oleh

Memahami Visi Indonesia, Presiden Ir. H. Joko Widodo 2019-2024 (4)

Memahami Visi Indonesia, Presiden Ir. H. Joko Widodo 2019-2024 (4). Jokowi, Indoneisa dan Negara Demokrasi Prominen 2019-2024. Oleh: Natalius PigaiAktivis HAM dan Demokrasi.

Salah satu aspek mendasar paskah Pemilihan Presiden 2019 adalah tentang iklim demokrasi di Indonesia. Sangat wajar jika rakyat meragukan adanya perbaikan iklim demiokrasi setelah 4 tahun mengalami kemerosotan. Adanya pembungkaman kebebasan eksresi, penyampaian pikiran, perasaan dan pendapat. Pembubaran organisasi masyarakat, pembatasan kekebasan pers.

Semua pilar-pilar penting yang menjaga kebebasan sipil (civilian liberties) mengalami kemunduran. Sehingga Indonesia mengalami kemerosotan indeks demokrasi dari negara prominent ke negara-negara berdemokrasi semu (pseudo). Selama 3 tahun terakhir Indonesia dikategorikan negara seolah-olah ada demokrasi. Seolah-olah ada pemilu, seolah-olah ada kebebasan pers. Seolah-olah ada kebebasan sipil sebagaimana mayoritas negara-negara Afrika.

Ketika Jokowi menyampaikan Visi Indonesia angin demokrasi mulai dihembuskan. Optimisme untuk memajukan demokrasi terlihat dari kata” Dalam demokrasi, mendukung mati-matian seorang kandidat itu boleh. Mendukung dengan militansi yang tinggi itu juga boleh. Menjadi oposisi itu juga sangat mulia. Silakan. Asal jangan oposisi menimbulkan dendam. Asal jangan oposisi yang menimbulkan kebencian. Apalagi disertai dengan hinaan, disertai dengan cacian, disertai dengan makian-makian. Kita memiliki norma-norma agama, etika, tata krama, memiliki budaya yang luhur. Saya yakin, semua kita berkomitmen meletakkan demokrasi yang berkeadaban, yang menunjujung tinggi kepribadian Indonesia, yang menunjung tinggi martabat Indonesia, yang akan membawa Indonesia menjadi Indonesia Maju, Adil dan Makmur. Indonesia yang demokratis, yang hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat”.

Esensi dasar lahirnya sebuah negara untuk melindungi segenap warga negara dari ancaman nyata antar individu (homo homini lupus). Negara tidak boleh dilahirkan sebagai monster leviathan untuk menerkam rakyat (Thomas Hobes). Itulah sebabnya berbagai istrumen dasar hukum, demokrasi, Politik dan HAM yang dihasilkan PBB pada pembukaan (preambule) awal selalu menekankan kewaijiban negara (state obligation) untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan hidup warga negara. Sebagaimana juga ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca Juga :  Ini Hasil Kajian KSPI Soal UU No 11 Tahun 2020 Omnibus Law

Negara kita ini lahir karena adanya sumpa pemuda. Pernyataan kehendak antar individu melahirkan pejanjian berdirinya sebuah negara bangsa (pactum unionis). Maka kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat (John Locke).

Harus disadari bahwa negara ini tidak pernah dilahirkan karena adanya penjanjian antara rakyat dan negara (pactum subjectionis). Maka negara tidak bisa serta merta mengatur sesuai kehendak pribadi. Pemerintah memiliki ruang terbatas yang dibatasi oleh kekuasan yang bersumber dari konstitusi. Oleh karena pemerintah tidak perlu menjadikan institusi negara sebagai alat kekuasaan. Dengan ini mampu mematahkan opini publik bahwa ternyata kekuasaan negara ibarat silet yang menyayat dan menancap tajam ke orang-orang keci, tetapi tumpul pada penguasa di singgasana kekuasaan. Hal itu bisa dilakukan jika pemerintah memiliki kewenangan untuk merancang bangun negara bangsa (nation-state). Seperti Indonesia yang bangunan tata praja dan pranata hukumnya secara lebih sempurna.

