oleh

Pencabutan Asimilasi dan Pemindahan ke Nusakambangan, Legalkah?

Pencabutan Asimilasi dan Pemindahan ke Nusakambangan, Legalkah? Oleh: Chandra Purna Irawan SH MH, Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI, Sekjen LBH Pelita Umat.

Mengutip pernyataan Ditjen Pemasyarakatan (Pas) Kemenkum HAM dimedia terkait pencabutan proses asimilasi dan kembali memenjarakan HBS. Yang pada pokoknya sebagai berikut:

“…..Melakukan beberapa tindakan yang dianggap telah menimbulkan keresahan di masyarakat, yaitu menghadiri kegiatan dan memberikan ceramah yang provokatif dan….. kepada yang bersangkutan dinyatakan telah melanggar syarat khusus asimilasi, sebagaimana diatur dalam pasal 136 ayat 2 huruf e Permenkumham Nomor 3 tahun 2018.”

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, bahwa perlu diperhatikan secara cermat, terdapat kemungkinan ‘provokatif’ yang dituduhkan Pemerintah terhadap HBS apakah ‘provokasi berupa seruan untuk melakukan pembunuhan terhadap individu penguasa dan/atau seruan untuk melakukan tindakan fisik lainnya’. Apabila betul kemungkinan ini, maka tindakan tersebut adalah tindak pidana materil yaitu dapat dilakukan tindakan penangkapan apabila ‘terdapat bukti tindakan permulaan konkrit yaitu berupa persiapan melakukan tindakan fisik’. Tetapi saya percaya pribadi HBS kemungkinan melakukan hal tersebut sangat kecil;

Baca Juga :  Indonesia Menerapkan Hukum Romawi? Opini Chandra Purna Irawan

KEDUA, bahwa terdapat kemungkinan ‘provokatif’ yang dimaksud adalah kritik HBS terhadap kebijakan dan tindakan Pemerintah. Apabila betul kemungkinan ini, maka kritik atau menyampaikan pendapat adalah hak konstitusi yang dimiliki setiap warga negara. Siapapun tidak boleh mengambil hak tersebut termasuk Pemerintah dan negara kecuali atas putusan pengadilan setelah melalui proses pemeriksaan yang adil;

KETIGA, bahwa apakah terdapat syarat atau regulasi terkait pencabutan asimilasi, misalnya larangan melakukan kritik terhadap Pemeritah. Apabila terdapat larangan tersebut, maka tindakan Pemerintah dapat dinilai pelanggaran hukum karena menyampaikan pendapat adalah hak konstitusi;

KEEMPAT, bahwa pasal 136 ayat 2 huruf e Permenkumham Nomor 3 tahun 2018 yang dijadikan alasan ‘menimbulkan keresahan dalam masyarakat’. Maka perlu diperhatikan secara objektif bukan secara subjektif. Misalnya secara objektif ‘menimbulkan keresahan dalam masyarakat’ apakah sudah terjadi tindakan berupa benturan fisik antar masyarakat atau tindakan fisik permulan konkrit yang dilakukan masyarakat untuk melawan Pemerintah atau bukti permulaan konkrit akan melakukan bentrokan. Apabila ‘keresahan’ masih pada tataran ‘perasaan/jiwa/rasa benci/emosi’ maka hukum tidak dapat menjangkau area ‘perasaan’. Apabila pada tataran ‘perasaan’ saya patut menduga terdapat banyak masyarakat yang juga “benci/emosi” terhadap Pemerintah misalnya kenaikan BPJS, beban hidup yang tinggi dll;

Baca Juga :  Kritik Konstruktif Bab X RUU Ciptaker (Omnibus Law)
Loading...