Ketika Sekolah Dibuka Virus Masih Menjalar, Amankah? Oleh: Justiani Sianna SSi Apt, Pemerhati Sosial dan Praktisi Kesehatan.
Di tengah gencarnya kebijakan Merdeka Belajar era Menteri Nadiem Makariem, dunia digegerkan dengan munculnya wabah virus Corona (Covid-19). Virus ini pertama kali menyerang negeri China tepatnya di Kota Wuhan. Tidak membutuhkan waktu lama virus ini bahkan menyebar hampir ke seluruh belahan dunia,tak terkecuali Indonesia.
Di Indonesia, penyebaran virus ini hampir ke semua wilayah sehingga tidak sedikit berpengaruh pada aspek kehidupan diantaranya dalam aspek bidang pendidikan.
Sejak 16 Maret 2020 pemerintah memutuskan agar siswa-siswi belajar dari rumah sebagai upaya untuk menekan penyebaran virus corona. Kebijakan ini diharapkan pemerintah bisa mengurangi mobilitas pada pelajar dan mahasiswa.
Kebijakan tersebut tak berlangsung lama, karena ada wacana sekolah akan segera dibuka kembali. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana akan mengaktifkan kembali aktivitas belajar mengajar pada tahun ajaran baru atau pertengahan Juli 2020 mendatang.
Wacana itu tidak disambut positif oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Menurut wakil sekretaris Jendral FSGI Satriawan, ia meragukan koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tak terlihat sinkron dan sering tumpang tindih dalam penanganan wabah virus corona.
Maka dikhawatirkan siswa dan guru akan menjadi korban wabah corona jika rencana Kemendikbud untuk membuka sekolah pertengahan Juli diputuskan. Mengingat pemerintah pusat dan daerah sering memiliki data penyebaran virus corona yang berbeda (cnnindonesia.com,9/5/2020).
Deputi bidang koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Agus Sartono bersuara, ia mengatakan masih beresiko jika membuka sekolah pada pertengahan Juli 2020.
Namun apakah kebijakan ini sudah benar-benar matang? Di tengah kondisi Covid-19 yang terus merebak mengapa pemerintah justru merencanakan membuka kembali sekolah dalam waktu dekat? Bukankah setiap hari jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah dan meningkat? Ada apa di balik rencana dibukanya kembali sekolah? Apakah kebijakan tersebut berhubungan dengan masalah pemulihan ekonomi tanpa melihat aspek keamanan bagi rakyat karena dilaksanakan tanpa disertai kepastian bahwa virus tidak lagi menyebar dan pasien yang terinfeksi sudah diisolasi?
Faktanya, untuk memastikan siapa saja yang terinfeksi (melalui tes masal dan PCR) saja belum dilakukan dengan alasan yang selalu dikemukakan adalah kurangnya alat.
Sederet pertanyaan tersebut terus bertubi dan menjadi pertanyaan besar di tengah-tengah masyarakat. Apa sesungguhnya yang menjadi motivasi pemerintah jika tetap bersikukuh membuka kembali sekolah dengan aktivitas belajar dan mengajar sebagaimana biasanya?
Munculnya berbagai pertanyaan disebabkan karena pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Mulai dari membebaskan para napi yang justru meningkatkan angka kriminalitas, disahkannya UU Omnibus Law di tengah badai PHK massal akibat dari kebijakan PSBB, dan politisasi bansos di tengah rakyat yang banyak menderita kelaparan, dan tak kalah menghebohkan lagi ketika pemerintah menghimbau masyarat untuk berdamai dengan Covid-19.
Dari sini terlihat betapa pemerintah lebih mengedepankan masalah pemulihan ekonomi dibanding keselamatan nyawa rakyatnya sendiri. Pemulihan ekonomi bukannya tidak penting, tetapi tidak tepat sasaran, dan akan semakin ambyar jika penyebaran virus corona ini berlangsung lama. Di tengah pandemi yang terus merebak dan seharusnya kebijakan ini diiringi dengan pemastian bahwa virus sudah tidak ada.
Untuk apa kondisi ekonomi pulih namun banyak korban jiwa berjatuhan diakibatkan ketidakhati-hatian pemerintah dalam mengambil kebijakan? Karena setiap kebijakan yang diambil berpengaruh terhadap apa hasil yang akan diraih. Bukankah roda perekonomian akan berjalan atau berlangsung jika ditopang oleh kehadiran masyarakat sebagai pelaku ekonomi.
Kebijakan-kebijakan tersebut tentunya muncul dari buah penerapan sistem kapitalisme. Padahal
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surah Al-Anfal ayat 24 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَجِيبُوا۟ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu”.
Sungguh tepat sekali surah di atas dengan kondisi saat ini. Pola pikir yang kapitalistik berimbas pada lambannya penanganan Covid-19 yang mewabah. Seharusnya penguasa sedari awal bisa mencegah masuknya virus ke Indonesia. Namun nampaknya saat itu, pemerintah terbilang sangat egois dan terkesan menyepelekan Covid -19. Hal ini ditandai dengan tidak ditutupnya akses keluar masuk turis asing ke Indonesia. Alih-alih menutup akses keluar masuk, yang ada TKA asal Cina saat itu malah berbondong-bondong masuk ke beberapa wilayah di Indonesia.
Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda seharusnya penguasa bertindak cepat, tepat dan bijak dalam mengeluarkan setiap kebijakan. Tegas untuk segera melakukan lockdown demi melindungi rakyat dari wabah virus yang begitu cepat menyebar dan membahayakan ini.
Namun rakyat lagi lagi jadi korban, ibarat panggang jauh dari api, pemerintah justru lebih mengedepankan kepentingan kapitalis di atas kepentingan rakyat. Inilah watak penguasa Ruwaibidhah yang mengadopsi sistem kapitalisme, setiap kebijakan selalu mengedepankan kepentingan kapitalis, kepentingan asing. Sementara jiwa rakyat menjadi korban akibat abainya penguasa.
Kapitalisme benar-benar telah mencabut sisi kemanusiaan penguasa, menilai segala sesuatu dari manfaat, materi dan kedudukan segala-galanya hingga akhirnya mengabaikan tanggungjawabnya dalam pemenuhan rasa aman, kesehatan, kebutuhan dasar rakyatnya.
Kondisi tersebut sangat berbeda jauh dengan kepemimpinan islam. kepemimpinan yang amanah dalam mengurus rakyatnya dengan penuh tanggung jawab, bijaksana penuh kasih dan sayang karena paham bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Oleh karena itu, hanya sistem Islamlah satu-satunya sistem yang sudah terbukti berhasil mengatasi semua problematik kehidupan. Hanya Islam yang dapat memberikan solusi terbaik dalam penanganan wabah, dan hanya dalam sistem pemerintahan Islam sajalah dapat ditemui seorang pemimpin yang memimpin dengan penuh tanggung jawab dan kearifan, serta menjalankan pemerintahan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Disamping itu, sistem kapitalisme telah terbukti gagal dalam memberikan solusi atas setiap problematik kehidupan, sehingga tidak layak dijadikan ideologi dalam kehidupan.
Hanya Islam sebagai jalan hidup dan menjadi solusi seluruh persoalan yang ada.
Wallahu’alam bish Shawab