oleh

Political Will New Normal. Opini Chusnatul Jannah

Political Will New Normal. Oleh: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban.

New normal menjadi solusi baru pemerintah untuk atasi pandemik corona. Dijajakan dan dikampanyekan sebagai harapan di tengah keputusasaan. New normal, kehidupan normal baru agar masyarakat mulai beradaptasi dengan virus corona.

Melihat virus corona yang tak segera hilang, pemerintah sudah tidak tahan menghadapi himpitan resesi ekonomi yang mengancam. Keluarlah new normal sebagai jalan baru demi pemulihan ekonomi. Tak dipungkiri, corona berdampak luas bagi perekonomian masyarakat. Kegiatan ekonomi lumpuh, produktivitas kerja menurun. Desakan membuka kembali akses ekonomi tak lagi bisa dihindari.

New normal adalah hidup baru dengan perubahan kebiasaan baru. New normal, adaptasi yang harus dilakukan demi mencegah perluasan sebaran corona. Patuhi protokol kesehatan, mulai biasakan hidup bersih dan sehat, dan tetap waspada. Begitulah kalimat yang seringkali terucap oleh juru bicara penanganan covid-19. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain new normal. Meski kasus positif corona masih meningkat tajam, pokoknya new normal harus diterapkan. Kebijakan yang terkesan dipaksakan di tengah gagapnya pemerintah menghadapi corona.

Bila kita mencermati keadaan masyarakat di bawah, banyak yang tidak memahami apa dan bagaimana itu new normal. Parahnya, masyarakat menilai new normal itu seperti kembali pada kehidupan normal saat corona belum bertandang. Alhasil, protokol kesehatan diabaikan. Saat fasilitas publik mulai dilonggarkan, masyarakat pun berhamburan bak anak ayam yang telah lama terkurung dalam kandangnya. Sejenak corona dilupakan. Tak peduli lagi dengan imbauan yang selama ini digalakkan.

Salah kaprah memahami makna new normal akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintah. PSBB kelar, kasus positif corona naik tak karuan. Bila dulu angka penambahan sebatas 400-500 kasus per hari. Tatkala PSBB diakhiri dan kegiatan masyarakat dilonggarkan, kasus positif corona berada di kisaran 800-1.000 kasus per hari. Salah siapa? Masyarakat atau pemerintah? Sebagai pihak yang diberi mandat menjalankan kekuasaan dan kebijakan, kesalahan fatal ini tentunya bermula dari pemerintah sendiri.

Baca Juga :  Launching Wisata Edukasi Kota "Kampung Ikan Sumber Seng" Penganjuran

Ibarat pertandingan sepakbola, pelatih salah strategi menetapkan formasi. Akhirnya kalah dari lawan. Pun sama dengan pemerintah. Akibat salah strategi hadapi corona, berimbas pada kebijakan berikutnya, lalu mendapati  kekalahan. Tak berdaya melawan corona. Banyak dokter dan perawat tumbang. Fasilitas kesehatan tak cukup menampung pasien. Masyarakat pun bergejolak lantaran tak bisa kerja. Pelaksanaan bantuan sosial berantakan. Sebagai efek kesalahan strategi di awal kebijakan.

Inilah pentingnya “political will” bagi negara. Menurut kamus politik, “political will” ialah adanya kemauan politik dari pemerintah atau para pengambil kebijakan. Kemauan yang dimaksud adalah melihat, memprediksi, menentukan, dan menetapkan kebijakan dengan matang, terukur, dan terencana. Sejauh mata memandang, dalam menyiapkan skema new normal, dalam hal ini belum nampak “political will” Pemerintah. Maunya new normal tapi tak disiapkan dengan benar. Sesuatu yang tidak terencana dan terukur dengan tepat akan menimbulkan  masalah baru.

