oleh

PKS Tuding Freeport Secara Terbuka Melawan Undang-Undang

SUARAMERDEKA.ID – Wakil Ketua Fraksi PKS Mulyanto menyebut PT Freeport Indonesia (PTFI) secara lugas dan terbuka melawan Undang-Undang karena menyebut pembangunan smelter adalah proyek rugi. Padahal, pembangunan smelter adalah syarat mendapatkan perpanjangan izin operasional dan izin ekspor konsentrat tembaga.

Menurut Mulyanto, kewajiban membangun smelter bagi perusahaan tambang adalah amanat UU yang harus dipatuhi bersama. Jadi sangat tidak pantas jika pihak PTFI mencoba menawar ketentuan UU yang sudah disahkan dan diberlakukan.

“Tekait kewajiban pembangunan smelter yang diatur dalam UU No. 3/2020 tentang Minerba bagi perusahaan tambang tembaga, sepantasnya tidak ditawar-tawar lagi.  Proses pembentukan dan pengesahan UU tersebut sudah lewat.  Kini saatnya kita melaksanakan UU tersebut secara konsekuen dan bertanggung-jawab,” kata Mulyanto di Jakarta, Senin (2/11/2020).

Anggota Komisi VII ini melanjutkan, hingga bulan Juli 2020, kemajuan proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru PTFI hanya mencapai 5,86 persen dari target 10,5 persen. Mulyanto pun mengingatkan Surat Keputusan Menteri ESDM No.154 K/30/ MEM/2019. Berdasarkan SK yang ada,  ketentuan kemajuan fisik pembangunan smelter yang paling sedikit 90 persen dari target. Berdasarkan hitungan kasarnya, pencapaian kemajuan fisik smelter Freeport masih di bawah 50 persen.

Baca Juga :  Pemkab Banyuwangi Gelontorkan Rp.717 Juta Untuk Santunan 2.900 Anak Yatim

Bila tidak tercapai maka Pemerintah berhak menjatuhkan sanksi penghentian sementara persetujuan ekspor konsentrat. Selain itu, perusahaan smelter wajib membayar denda administratif sebesar 20 persen dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri selama enam bulan terakhir. Selain itu, ia juga menyebutkan beberapa sanksi administratif lainnya.

“Ini penting. Kalau Pemerintah bersikap lembek dan tidak konsisten terhadap aturan yang ada, jangan heran kalau pengusaha tambang, ogah-ogahan dalam membangun fasilitas ini dan menuntut untuk dapat mengekspor konsentrat,” tegasnya.

Mulyanto menyebut, Freeport bahkan secara berani dan terang-terangan melempar wacana untuk melanggar UU No.3/2020. Perusahaan ini mengusulkan penundaan target pembangunan smelter melebihi tahun 2023, batas waktu yang ditetapkan UU.

“Sebelumnya pelanggaran UU ini diajukan dengan alasan musibah Covid-19.  Kemudian muncul alasan baru, bahwa pembangunan smelter adalah proyek rugi. Inikan sungguh lugas secara terbuka melawan UU. Kita sudah hapal dengan gaya ini. Karena sudah ada preseden sebelumnya,” ujar Mulyanto.

Baca Juga :  Arief Poyuono: DPR Bahas Omnibus Law, Jangan Menambah Kemarahan Masyarakat

Ia pun menjelaskan, pelanggaran UU No.4/2009 pertama kali dilakukan PTFI tahun 2014. Freeport tetap mengekspor konsentrat dan itu berlanjut sampai tahun 2018, padahal amanat UU No.4/2009, smelter harus beroperasi tahun 2014.

Mulyanto mengingatkan, sejak akhir tahun 2018, mayoritas saham PTFI sebanyak 51 persen adalah milik Pemerintah Indonesia. Secara teori, menurutnya, perusahaan tersebut adalah BUMN.

“Karenanya menjadi tidak masuk akal kalau BUMN ingin menabrak UU.  Ini preseden buruk, bagi tatakelola pengusahaan sumber daya alam di Indonesia. Menurut saya ini sudah kelewatan. Saya protes keras. Sebab UU dibuat untuk dipatuhi oleh kita bersama, bukan dianggap “sebagai angin lalu”. Ini benar-benar melecehkan Indonesia sebagai Negara hukum,” kata Mulyanto.

Karenanya, ia pun mendesak Pemerintah untuk tegas melaksanakan dan mengawal amanat UU No. 3/2020 sebagai perubahan atas UU. No.4/2009 tentang Minerba, khususnya pasal 170A. Mulyanto meminta pemerintah untuk tidak lembek, apalagi ikut-ikut melanggar UU tersebut.

“Menko Luhut Panjaitan juga terkesan hanya galak pada smelter nikel. Tidak terdengar suaranya terkait dengan smelter tembaga PTFI ini,” pungkas Mulyanto. (OSY)

Loading...