oleh

Dekonstruksi Paradigma Sistem Hukum Ekonomi. Opini Abdul Chair R

Dekonstruksi Paradigma Sistem Hukum Ekonomi.

Ditulis oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H., Direktur HRS Center.

Kedaulatan (demokrasi) ekonomi suatu negara tidak lepas dari konfigurasi ekonomi politik internasional. Konfigurasi dimaksud memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi sistem ekonomi suatu negara. Pada kasus Indonesia, konfigurasi yang terjadi telah meminggirkan peran negara dalam mengatur dan mengurus perekonomian nasional, khususnya di bidang sumber daya alam. Seiring dengan itu, globalisasi melalui arus neo-liberalisme yang dikendalikan oleh kaum kapitalis berlaku tanpa sekat. Pendanaan dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga finansial internasional menyebabkan pula ketergantungan (dependency). Kemudian, berbagai perusahaan transnasional (transnational corporations) dan perusahaan multinasional (multinational corporations) telah mampu mengintervensi pembentukan undang-undang di bidang ekonomi. Perusahaan-perusahaan tersebut menjadi aktor ekonomi politik internasional yang semakin penting. Tujuan mereka yang paling utama adalah bagaimana mengakumulasi kekayaan yang sebesar-besarnya.

Kendati pun pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat – sebagai perwujudan kedaulatan (demokrasi) politik – tetap saja kebijakan pemerintah nyatanya lebih banyak melayani kepentingan para pemilik modal dan korporasi global (multinasional). Disini terlihat adanya keterhubungan antara oligarki ekonomi dengan elite politik. Keterhubungan tersebut dapat dilihat dari kebijakan yang mengakomodasi kapitalis global, yakni privatisasi dan liberalisasi serta pemotongan besar-besaran subsidi. Sejatinya, ‘Tata Dunia Baru’ yang diasumsikan sebagai satu-satunya alternatif yang tersedia sebagai tenaga pendorong proses pembangunan dan sinyal bagi kemakmuran merupakan wujud imperialisme abad 21.

Hubungan simbiosis mutualistik antara oligarki ekonomi dan elite politik telah menjauhkan demokrasi ekonomi, yang berintikan keadilan sosial. Model pembangunan ekonomi telah terlepas dari asas keadilan sosial. Kebijakan pembangunan ekonomi hanya menjadi alat pemuas bagi kaum pemodal. Pada saat yang bersamaan rakyat menjadi semakin lemah, tidak lagi berdaulat. Kemiskinan terjadi secara terstruktur dan bahkan berkelanjutan, akibat penerapan kapitalisme-liberalisme. Mohammad Hatta mengingatkan, “kapitalisme harus ditolak karena semakin dalam kapitalisme masuk ke dalam masyarakat Indonesia, semakin rusak penghidupan rakyat yang tidak mempunyai pertahanan lagi.”

Penguatan kapitalisme-liberalisme juga terkait dengan paham demokrasi ekonomi  – dalam Pasal 33 UUD 1945  –  yang dalam implementasinya menunjukkan ketidakjelasan. Sampai dengan saat ini belum ada acuan (kriteria) guna menentukan cabang produksi manakah yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, untuk menentukannya diserahkan dan tergantung kepada pandangan pemerintah. Inilah titik sentral masalah, yang tidak pernah kunjung selesai. Keadaan ini menjadikan prinsip hak menguasai negara tidak memiliki kepastian dalam hal pelaksanaan kedaulatan demokrasi ekonomi.

Baca Juga :  Pacu Kelas Menengah. Opini Badri Munir Sukoco

Dalam rangka revitalisasi kedaulatan rakyat dibidang ekonomi, maka diperlukan ‘dekonstruksi paradigma’ pembangunan ekonomi. Dekonstruksi paradigma dimaksudkan guna meneguhkan keadilan sosial dan sekaligus merevitalisasi demokrasi ekonomi. Proses dekonstruksi dilakukan dengan transplantasi (adopsi) Syariat Islam dalam sistem hukum ekonomi. Perihal adopsi Syariat Islam tidaklah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Negara hukum Pancasila memiliki karakteristik yang berbeda dengan konsepsi ‘rule of law’ maupun ‘rechtsstaat’. Indonesia juga menganut paradigma simbiotik, negara dan Agama saling memerlukan dalam relasi yang interaktif. Dengan demikian, Syariat Islam memiliki kesempatan untuk menjadi hukum postitif. Positivisasi Syariat Islam juga banyak mendapatkan basis teoretisnya, salah satunya adalah teori solvasisasi (pelarutan) hukum.

