oleh

Politik Hukum (Omnibus Law), Tumbal dan Sumber Kegaduhan

Politik Hukum (Omnibus Law), Tumbal Dan Sumber Kegaduhan.

Ditulis oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.

Kemana suatu “fenomena” akan membawa gerak masyarakatnya, itulah politik hukum. Narasi singkatnya begitu. Jadi, upaya memahami politik hukum, misalnya adalah upaya menguak hidden agenda. Tujuan sesungguhnya dibalik yang tersurat atau dibalik peristiwa.

Politik hukum dapat dipahami dari dua sisi, yakni sisi proses dan sisi substansi. UU Cipta Kerja atau dikenal Omnibus Law, contohnya, ternyata “substansi”-nya bukan soal penciptaan lapangan kerja untuk rakyat sesuai judul UU, tetapi lebih kepada kemudahan investasi, penyederhanaan regulasi dan perizinan dan seterusnya terkait pemangkasan persyaratan dalam investasi. Intinya, UU Cipta Kerja adalah karpet merah bagi investor. Artinya apa, dari aspek judul UU saja sudah bisa dicurigai sebagai sebuah upaya penyesatan. Wujud pengelabuan publik. Toh pada akhirnya ketahuan juga.

Sementara dari sisi “proses”, UU Cipta Kerja selain dirumuskan saat Covid19 mewabah, minimnya transparansi, juga diketok di tengah malam buta. Sesuatu yang tak lazim. Belum lagi draft-nya belum final dan rancu. Kenapa? Karena ada tiga draft beredar melalui PDF di publik. Draft setebal 905-an halaman, atau yang tebalnya 1028 dan 1052 halaman? Hingga kini belum ada jawaban resmi. Dan ketahuan betapa tidak jelasnya UU tersebut diketok. Jangan silau dengan apa yang diklarifikasi. Karena setannya itu ada dibagian yang tidak disebut. Tidak jelas, wong dokumennya saja dikekepin.

Baca Juga :  Penjajahan Berkedok Atasnama Globalisasi dan Modernisasi

Padahal sebenarnya tanpa mengotak-atik UU Ketenagakerjaan mereka itu sudah bisa nyolong banyak. Tapi karena oligarki yang sangat rakus, pakai mindahin banyak kewenangan perizinan ke pusat. Siapa yang peduli? Bahkan isu-isu lingkungan saja tidak akan menghasilkan penolakan semasif ini.

Yang kasihan itu Polri. Karena faktor fungsi, tugas dan hirarki, institusi ini harus menjadi tameng kekuasaan. Dicaci maki, dinyinyiri, mungkin dilempari dan “digebuki” sana-sini. Wajar sih jika ada yang ngamuk. Korban di pihak Polri dan warga, sejatinya adalah tumbal politik dari si jabang Omnibus Law. Harap maklum, karena setiap tujuan niscaya membawa korban. Itu sudah jamak dalam politik.

Sinyalir ada provokator saat demonstrasi sehingga timbul vandalisme, itu juga keniscayaan, karena suhu politik memang memanas. Ada yang memancing di air keruh. Tetapi, bukankah awal kegaduhan itu sendiri justru bersumber dari pemerintah yang memaksakan Omnibus Law di tengah pandemi dan dampak sosial ekonomi akibat pandemi? Halte rusak 3 hari bisa diselesaikan, melalui marah-marah atau pun tidak. Pertanyaannya kalau proses demokrasi yang dikangkangi oligarki rusak, benerinnya harus berapa hari ?

Baca Juga :  JAKI Menyambut Baik Pengakuan Belanda Atas Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Beserta Permintaan Maaf Raja William

Makanya, satu kebijakan yang sejuk lebih baik daripada pengerahan ribuan pasukan!

Loading...