KEPADA RAJA JOGJA SEKALIGUS GUBERNUR D. I. YOGYAKARTA, SULTAN HAMENGKU BUWONO X
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Pertama-tama, saya lebih memuliakan Anda dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Gelar ini lekat dengan silsilah Nasab, menyambung leluhur, histori Jogja yang lekat dengan peradaban Islam dan masa depan kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta.
Sementara itu, saya menghindari menggunakan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama. Gelar ini, punya makna implisit memutus silsilah Nasab, menjauhkan leluhur, menghilangkan histori Jogja yang lekat dengan peradaban Islam dan menjadi problem suksesi bagi masa depan kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta.
Jadi, dalam kutipan artikel ini jika saya menyebut ‘Ngarso Dalem’ maksudnya adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Selanjutnya, dalam tulisan ini saya ingin mengajukan kritik kepada Ngarsa Dalem yang juga menjabat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terkait seruan kepada seluruh elemen masyarakat di jogjakarta untuk mengumandangkan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ di ruang publik setiap hari.
Melalui Surat Edaran (SE) Gubernur DIY Nomor 29/SE/V/2021 tentang Memperdengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Ngarso Dalem seperti hendak mengajak segenap rakyat untuk mengkultuskan lagu, padahal persoalan bangsa yang terjadi tidak akan selesai dengan menyanyi.
Ngarso Dalem, saya sebenarnya menunggu sikap kritis sebagai seorang Raja yang mewakili perasaan rakyatnya, terhadap berbagai problem yang mendera bangsa ini. Sebab, kezaliman tidak akan sirna dengan didiamkan, apalagi dihadapi dengan lagu dan nyanyian.
Jika soal yang terjadi adalah hilangnya sikap nasionalisme, tentu itu terjadi pada para penguasa yang korupsi, terutama korupsi dana bansos yang alokasinya bagi kawulo alit, untuk wong cilik. Ngarso dalem, lebih bermakna mengkritisi hal ini ketimbang membuat seruan untuk menyanyi pada waktu tertentu.
Penyakit bangsa ini ada pada elit, pada para penguasa, bukan pada rakyat. Para penguasa lah yang telah menjadikan Republik ini menjadi tidak aji, tidak memiliki nilai di mata bangsa-bangsa di dunia.
Belum lagi, sejumlah kemelut kekuasaan, perebutan posisi strategis di lingkaran elit, telah menyebabkan penguasa sibuk dengan kekuasaannya, bukan sibuk melayani rakyat. Baru dipilih melalui Pemilu dan Pilpres 2019, sekarang sudah sibuk untuk persiapan Pemilu dan Pilpres 2024. Kapan penguasa memikirkan nasib rakyatnya ?
Sejumlah masalah besar luput dari perhatian dan kritik Ngarso Dalem, sebut saja Korupsi E KTP, Korupsi Jiwasraya, Korupsi Asabri, Korupsi BUMN-BUMN, utang Republik yang lebih dari Rp. 6000 Triliun, pembelahan rakyat melalui narasi Cebong-Kampret, semua itu lebih penting dikritisi ketimbang mengeluarkan surat edaran untuk nyanyi.
Ngarso dalem, harus memberikan contoh kepada Kawulo Alit bagaimana sikap sempurna meluruskan kekuasaan yang zalim, bukan sekedar mengajak sikap sempurna untuk mendengarkan lagu. Semua ujaran klise tentang Nasionalisme menjadi tidak bermakna dihadapan rakyat, manakala kezaliman terus dilegitimasi dengan sikap diam.
Meskipun tak harus frontal seperti Cak Nun (MH Ainun Najib), Ngarso Dalem harus menunjukkan keberpihakan kepada Kawulo alit, bukan mendiamkan kezaliman. Seruan menyanyi, tidak menolong bangsa ini kecuali malah meninabobokan rakyat. Rakyat jadi tersihir oleh lagu, lupa pada masalah sesungguhnya yang mendera bangsa ini. [].