oleh

Sistem Lembaga Peradilaan Mampu Bebaskan Negeri dari Korupsi

Sistem Lembaga Peradilaan Mampu Bebaskan Negeri dari Korupsi ?

Oleh: Yuni Damayanti

Masih ingat dengan kasus suap hakim agung Sudrajad Dimyati? Komisi Pemberantasan Korupsi menahan tersangka kedelapan dalam kasus suap pwengurusan perkara yang menyeret Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Tersangka itu adalah Ivan Dwi KusumoSujanto selaku debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana.

Ivan merupakan tersangka pemberi suap kepada Dimyati dkk. Karyoto selaku Deputi penindakan KPK mengatakan Ivan ditahan di Rumah Tahanan Polres Jakarta Timur. Dia akan menjalani penahanan 20 hari pertama sejak4 Oktober hingga 23 Oktober 2022. Dengan penahanan ini berarti semuaa tersangka dalam kasus suap Sudrajad Dimyati telah resmi ditahan.

Dalam perkara tersebut KPK total menahan delapan orang menjadi tersangka. Lima orang ditetapkan menjadi tersangka penerima suap, yaitu Sudrajad Dimyati dan lima pegawai di Mahkamah agung. Sedangkan sebagai pemberi suap, KPK menetapkan empat orang menjadi tersangka. Mereka adalah dua orang pengacara bernama Yosep Parera dan Eko Suparno dan dua pengurus Koperasi Intidana. KPK menyangka Sudrajad Dumyati dan lima Pegawai MA itu menerima suap terkait pengurusan perkara pailit KSP Intidana. Sudrajad diduga menerima Rp 800 juta, (tempo.co, 04/10/2022).

Korupsi dilakukan berjamaah seolah sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia, bahkan di lembaga peradilan dan penegak hukum. Tentu untuk memberantasnya memerlukan langkah baru, namum pembentukan kerangka baru lembaga peradilan tak akan mampu memberantas korupsi selama masih menggunakan sistem demokrasi.

Sistem demokrasi adalah bagian dari kapitalisme yang meniscayakan keuntungan sebagai tujuan, maka untuk mendapatkan keuntungan itu akan menghalalkan segala cara. Yah, kapitalisme memisahkan agama dari kehidupan maka tak heran jika pengembannya tidak memiliki rasa takut kepada tuhannya, sistem ini melahirkan pemimpin atau pun penegak hukum yang rakus harta. Apalagi adanya politik transaksional membuat reformasi hukum tak akan mampu menegakkan supremasi hukum. Rasanya mustahil korupsi bisa diberantas di Indonesia jika penegak hukumnya saja bisa disuap.

Kalau sudah seperti ini mau berharap kepada siapa lagi untuk memberantas korupsi? Negara diambang kehancuran karena korupsi sudah menyentuh hampir semua instansi negara.

Islam sebagai agama dan idiologi yang mengatur segala aspek kehidupan memilik beberapa cara untuk mencegah terjadinya korupsi, diantaranya:

Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukupi nafkah keluarga. Maka, agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, kepada mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak.

Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”.
Oleh karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini. Prinsip pemberian gaji rendah kepada pegawai dengan membuka kemungkinan perolehan tambahan pemasukan (yang halal dan haram) sudah semestinya ditinjau ulang. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.

Baca Juga :  Reshuffle Kabinet Diyakini Akan Berdampak Positif ke IHSG

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.

Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar – separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi – datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.

Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak.” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).
Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).

Nabi, sebagaimana tersebut dari hadis riwayat Bukhari, mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis, atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh khalifah ‘Umar bin Khaththab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi.
Semasa menjadi khalifah, ‘Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, bukan jaksa atau orang lain, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal.

Bila gagal, ‘Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada baitulmal, atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.

Baca Juga :  Penasehat Hukum MKP: Vonis 8 Tahun, Hakim Tak Pertimbangkan Pledoi

Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwanya pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Di sinilah diperlukan keteladanan dari para pemimpin itu. Khalifah ‘Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin ‘Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik baitulmal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bila korupsi justru dilakukan oleh para pemimpin, praktik busuk ini tentu akan cenderung ditiru oleh bawahannya, hingga semua upaya apa pun dalam memberantas korupsi menjadi tidak ada artinya sama sekali.

Kelima, hukuman setimpal. Pada umumnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi.

Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang.

Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.

Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik, dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.

Tampak dengan jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan solusi yang sangat gamblang dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Dengan demikian tidak akan ada peluang bagi penegak hukum untuk melakukan korupsi apalagi secara berjamaah. Hanya Islam yang mampu menutup semua pintu terjadinya korupsi, wallahu a’lam bissowam.

Loading...