Teori solvasisasi hukum yang dirumuskan oleh penulis dimaksudkan dalam rangka menjembatani antara penerimaan umat Islam atas Syariat Islam dan kedaulatan Negara yang diwujudkan dalam politik hukum. Nilai-nilai maslahat yang terkandung dalam Syariat Islam (al-Maqashid Syariah) dilarutkan dalam rumusan peraturan perundang-undangan. Pelarutan ini tidak berarti nilai-nilai Syariat Islam kehilangan maknanya. Pada prinsipnya, sesuatu yang dilarutkan tentu tidak lagi terlihat bentuk aslinya, namun demikian dapat dirasakan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam pelarutan tersebut, tentu diperlukan suatu konsentrasi yakni perbandingan hukum positif dan al-Maqashid Syariah. Oleh karena yang dipositifkan al-Maqashid Syariah, maka keberadaannya disimbolkan sebagai hukum pelarut (solvent). Adapun hukum positif disimbolkan sebagai hukum terlarut (solute). Nilai-nilai maslahat Syariat Islam memiliki konsentrasi terbesar, karena sebagai solvent. Dalam proses penerapannya tetap memerlukan keberlakuan secara yuridis formal oleh negara. Secara formil, negara memegang peranan dalam proses pembentukan (taqnin), penerapan (tathbiq), maupun perubahan atau revisinya (taghyir).

Dalam poses taqnin  –  penggantian hukum lama dengan pembuatan hukum yang baru  –  guna membangun sistem hukum pembangunan ekonomi, maka harus diselaraskan dengan konsep al-Maqashid Syariah. Konsep al-Maqshid Syariah tidak memberikan hak pengelolaan sumber daya alam yang bersifat kepemilikan umum (collective property) kepada individu-individu (korporasi). Paradigma pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis korporasi (corporate based management) harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) berdasarkan prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pengelolaan kepemilikan umum juga berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).

Baca Juga :  Haris Pertama Laporkan 8 Pimpinan Sidang Kongres KNPI ke Bareskrim

Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Frasa “perekonomian disusun”, artinya imperatif harus disusun dan tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri. Maksudnya, agar tidak terjadi konsentrasi pe­nguasaan (monopoli) terhadap sumber-sumber kekayaan alam. Tegasnya, perekonomian harus disusun, tidak boleh dibiar­kan tersusun sendiri melalui mekanisme pasar bebas (competitive economics).

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “manusia berserikat dalam tiga hal, air, api dan rumput” (HR Abu Dawud). Air termasuk di dalamnya, sungai, danau, lautan, mineral, garam dan sejenisnya. Padang rumput berupa hasil hutan, perkebunan, pertanian (skala besar) dan sejenisnya. Api mencakup tambang yang berada di dalam perut bumi semisal batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, bauksit, marmer, dan sejenisnya. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak bumi, dan gas. Berserikat adalah wujud paham keber­samaan, berserikat adalah wujud pengaturan berdasar mu­syawarah dan mufakat. Pada prinsipnya Pasal 33 UUD 1945 sangatlah Islami karena diutamakannya usaha bersama (berjamaah). Perserikatan itu bermakna menolak individualisme atau asas perorangan.

Menjadi jelas, sistem ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan (iqtishad), tidak boleh ada sub-ordinat. Tidak diperkenankan salah satunya menjadi dominan (superior) dari yang lain. Sumber daya alam harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata. Keadilan dalam Islam adalah menempatkan sesuatu hanya) pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya

Terakhir disampaikan, Syariat Islam merupakan causa prima Pancasila. Syariat Islam menjamin terselenggaranya keadilan sosial dan demokrasi ekonomi. Sila keadilan sosial didasari dan dilandasi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Disinilah letak keberlakuan Syariat Islam, sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Mohammad Hatta mengatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa ini tidaklah sama dengan yang diinginkan oleh orang Barat. Menurutnya, tujuan negara ialah sosialisme Indonesia yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, paradigma sistem ekonomi kapitalis-liberalis maupun sosialis-komunis harus ditolak. Wallahu ‘alam.

Loading...