JAKI ajukan Pihak Intervensi Untuk Kuatkan Putusan PN Jakpus Yang Berimplikasi Pada Penundaan Pemilu 2024 Dalam Sidang Banding
Oleh : Yudi Syamhudi Suyuti
Koordinator Eksekutif JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional)
Pada Hari Kamis, tanggal 16 Maret 2023, JAKI Kemanusiaan Inisiatif atau yang biasa disebut JAKI, mengajukan diri sebagai Pihak Intervensi yang berkedudukan hukum (legal standing) sebagai Sahabat Keadilan. Posisi ini dalam istilah tindakan hukum internasionalnya disebut amicus curiae (friends of court).
Di Indonesia Pihak Intervensi ini diatur dalam Pasal 279 RV (Regelement op de rechtsvordering) yang berbunyi:
“Barangsiapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain, dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan.”
Bentuk materi hukum yang kami sampaikan adalah Naskah Legal Opini. Dimana Naskah Legal Opini ini sebagai bahan pertimbangan dalam hal menguatkan Putusan Pengadilan yang menghukum KPU (Komisi Pemilihan Umum) atas dikabulkannya gugatan Partai Prima, Untuk Tidak Melaksanakan Sisa Tahapan Pemilahan Umum Dari Awal Sampai Lebih Kurang 2 Tahun 4 Bulan 7 Hari.
Hal ini tentu berimplikasi pada tertundanya proses Pemilu. Oleh karena itu, secara insiatif sebagai bentuk partisipasi publik melalui JAKI sebagai organisasi masyarakat sipil, bahwa dalam pandangan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah Putusan Keadilan yang konstitusional.
Karena permasalahan hukum ini adalah Perkara Perdata Umum berbentuk Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, yang gugatannya telah memenuhi dua syarat. Yaitu syarat formil dan materil.
Sehingga persidangan yang dilakukan adalah persidangan perdata umum, bukan persidangan pemilu. Meskipun dilatar belakangi persoalan pemilu, tapi substansi atau pokok perkaranya bersifat umum.
Hal ini karena KPU telah terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagai Pelaku yang melakukan Perbuatan Melawan Hukum,(PMH) sehingga sebagai Lembaga Negara, Penyelenggara Pemilu yang sesuai konstitusi dan aturan perundang-undangan dibawahnya menuntut untuk KPU dapat melakuan perbuatan yang sesuai aturan konstitusi dan undang-undang. Akan tetapi KPU justru telah terbukti di Pengadilan Negeri melakukan pelanggaran hukum. Dan pada akhirnya KPU menjadi Pihak Terhukum.
JAKI hanya melakukan intervensi secara khusus terhadap putusan yang berimplikasi pada terjadinya penundaan pemilu.
JAKI menekankan bahwa putusan Pengadilan Negeri adalah Putusan yang Konstitusional, hal ini karena, KPU sendiri yang melakukan tindakan perbuatan hukum yang tidak sesuai konstitusi dan undang-undang.
Oleh karena perbuatan melanggar hukumnya ini. KPU justru berpotensi melakukan tindakan pelanggaran hukum yang lebih besar dan oleh karena itu harus diperbaiki sesuai waktu yang diputuskan Pengadilan Negeri.
Potensi pelanggaran hukum KPU yang lebih besar, tentu bukan saja berakibat hanya ke Penggugat, yaitu PRIMA. Melainkan dapat berakibat kerugian untuk Rakyat Banyak. Karena dengan kewenangannya. KPU dapat melakukan tindak impunitas hukum dan memberikan ruang sebagai instrumen hegemoni kekuasaan. Tindakan ini justru berdampak pada terjadinya demokrasi yang defisit.
Tentang Pasal 22 E yang menyatakan bahwa Pemilu dilakukan selama 5 tahun sekali, dalam amar putusannya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sama sekali tidak melakukan putusan yang melampaui kewenangan hukumnya. Dimana tidak ada satupun kata atau kalimat dalam amar putusan Pengadilan Negeri yang membatalkan bunyi konstitusi, yaitu merubah Pemilu tidak diadakan setiap lima tahun.
Namun, atas hukuman yang dijatuhkan pada KPU, terjadi jeda waktu sebagai hukuman kepada KPU. Dan dalam pandangan hukum ini justru berdampak baik untuk Rakyat Warga dan Negara. Sehingga baik secara prosedural dan substansial, Pemilu akan dilakukan secara adil dan sepenuhnya memenangkan Kedaulatan Rakyat.
Putusan ini sudah sesuai hukum dan konstitusional. Karena jika pandangan hukum mengacu pada konstitusi yang rigid (rigid constitution) ketika pasal-pasal dalam konstitusi atas suatu alasan hukum tidak dapat dijalankan, maka justru landasan yang dipakai adalah induk dari konstitusinya, yaitu Pembukaan UUD 45 sebagai induknya.
Selain itu, JAKI juga memberikan pandangan hukum ke Majelis Hakim Tinggi untuk melakukan tindakan hukum aktivisme yudisial (judicial activism) untuk menemukan hukum-hukum baru yang kewenangannya ada di Mahkamah Agung, dengan memohon Keputusan Hukum diatasnya yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sesuai fungsinya, yaitu Fungsi Mengatur. Hal ini, agar Mahkamah Agung mengisi kekosongan hukum dan peradilan yang bisa berdampak pada terjadinya kekosongan kekuasaaan, ketika tindakan peradilan (judicial action) dilakukan dalam hal tindakan eksekusinya.
Bisa saja Mahkamah Agung memberikan alas hukum untuk dibuatkan aturan untuk melaksanakan Dekrit Presiden dalam hal, agar tidak terjadinya kekosongan kekuasaan yang bersifat sementara. Sampai dilakukan perbaikan dalam hal pelaksanaan Pemilu yang sesuai konstitusi, yaitu diadakan 5 tahun sekali. Sekaligus dilakukannya perbaikan-perbaikan seluruh sistem Pemilu, terkait undang-undangnya, atau jika diperlukan dilakukan perbaikan konstitusi demi terpenuhinya rasa keadilan Rakyat sesuai amanat Pembukaan UUD 45.