Menuntut UKT Diturunkan Atau Kuliah Bebas Biaya. Oleh: Dian Sefianingrum, Pemerhati Pendidikan.
Setelah sekian lama tidak terdengar gaungannya, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi unjuk rasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka meminta adanya audiensi langsung bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim guna membahas aspirasi mereka terhadap dunia perguruan tinggi.
Dilansir detiknews.com (22/06/2020) Massa membentuk kerumunan lingkaran di depan gerbang Kemendikbud. Mereka meletakkan ban di trotoar kemudian membakar ban tersebut. Salah satu tuntutan yang mereka soroti adalah soal pembiayaan kuliah di masa pandemi. Mereka meminta adanya subsidi biaya perkuliahan sebanyak 50 persen.
Merespon tuntutan mahasiswa, Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud 25 Tahun 2020 terkait ketentuan penyesuaian Uang Kuliah Tunggal (UKT). Nadiem mengatakan kebijakan ini dimaksudkan guna memberikan keringanan kepada mahasiswa di tengah pandemi virus Corona.
Selain itu, Kemendikbud merealokasi dana Rp 1 triliun guna meringankan beban mahasiswa di masa pandemi Corona (COVID-19). Nadiem mengatakan bantuan anggaran ini untuk 410 ribu mahasiswa, terutama di perguruan tinggi swasta (PTS)
Pendidikan Tanggung Jawab Negara
Tuntutan mahasiswa terkait penyesuaian UKT merupakan hal yang lumrah. Di masa pandemi ini perkuliahan tidak bisa maksimal karena dilakukan secara daring. Tidak ada aktivitas praktikum di laboratorium maupun praktik lapangan sebagaimana normalnya perkuliahan. Wajar jika biaya kuliah seharusnya tidak penuh seperti biasanya.
Di sisi lain, meski tidak kuliah tatap muka, mahasiswa masih terbebani biaya kos yang harus tetap dibayar. Bahkan mahasiswa terkena biaya tambahan yakni kuota data internet untuk pembelajaran daring. Kondisi pandemi harusnya disikapi dengan penyesuaian kebijakan administrasi oleh penguasa. Karena prinsip administrasi itu haruslah mempermudah, bukan mempersulit. UKT tidak boleh diberlakukan kaku sebagaimana tak ada wabah.
Bahkan perusahaan swasta yang orientasinya untung saja melakukan penyesuaian terhadap produk mereka di masa pandemi. Termasuk harga jual. Apalagi pemerintah yang merupakan pengurus urusan rakyat.
Di sistem kapitalisme, semua hal terkait pendidikan serba berbayar mahal. Tidak ada yang murah, apalagi gratis. Hal itu karena negara lepas tangan dari urusan pendidikan. Negara hanya menyediakan regulasi dan membiarkan rakyat berjuang sendiri demi mengakses pendidikan. Jika pun ada subsidi, jumlahnya tidak signifikan jika dibandingkan besarnya jumlah pelajar dan mahasiswa.
Pendidikan menjadi privilese individu berduit. Bukan lagi hak dasar yang dipenuhi secara massal. Sistem kapitalisme membuat pendidikan menjadi mahal dan makin mahal. Ada uang, ada pendidikan. Tak ada uang, silakan bertahan dalam kebodohan. Pasca era Badan Hukum Pendidikan (BHP), pendidikan tinggi bahkan dikomersialisasi. Pendidikan makin tak terjangkau rakyat miskin. Padahal pendidikan adalah investasi untuk masa depan negara.
Berbeda jauh dengan sistem Islam pendidikan merupakan tanggung jawab negara, termasuk pendidikan tinggi. Karena merupakan kebutuhan dasar yang tidak mungkin dipenuhi sendiri oleh rakyat. Islam mewajibkan umatnya untuk menempuh pendidikan, yakni menuntut ilmu.
