SUARAMERDEKA – Budi Pego, aktivis lingkungan hidup asal Banyuwangi harus berurusan dengan hukum pidana karena dituduh mengibarkan bendera komunis. Namun dalam persidangan, barang bukti tersebut tidak bisa ditunjukkan.
Heri Budiawan alias Budi Pego, mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Jum’at (14/12/2018). Kedatangannya untuk meminta keadilan atas adanya dugaan diskriminasi atas kasus yang menimpa dirinya.
Aktivis asal Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, ini gencar menolak keberadaan tambang emas Tumpang Pitu milik perusahàan PT. Merdeka Copper Gold. Saat ini dikelola oleh anak perusahaannya yaitu PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI).
Disaat gencar melakukan aksi penolakan tambang emas tersebut, Budi Pego tersandung masalah hukum. Pada tahun 2017, ia dituduh mengibarkan spanduk berlogo palu arit saat mengelar aksi penolakan tambang emas. Ia juga disangka menyebarkan faham komunisme.
Hingga akhirnya, jaksa menuntut Budi Pego dengan hukuman 7 tahun penjara. Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi menvonisnya dengan hukuman 10 bulan penjara. Fakta persidangan tidak pernah diperlihatkan barang bukti bendera atau spanduk bergambar palu arit yang dimaksud.
“Saya ditangkap dan ditahan dengan tuduhan mengibarkan bendera komunis yang saya tidak tahu dan tidak lakukan. Selama persidangan barang bukti juga tidak bisa ditunjukan,” Ungkap Budi Pego.
Namun, proses hukum tetap berlangsung hingga ke Mahkamah Agung, dan akhirnya Januari 2018 MA menjatuhkan hukuman kurungan empat tahun kepada Budi Pego.
“Banyak sekali kejanggalan selama proses sidang. Salah satunya ya spanduk berlogo palu arit itu tak pernah diperlihatkan atau ada keterangan di BAP yang dihapus oleh saksi,” Tambahnya.
Selain itu, lanjut Budi, kejanggalan lainnya yaitu saat proses persidangan tidak cukup bukti dituduh menyebarkan ajaran komunisme, kemudian hakim beralih menggunakan dasar bahwa saat melakukan aksi Budi Pego tidak mengajukan izin ke polisi.
“Ini sangat aneh sekali dan terkesan dipaksakaan,” cetusnya.
Karena mendapat diskriminasi hukum dan perlakuan tidak adil itu, Budi Pego akhirnya mendatangi kantor Komnas HAM, Walhi, Sekertariat Mahkamah Agung RI, Bawas MA, Ombusdman, dan Komisi Yudisial dengan di dampingi beberapa pengacaranya.
“Setelah kami lakukan kajian, ternyata ditemukan ketidakwajaran dalam proses hukum kami, sehingga Komnas HAM dan Walhi meminta MA untuk meninjau ulang perkara hukum kami,” Tegasnya. (BUT)