Jika memang pemerintah memiliki “political will” New Normal, semestinya tahapan ini mesti dilakukan:

Pertama, edukasi. Sebelum menetapkan new normal, edukasi tentang new normal semestinya diutamakan. Karena minim edukasi dan informasi, masyarakat akhirnya salah paham. Mengapa tak belajar dari PSBB? Saat PSBB diberlakukan, masyarakat banyak melanggar. Bisa jadi edukasi tentang PSBB minim. Sehingga kesadaran masyarakat nihil. Edukasi membentuk pemahaman. Dari pemahaman akan terbentuk kesadaran. Dengan kesadaran inilah masyarakat akan terdorong berperilaku berdasar pemahaman yang dimilikinya.

Minim informasi ditambah tak ada edukasi berujung pada salah paham. Salah memahami berakibat salah perilaku. Kesadaran masyarakat akan bahaya covid-19  tak terbentuk. Bila sudah begini, korban apatisnya masyarakat dan abainya pemerintah tentu saja para tenaga kesehatan.

Kedua, klasifikasi dan pemetaan. Jika memang berniat memberlakukan new normal, semestinya pemerintah melihat dan menganalisis kondisi. Bukan asal ambil kebijakan. Terhadap new normal, harusnya ada klasifikasi terhadap  tingkat resiko penularan dan produktivitas kerja. Perhatiannya pada dua hal, kesehatan dan ekonomi. Kategori pertama, orang dengan resiko penularan besar dan produktivitas kerja tinggi, maka berlakukan protokol kesehatan secara ketat dan disiplin. Bila perlu, beri sanksi untuk pelanggar. Kelompok yang termasuk kategori pertama adalah para pekerja dan karyawan perusahaan.

Baca Juga :  New Normal, Ilusi Normalisasi. Oleh: Lulu Nugroho

Kategori kedua, orang dengan resiko penularan kecil, namun produktivitas kerja tinggi, maka work from home atau scholl from home jawabannya. Kelompok yang tergolong kategori ini adalah para pegawai negeri, pekerja kantoran, dan peserta didik yang aktivitasnya bisa dikerjakan di rumah tanpa harus keluar rumah. Hal ini untuk mengurangi kerumunan dan resiko penularan. Mereka semestinya tetap bekerja di rumah.

Kategori ketiga, orang dengan resiko penularan besar, produktivitas kerja rendah. Maka kelompok ini diharuskan banyak di rumah. Tidak keluyuran bila tak ada hajat yang sangat mendesak. Seperti aktivitas nongkrong, hajatan nikah atau sejenisnya, kudu dilakukan pembatasan kegiatan masyarakat. Tempat publik yang berpotensi memunculkan kerumunan tak perlu dibuka. Semisal taman, alun-alun, Car Free Day, atau kegiatan lainnya yang tidak berdampak secara langsung terhadap perekonomian.

Klasifikasi dan pemetaan itu bertujuan agar kebijakan new normal tidak serta merta dipukul rata untuk semua hal. Hanya saja, pemerintah tak mau repot berpikir ke arah sana. Pokoknya new normal. Pokoknya terapkan. Akibatnya bagaimana dipikir belakangan. Pemikiran semacam inilah yang merusak tatanan kelola negara. Political will-nya entah kemana.

Model pemerintahan dalam asuhan kapitalisme memang tak memiliki political will yang berasaskan kepentingan rakyat. Semua kebijakan selalu mengakomodasi kepentingan kapitalis dan korporasi. Rakyat dikorbankan.

Dalam Islam, political will-nya ada pada prinsip ri’ayatul su’unil ummat, yakni mengurusi urusan rakyat dengan amanah dan bertanggungjawab. Negara adalah pelayan bagi rakyat. Menetapkan kebijakan untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Itulah political will dalam Islam. Jelas kontradiksi dengan negara ala kapitalisme. Lebih pilih mana? Bernegara dengan prinsip Islam atau kapitalisme? Wallahu a’lam.

Loading...