Rasulullah Saw. bersabda, “Jadilah engkau orang yang berilmu (pandai) atau orang yang belajar, atau orang yang mendengarkan ilmu atau yang mencintai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka.” (H.R Baihaqi)
Peradaban Islam menempatkan pendidikan sebagai suatu prioritas. Khilafah menyelenggarakan pendidikan secara gratis sejak jenjang dasar (ibtidaiyah) hingga tinggi (universitas). Dalam kehidupan normal (bukan pandemi) negara menyediakan sekolah/kampus, asrama, buku, alat tulis, perpustakaan, laboratorium, fasilitas kesehatan, bahkan baju ganti untuk para pelajar dan mahasiswa.
Negara memiliki fungsi sebagai pengurus dan penjaga umat bahkan akan memastikan agar sistem pendidikan ini berjalan sempurna, dengan turut menciptakan suasana kondusif melalui penerapan sistem-sistem hidup lainnya. Misalnya, menerapkan sistem ekonomi dan moneter Islam yang kuat dan menjamin kesejahteraan seluruh warga negara. Juga dukungan sistem politik Islam yang mandiri dan berdaulat bebas dari intervensi asing. Sistem sosial Islam yang menjaga kebersihan moral masyarakat dan menjamin ta’awun serta tradisi amar makruf nahi mungkar berjalan sebagaimana semestinya. Sistem sanksi Islam yang tegas dan memberi rasa aman bagi semua. Serta sistem-sistem pendukung lain yang menjamin arah pendidikan dan kultur belajar serta beramal demi kepentingan umat benar-benar terjaga dengan sempurna.
Dalam kondisi wabah, pendidikan diatur agar mendukung penyelesaian wabah. Sekolah berasrama menjadi tempat karantina bagi para pelajar. Kampus juga diarahkan untuk meneliti obat dan vaksin untuk penyakit yang mewabah.
Ayat, hadis, dan fikih terkait wabah juga dikaji di sekolah dan kampus, sehingga ilmu menjadi hidup dan bisa memunculkan penemuan baru. Pendidikan dalam khilafah tak hanya beres dalam urusan biaya pendidikan (UKT dan lain-lain), tapi juga menghasilkan solusi untuk wabah.
Wajar jika dari sistem pendidikan Islam yang didukung sistem-sistem Islam lainnya ini lahir sosok-sosok yang berkepribadian Islam dengan skill yang mumpuni. Yang berhasil membawa umat ini pada level kehidupan jauh di atas level umat-umat lainnya, sebagai khairu ummah dalam masa yang sangat panjang.
Salah satu bukti bagusnya pendidikan tinggi dalam khilafah adalah Universitas Al-Azhar yang mendapat pengakuan dari Napoleon Bonaparte. Dalam pengasingan di Pulau Saint Helena, Napoleon menuliskan sebuah catatan harian yang isinya mengungkapkan kekagumannya terhadap Universitas Al-Azhar saat tentaranya melakukan penyerangan ke Mesir.
Dalam catatan hariannya, ia menyebut Al-Azhar merupakan tandingan Universitas Sorbonne di Paris. Sorbonne merupakan universitas tertua di Prancis. Kemudian, di masa pemerintahan Ottoman, Al-Azhar tumbuh menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mandiri secara finansial dengan sumber pendanaan berasal dari dana wakaf.
Sungguh luar biasa, sudah tak diragukan ketika Islam sebagai ideologi diterapkan tentu akan melahirkan kemaslahatan. Karena Islam turun sebagai rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, mahasiswa jangan terjebak dengan solusi-solusi pragmatis yang ada, misal penurunan UKT. Karena permasalahan negeri ini tidak terletak hanya pada hal teknis, tapi paradigmatis dan sistematis. Sudah saatnya mahasiswa melakukan perjuangan ideologis, yang akan mengganti sistem kapitalis-demokrasi dengan sistem Islam yang akan menerapkan sistem pendidikan tinggi, gratis dan berkualitas.