oleh

Penjajahan Berkedok Atasnama Globalisasi dan Modernisasi

Penjajahan Berkedok Atasnama Globalisasi dan Modernisasi. Oleh: Malika Dwi AnaPengamat Sosial Politik.

Inti dari suatu penjajahan adalah merampas dan memindahkan kemakmuran atau kesejahteraan milik suatu bangsa kepada bangsa lain dengan cara apapun, lewat tangan siapapun, dan dengan biaya berapapun. Dengan kelicikan maupun kekerasan fisik (perang) jika perlu. Tapi ada cara penjajahan yang tidak memerlukan itu semua justru membuat yang dijajah jatuh cinta dan ketagihan rasa dijajah. Bahkan sangat menikmati penderitaan yang ditimbulkan oleh penjajahan.

Era kolonialisme telah berakhir, era imperialisme juga telah selesai. They are old fashion styles. Aturan main baru itu adalah globalisasi: Kolonialisme dan Imperialisme gaya baru.

Globalisasi dan modernisasi yang berciri kemajuan teknologi khususnya IT ternyata menciptakan social cleavage atau belahan sosial. Dan terlihat bahwa jurang keterbelahan sosial di Indonesia kian lebar dan tajam. Semenjak digelarnya Pemilu serentak bermodel one man one vote. Bahkan dalam praktik politik pun, adanya keberpihakan suatu institusi pemerintah dan negara terhadap partai politik atau kandidat tertentu merupakan benih atas ketidaksolidan antar lembaga. Saling curiga mencurigai, merebaknya ego sektoral, dan lain-lain, lalu ujung-ujungnya negara menjadi lemah.

Baca Juga :  Memindahkan Isu Sentral Yang Rasional ke Emosional

Ini salah satu akibat amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali yang juga telah memandulkan fungsi DPR RI dan MPR RI, membuat lumpuh pasal 33 UUD 1945 dan lain-lain. Amandemen melahirkan UUD baru bertitel “UUD NRI 2002”. Akibatnya, substansi pasal 33 lumpuh. Bumi, air dan segala yang terkandung dibawahnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tapi dalam praktiknya justru banyak dikuasai swasta, dan dikendalikan segelintir orang (bahkan orang asing) untuk kepentingan diri dan kelompok mereka sendiri. Sekali lagi, pasal 33 mandul, lemah dan cuma jadi slogan semata.

Hadirnya UUD NRI 2002 justru membidani berbagai UU yang pro kepentingan asing dan bukan pro kepentingan nasional, atau bukan melayani rakyat selaku pemilik negara. UUD NRI 2002 membidani puluhan bahkan ratusan UU yang tidak lagi pro rakyat, ataupun mungkin ketika GBHN ditiadakan, atau sebab Otonomi Daerah (Otoda) memarakkan korupsi oleh raja-raja kecil, atau bisa jadi akibat multipartai yang membikin high cost politics, dan atau-atau lainnya. Sekali lagi, entahlah. Perlu kajian secara serius dan mendalam guna mencari “biang keladi” atas kegaduhan di hilir tersebut dengan berbasis idealisme dan nasionalisme para perumusnya.

Baca Juga :  Merdeka Yang Masih Konon, Catatan Kecil Pojok Warung Kopi Ndeso
Amandemen tersebut juga bisa diistilahkan sebagai kudeta konstitusi. Kudeta yang paling sunyi, tanpa gaduh dan ribut, yang kini melegalisir penjajahan melalui sistem politik via sistem konstitusi. Tidak ada letusan peluru maupun perang senjata, tapi sebagian kekayaan bangsa malah jatuh serta lari ke luar. Jatuh ke entitas yang tidak berhak sama sekali.

Hari ini pula, kita telah tiba di puncak piramida keterpurukan bangsa yang entah kapan bangkitnya.

Loading...