oleh

Papua Terluka Dalam Nestapa. Opini Natalius Pigai

Papua Terluka Dalam Nestapa. Oleh: Natalius Pigai, Pembela Orang Lemah.

Jika kita berbicara mengenai Papua, kita selalu asosiasikan dengan kekerasan, kebodohan, ketelanjangan, kemiskinan. Seakan-akan Papua identik dengan dunia kelam, penuh masalah, mengandung sekelumit masalah yang mengancam integritas nasional.

Saban hari Media Massa Nasional sukar sekali memuat berita-berita mengenai keberhasilan, kesuksesan, dan harapan masa depan Papua. Yang mampu membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik, sejahtera, aman dan tenteram. Jika seandainya pandangan kita terhadap Papua dengan konotasi yang minus dan negatif adalah ungkapan atas realitas masyarakat Papua saat ini, maka siapakah yang harus bertanggungjawab atas keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan?

Ada kecendrungan upaya integrasi yang dibangun dengan sikap represi militer para pejuang TRIKORA ternyata sebatas integrasi Sumber Daya Alam (The Natural Resources Integrated). Sementara manusianya diabaikan merana di atas kelimpahan sendiri. Hal ini bertolak belakang dengan keinginan Ir. Soekarno yang ingin memerdekakan Manusia Papua agar mereka menjadi tuan di tanah mereka sendiri.

Pemikiran di atas inilah yang mendorong saya untuk menyampaikan bagaimana kita memandang persoalan Papua secara komprehensip. Mesikipun kita telah memberikan Otonomi Khusus Papua, namun tragedi demi tragedi kian menambah duka lara, jeritan-rintian, ratapan, kesedian, akibat penculikan dan pembunuhan oleh klik-klik misterius, pasukan berlaras lalu-lalang saban hari dari petanng dan pagi.

Adalah sia-sia meskipun upaya simpatik melalui Otonomi Khusus yang diberikan bertepatan dengan Hari Natal bukanlah sebagai sebuah “Kado Natal” yang merupakan ritualitas tertinggi agama. Sesungguhnya Papua Barat sebuah negeri yang terluka dalam nestapa. Akibat penetrasi kapitalisme yang diikuti oleh penetrasi Kekuasaan Negara (Hegemoni Militer dan Sipil).

Apabila pemerintah mau menyelesaikan persoalan Papua secara mendalam dan menyeluruh, maka berhentikan semua sistem pendudukan melalui berbagai cara, termasuk pemekaran. Persoalan di Papua akan lebih baik bila menyelesaikan dua persoalan mendasar. Yakni: Pertama, peninjauan kembali terhadap realitas sejarah disertai berbagai persoalan HAM, termasuk rasisme. Yang merupakan bagian dari penyelesaian politik. Kedua, penyelesaian disparitas regional terutama kapasitas sosial ekonomi dan kesejahteraan.

Trauma Yang Masih Berbekas

Konflik politik di Papua ini tidak begitu jatuh dari langit, ada akar historisnya. Dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme. Yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia (dianggap). Integrasi politik atas wilayah ini hingga kini masih belum mantap.

Hal ini disebabkan karena klaim Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi dipenuhi dengan sikap kooperatif antar penguasa -demi kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional- yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Tidak pernah melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi politik. Dari setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan.

Baca Juga :  Panglima TNI dan Kapolri Kunjungi Masyarakat Natuna Wilayah Observasi

Lebih ironis lagi, pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 (XV)) tahun 1960. Dimana pada waktu yang bersamaan di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia. Termasuk pelaksanaan dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila yakni musyawarah mufakat yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New York Agreement.

Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup primitif. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV). Yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri. Sehingga alasan dengan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa.

Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu, munculnya ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni negara.

Karena itulah sepanjang berintegrsi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan. Yang semuanya ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua). Yang merupakan bagian integral dari kesatuan komunitas politik bangsa Indonesia, orang sawo matang sebagaimana terjadi hari di di Wamena dan beberapa wilayah di Papua. Hal ini merupakan ekspresi rasa kekecewaan dan ungkapan kebencian dari trauma historisme dan sejarah penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia.

