oleh

Lagi, Kebijakan Pembebasan Napi yang Menuai Kontroversi

Lagi, Kebijakan Pembebasan Napi yang Menuai Kontroversi

Oleh: Miranthi Faizaqil Karima (Mahasiswi Manajemen Komunikasi Universitas Padjadjaran)

Beberapa minggu ini, pemerintah terus menerus menerima hujatan dan kritik atas kebijakan-kebijakan konyol yang menuai kontroversi dalam menangani pandemi Covid-19. Dari rencana mengucurkan 72 miliar rupiah untuk mengundang influencer mempromosikan pariwisata di tengah pandemi, hingga kebijakan terbarunya yaitu pembebasan narapidana melalui asimilasi dan integrasi yang menuai pro-kontra.

Berdasarkan data per-8 April 2020, Kementerian Hukum dan HAM sudah membebaskan lebih dari 35 ribu narapidana di seluruh Indonesia. Angka pembebasan ini keluar hanya dalam waktu 9 hari sejak keputusan diteken Menkumham, Yasonna H. Laoly dan rencananya akan terus bertambah hingga status darurat Covid-19 dihentikan.

Dasar dari kebijakan ini adalah Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Kemenkumham beralasan langkah pembebasan napi yang jumlahnya ribuan. Dilakukan untuk mengurangi risiko tertular virus corona di dalam tahanan atas dasar kemanusiaan. Dari sebelum dijalankannya program asimilasi dan integrasi, berita keputusan Menkumham telah menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat.

Narapidana yang dibebaskan dikhawatirkan akan kembali berbuat kejahatan menambah keresahan masyarakat dalam pandemi ini.

Jumlah napi yang tidak sedikit pun menimbulkan skeptisme terhadap kemampuan instansi yang bertanggung jawab dalam membimbing dan mengawasi program asimilasi dan integrasi.
Kekhawatiran masyakarat tidak meleset.

Baca Juga :  WN Prancis Umur 65 Tahun Eksploitasi Seksual 305 Anak di Jakarta

Hanya dalam hitungan hari sejak dibebaskan, terdapat puluhan narapidana di berbagai daerah yang kembali berulah dengan melakukan dugaan tindak pidana. Mereka melakukan berbagai macam kasus seperti pencurian, kurir ganja, penjambretan, dan sebagainya. Pihak yang berwajib pun baru bisa menangkap sebagian narapidana setelah mereka beberapa kali melakukan kejahatan.

Padahal, narapidana penerima program asimilasi diwajibkan diam di rumah masing-masing sampai diintegrasi lewat pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, atau cuti bersyarat. Sementara yang mendapat program integrasi boleh ke luar rumah, akan tetapi karena pandemi tetap dianjurkan diam di rumah sebagaimana anjuran social distancing.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Hibnu Nugroho, menilai fenomena tersebut sebagai kegagalan Kemenkumham, khususnya Ditjen PAS serta lapas atau rutan, dalam mengawasi para napi yang dibebaskan.

Hibnu menduga lapas atau rutan belum menyiapkan sistem kontrol para napi tersebut dan hanya sekadar membebaskan. “Ada kejadian seperti itu) berarti sistem pemidanaan kita gagal, padahal pemidanaan dalam rangka membuat efek jera, ada sesuatu yang perlu dievaluasi. Apakah mungkin dengan kondisi 30 ribu (lebih) napi yang dibebaskan lapas mampu mengawasi? sudah terbukti ini kegagalan,” ujar Hibnu dalam wawancara bersama Kumparan, Kamis (9/4).

Munculnya berbagai permasalahan dalam setiap langkah, menunjukkan pemerintah seakan kewalahan dalam persoalan narapidana lapas dan rutan. Menurut pakar Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, masalah yang dihadapi oleh Lapas dan Rutan saat ini adalah dampak sistemik dari perundang-undangan dan sistem hukum pidana di Indonesia.

Baca Juga :  Dianggap Punya Sepuluh Dosa, Budi Gunawan di Desak Mundur Oleh Mahasiswa

Hukum pidana yang dirancang agar dapat menimbulkan efek jera tidak berjalan sesuai harapan, juga memberatkan Pemerintah dan negara dengan selalu overcrowded-nya lapas dan rutan. Sudah membuang banyak biaya, tempat dan tenaga dalam pembinaan narapidana, namun hasil tidak sesuai dengan intensi.

Progam asimilasi dan integrasi dinilai dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi yang kritis di tengah wabah. Hal ini menjadi faktor sejumlah napi kembali nekat berulah, menyebabkan masyarakat luas yang menjadi korban. Masyarakat didorong untuk bertahan dalam situasi serba mahal, maraknya PHK, sempitnya lapangan pekerjaan dan sekarang ditambah faktor kriminologi yang tinggi.

Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan tidak matang yang perlahan membukit ini menjadi bukti ketidakmampuan pemerintah memberikan rasa aman pada publik.

Pemerintah sebagai pemimpin negara seharusnya dapat menjamin kehidupan rakyatnya. Islam telah menetapkan bahwa kebutuhan atas pangan, papan, dan sandang adalah kebutuhan pokok tiap inidividu rakyat. Selain itu, keamanan, pendidikan dan kesehatan juga merupakan hak dasar seluruh masyarakat yang harus dipenuhi negara.

Sehingga, menjadi kewajiban penguasa dalam menjamin pemenuhan kebutuhan setiap rakyatnya, bukan malah membebani. Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban tersebut, karena mereka akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat. Ini sesuai dengan sabda Rasul SAW: “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari)

Loading...