oleh

IJTI Papua Barat Minta Presiden Batalkan Remisi Pembunuh Wartawan

SUARA MERDEKA – Ikatan Jurnalis TV Indonesia (IJTI Papua Barat) mendesak Presiden Joko Widodo mencabut pemberian remisi terhadap I Nyoman Susrama selaku otak pelaku pembunuh AA Gde Bagus Narendra Prabangsa yang merupakan wartawan Radar Bali beberapa tahun silam

Ketua IJTI Papua Barat, Chanry Andrew Suripatty mengatakan jika Susrama diadili pada 9 tahun lalu, dimana dia telah membunuh Prabangsa yang telah memberitakan kasus dugaan korupsi dan penyelewengan yang melibatkan nama Susrama dua bulan sebelum pembunuhan.

Dari hasil penyelidikan polisi, dan pemeriksaan saksi dan barang bukti menunjukkan bahwa Susrama merupakan otak dari pembunuhan kepada Prabangsa.

“Anak buah dari Susrama menghabisi nyawa Prabangsa, lantas mayatnya dibuang ke laut. Lima hari kemudian, jasad Prabangsa ditemukan mengapung oleh awak kapal yang lewat di Teluk Bungsil, Bali,” terang Ketua IJTI Papua Barat pada awak media, di Waisai, Kamis (24/1/2019).

Andrew menjelaskan jika kasus yang dialami oleh Prabangsa merupakan satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia.

Tidak banyak kasus pembunuhan terhadap jurnalis yang telah berhasil diusut, sementara itu, terdapat delapan kasus lainnya yang belum tersentuh hukum.

Ke delapan kasus tersebut diantaranya Pembunuhan terhadap Fuad M Syarifuddin wartawan Bernas Yogya (1996), Herliyanto wartawan lepas Harian Radar Surabaya (2006), kematian Ardiansyah Martrais wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar Maluku Barat Daya (2010).

Baca Juga :  Saksi Ahli Tak Hadir, Sidang Yudi Negara Rakyat Nusantara Ditunda Lagi

“Kasus Prabangsa ini diproses hukum dan pelakunya divonis penjara seumur hidup. Delapan orang lain yang terlibat juga dihukum 5-20 tahun. Namun kini Presiden Joko Widodo melalui Kepres memberikan keringanan hukuman kepada Susrama. Oleh karenanya, kami menyatakan sikap,” terang Ketua IJTI Papua Barat kepada awak media, Rabu (23/1/2019).

Setidaknya terdapat beberapa sikap yang dinyatakan oleh IJTI Papua Barat.

Sikap tersebut antara lain, mengecam kebijakan Presiden Joko Widodo yang memberikan remisi kepada pelaku pembunuhan keji terhadap jurnalis.

Dimana sebelumnya Susrama sudah dihukum ringan karena jaksa sebenarnya menuntutnya dengan hukuman mati, tapi hakim mengganjarnya dengan hukuman seumur hidup.

Kedua, kebijakan pengurangan hukuman oleh presiden dinilai melukai keadilan, bukan hanya kepada keluarga korban namun juga jurnalis di Indonesia.

Ketiga mendesak Presiden mencabut Kepres pemberian remisi kepada Susrama, dimana kebijakan Presiden dinilai tidak arif.

“Apabila Kepres ini tidak dicabut 7×24 jam, maka kami dengan tegas akan menobatkan Presiden Joko Widodo sebagai musuh kebebasan pers dan pemberantasan korupsi,” ujar Chanry yang juga merupakan Wakabid Advoakasi IJTI Pusat.

Baca Juga :  Mojhi Amahino Lawa Apresiasi Polri dan TNI, Pemilu Aman dan Damai

Menurut Chanry yang juga jurnalis senior pada salah satu media Televisi swasta Nasional ini menerangkan jika pemberian remisi yang dilakukan oleh Presiden merupakan langkah yang buruk.

Menurutnya, alasan kemanusiaan dan perubahan perilaku yang lebih baik jangan sampai membuat Presiden tergesa-gesa dalam memberikan remisi.

“Jangan hanya dengan alasan kemanusiaan dan adanya perubahan perilaku yang lebih baik. Dan penjara akan penuh kalau tidak ada remisi. Kemudian membuat Presiden grusa-grusu membuat remisi. Saya pikir ini harus dipertanyakan, kenapa presiden memberikan remisi. Padahal kasus-kasus jurnalis banyak yang belum bisa diusut tuntas,” terang Ketua IJTI Papua Barat.

Menurut Chanry pemberian remisi sangat mengancam kemerdekaan pers. Karena tidak menutup kemungkinan jika kasus-kasus terhadap jurnalis yang lain akan mengalami impunitas.

Selain kepada jurnalis, menurut Chanry, banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak dipedulikan oleh Presiden. Seperti halnya kasus yang terjadi pada Novel.

“Kasus Novel, Pesiden juga tidak ada itikad menuntaskannya. Bahkan selalu beralih dikembalikan kepada kepolisian, dan seorang presiden tidak akan ikut campur. Tapi ketika kasus yang telah divonis oleh Hakim, dengan sekonyong-konyong Presiden mengeluarkan Kerpres Nomor 29 Tahun 2018. Ini saya pikir langkah Presiden yang tidak peduli dengan keadilan dan suara korban,” jelasnya. (OSB)

Loading...