Oleh karena itu, saya menawarkan, berikanlah opsi kepada rakyat Papua Barat untuk membuktikan sejauh mana keinginan nurani mereka. Merupakan suatu upaya menegakkan demokrasi yang tentu saja akan mendapat simpati dunia. Kita lihat Kanada selalu memberi opsi kepada negara bagian Quebec yang berbahasa La francophonie keturunan Perancis namun selalu gagal akhirnya tidak mendapat simpati dunia.

Disparitas ekonomi dan Sosial

Tidak dapat disangkal bahwa rakyat Papua kaya akan sumber daya alam, namun sesungguhnya mereka adalah yang termiskin di abad ini. Kita mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya (busana Jawa kampong), namun orang Papua sedang berada dalam ketelanjangan koteka (busana Papua Gunung) dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century) masyarakat jaman batu di abad ke dua puluh satu.

Kalau kita tinjau kembali kebijakan pembangunan di Papua sejak awal integrasi. Ternyata jauh dari paradigma pembangunan yang sebenarnya, terutama misi pembangunan yang bernuansa politis. Hal ini terlihat pada kebijakan pemerintah Jakarta yang memfokuskan perhatian pada pembangunan sosial dan ekonomi yang dilaksanakan secara politis.

Sejak tahun 1963-1969 dimasa transisi ada nuansa pembangunan seperti pendirian sekolah-sekolah, dari TK hingga Perguruan Tinggi (Universitas Cendrawasih), pembangunan sarana pra-sarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan.

Baca Juga :  PMII Kota Sorong Lakukan Penggalangan Dana Korban Gempa Ambon

Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan adagium binomialnya yakni Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir, pembangunan dengan program Task forces dengan bantuan dana Fundwi dan ADB namun dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan. Sehingga dana pembangunan sosial dan ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai pada saat ini rakyat Papua berada dibawah garis kemiskinan.

Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi dengan pertimbangan orang Papua tetap berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi antara lain; tingkat harapan hidup diperpendek, tinggkat pertumbuhan diperlambat, angka kematian bertambah, epidemi penyakit meraja lela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, termasuk sistem sosial budayanya maka adagiun unitarianisme unity in diversity menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang berlalu. Namun hal ini bisa diatasi dengan pelaksanaan kebijakan secara serius dan sungguh-sungguh.

Perlu Good Will dan Political Will

Akankah Indonesia tetap berkibar? Atau akankah Papua Barat tetap bertahan? adalah sederatan pertanyaan yang sangat signifikan dengan dinamika politik bangsa ini. Ancaman serius sudah mulai berdatangan dari wilayah-wilayah yang memiliki trauma historisme di masa lampau disertai dengan ketertinggalan sosial ekonominya. Adakah niat baik dikandung Anda untuk mengoreksi kesalahan masa lampau dan menentukan kebijakan yang tepat, cepat dan menentu untuk mengobati duka lara, tangisan, ratapan, rintihan dan harapan mereka.

Siapa yang pernah membayangkan bahwa Uni Sovyet negeri adi kuasa sebagai pengendali persenjataan nuklir pengembangan strategis, nuclear deterrent yang disebut MAD (Mutual Assured Destruction): dengan “trisulanya” (TRIAD); Rudal Balistik Luncur Darat Antar Benua, Kapal-kapal Selam berudal nuklir (polaris)dan Armada pemboman strategis disertai persenjataan lainnya saja bisa bubar seperti sekarang ini.

Saya berfikir ada dua kemungkinan bagi Indonesia di masa datang. Pertama, Indonesia menjadi sebuah negara demokratis yang disertai labilitas integrasi politiknya tinggi. Kedua, menjadi ukiran sejarah abad mendatang; Sriwijaya adalah kerajaan nusantara pertama RUNTUH, kemudian muncul kerajaan Majapahit sebagai kerajaan nusantara kedua juga RUNTUH. Pada pertengan abad ke 20 muncul sebuah negara yang memiliki wilayah kartografis yang menyerupai kedua kerajaan diatas yakni INDONESIA RAYA. Maka baik Sriwijaya, Majapahit dan Indonesia Raya menjadi sebuah legenda dan romantisme sejarah anak cucu manusia Nusantara.

Loading...