Negara kita menganut sistem meritokrasi termasuk jabatan Presiden Republik Indonesia. Terpilih melalui seleksi dan hasil pemilihan umum. Kedaulatan Presiden merupakan resultante dari kedaulatan individu melalui kumpulan satu orang, satu suara, satu nilai (Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu rakyat diberi hak kedaulatan. Apalagi hanya sekedar menyampaikan pikirkan, perasaan dan pendapat untuk menilai kemajuan (progress) dan kemunduran (regress) atas kinerja Presiden.

Setiap pemangku jabatan publik sehingga mutlak untuk dinilai baik dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab maupun juga cara bertutur, bertindak, mentalitas dan moralitasnya sebagai panutan seluruh rakyat. Pemerintah juga harus siap menerima berbagai cacian, makian, kritikan yang berorientasi kepada merendahkan harga diri dan martabat sekalipun sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara jabatan Presiden dan pribadi.

Salah satu pekerjaan penting pemerintah pada periode yang mendatang adalah memberi keyakinan kepada Rakyat. Bahwa saat ini pemerintah tidak mempratekan sistem kadaluwarsa Orde Baru. Maka reformasi secara substansial berjalan secara maksimal.

Demikian pula meyakinkan bahwa kita negara demokrasi serius bangsa ini, bukan otoritarian dengan pola pikir dan nalar orde baru. Bahwa presiden adalah simbol negara sehingga harus diselamatkan dan dilindungi. Karena tidak ada satu pasal dalam konstitusi yang menyatakan Presiden simbol negara. Jabatan Presiden itu bukan simbol negara bangsa (nation state simbols) seperti Pancasila, UUD 1945, Burung Garuda, adagium unitarian Bhinneka Tunggal Ika.

Baca Juga :  BPIP Gelar Konser Ketika Ideologi Pancasila Sudah Diamandemen

Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali rakyat mengkultuskan individu Presiden. Juga apapun yang dikatakan Presiden bisa dianggap sebagai sebuah Titah Raja yang tidak terbantahkan. Semacam devine right of the King seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Jhon di Inggris abad ke-15 yang pada diakhirnya juga perlawanan rakyat yang melahirkan magna charta.

Pada saat ini, kita mesti mencari jalan keluar bagaimana negara memberi ruang ekspresi bagi kelompok oposisi dan intelektual atau juga masyarakat. Untuk menjalankan keseimbangan (check and balances) terhadap kekuasaan. Hal ini penting untuk antisipasi agar kekuasaan tidak memupuk pada seorang individu. Yang cenderung otoriter dan bernafsu menyalahgunakan kewenangan (Powers tens to corrupt and Will corrupt absolutely).

Dalam menghadapi persoalan hukum, presiden bisa saja menunjuk pengacaranya sendiri tanpa harus menggunakan instrumen negara untuk menekan rakyat atau Jaksa sebagai pengacara negara. Pemerintah jangan hadir seperti monster leviathan yang menerkam rakyat, karena menyalahi kodratiyah lahirnya sebuah negara. Yaitu demi melindungi dan membawa perlindungan dari bahaya saling menerkam (homo homini lupus).

Bagaimanapun harus diakui bahwa kelemahan kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kala 2014-2019 ini adalah ketidakmampuan membangun bangsa dan memantapkan karakter kebangsaan. Kegagalan terbesar adalah membiarkan disharmoni sosial/horisontal juga secara vertikal antara negara dan rakyat. Dampaknya terjadi kerusakan fundamental soal kebangsaan.

Hal ini patut diduga karena kontribusi tumpukan pemilik nalar orde baru di lingkaran istana negara. Jadi wajar jika nalar progresif dan reformasi stagnan alias tidak berjalan. Cara pandang inilah yang mesti dirubah karena bangsa ini ingin Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin 2019-2024 yang demokratis.

Loading...