membuat saya tentu akan berbeda pandangan dengan banyak pendapat di forum GWA ini, yang memang berangkat dari perspektif berbeda. Saya mencoba mengkomunikasikan pandangan dan pendapat, agar menjadi wacana dan referensi perspektif politik yang mungkin anti mainstream.

Jargon ‘menegakkan hukum Allah SWT’ bukan berarti menegasikan realitas terindera sehingga solusi yang ditawarkan terkesan utopis. Tidak. Ketika saya menawarkan solusi Islam, saya menjelaskan rujukan dalil, realitas masalah, dan solusi terhadap masalah berdasarkan Islam.

Misalnya, ketika saya mempersoalkan SDA negeri ini dikangkangi swasta bahkan asing, hal ini berangkat dari dalil syar’i yang menyatakan bahwa keseluruhan barang yang terkategori milik umum (Al Milkiyatul Ammah/Public Property) berupa barang tambang yang depositnya melimpah, kekayaan yang secara asal terlarang bagi individu untuk dimiliki (jalan, sungai, laut), atau barang yang kepemilikannya bersifat kolektif/syirkah seperti padang gembalaan, saya kemudian merinci mekanisme pengelolaannya. Yakni, Negara selaku wakil Umat yang berhak mengelola dan mengembalikan hasil kelolaan kepada umat selaku pemilik asal baik dalam bentuk natural barang tambang, layanan dan fasilitas publik, atau subsidi negara bagi rakyat.

Karena itu, saya menentang pengelolaan tambang yang dilakukan oleh Freeport, Chevron, Conoco, Philips, dll. Mereka, hakekatnya telah merampas barang yang oleh Allah SWT telah tetapkan milik umum, milik Umat, dan memindahkan hasilnya ke kantong pribadi, kantong korporasi.

Saya tidak hanya bicara konsep, tapi juga metode operasionalnya. Dan dalam konteks pengelolaan harta milik umum ini, umat Islam wajib memiliki Daulah Khilafah selaku institusi penegak syariah dan diantara tugasnya adalah melaksanakan pengelolaan harta milik umum yang oleh syariat telah diamanahkan kepada negara khilafah, selaku otoritas yang mendapat mandat dari umat.

Baca Juga :  Antara Kritis dan Nyinyir: Lip-Service-nya BEM-UI Menyikapi Kerja..Kerja..Kerja..nya Jokowi

Jadi, dalam konteks itulah saya tidak memisahkan Islam dengan kebangsaan tetapi ingin menjadikan Islam sebagai spirit perbaikan umat, perbaikan peradaban, perbaikan dunia. Tugas kita, tidak saja sekadar dibatasi untuk menyelesaikan problem negeri ini, tetapi juga problem dunia.

Dalam konteks itulah, jika kita memiliki visi dunia, bahkan lebih jauh memiliki visi akhirat, maka resolusi kembali ke UUD 45 tidak akan relevan untuk merealisasikan visi. UUD hasil kesepakatan kakek moyang itu, tak mampu menyelesaikan urusan dunia, apalagi bisa menjangkau akhirat. Warisan kakek moyang itu, hanya mampu menjangkau bangsa dan keindonesiaan, itupun dengan catatan belum pernah ada legacy politik yang dianggap paling sukses menerapkan UUD tersebut.

Karena itulah, saya mengajak segenap elemen anak bangsa agar memiliki wawasan yang lebih mendunia, tidak sekedar memikirkan Indonesia. Lebih dari itu, saya mengajak untuk berfikir hingga akhirat, karena semua amal kita kelak akan dipertanggungjawaban dihadapan Allah SWT.

Menegakkan syariat Islam, berdakwah memperjuangkannya bersama umat, jelas memiliki implikasi dunia akhirat. Khilafah, adalah konsep bernegara yang akan mampu merealisasikan visi berhukum hanya kepada hukum Allah SWT.

Apalagi, bangsa ini berada diantara cengkeraman dua ideologi dunia. Kapitalisme Amerika dan komunisme China. Dua ideologi yang diemban dua negara penjajah ini, tak mungkin bisa dihadapi dengan seperangkat nilai usang warisan kakek moyang.

Kita, bangsa ini, Indonesia, wajib berpegang teguh pada ideologi Islam untuk melawan seluruh penjajahan dimuka bumi ini. Kita, umat Islam Indonesia akan menjadi besar, bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia, jika kita mampu mengembalikan Kekhilafahan Islam dari negeri ini.

Terakhir, saya tegaskan ini cuma pendapat. Silahkan yang lain berpendapat, jika tidak sejalan. Kita ini kan kumpulan orang dengan banyak pendapat, namun minim pendapatan. Hehe.

Yang jelas, meskipun kita beda pendapat, kita semua sama-sama menjadi korban rezim, korban kapitalisme Amerika, korban komunisme China. Jadi, sesama korban kita musti rukun. Jangan sudah jadi korban, bertengkar pula hanya soal beda pendapat.

Loading...