SUARAMERDEKA.ID – LBH PP GPI menduga dana penanggulangan covid-19 yang fantastis memunculkan oknum-oknum yang mencoba untuk mengcoronakan rakyat. Dugaan ini muncul pasca disahkannya UU Nomor 2 Tahun 2020, terungkap sejumlah indikasi yang mengarah pada adanya dugaan skandal mega korupsi dana penanggulangan Covid-19 sebesar 405,1 triliun.
Dalam konferensi pers yang diadakan di Menteng Raya 58 Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda Islam (GPI) Jakarta Raya Rahmat Himran selaku pembawa acara menyatakan peran pers sangat dibutuhkan dalam menyampaikan informasi ke masyarakat. Karenanya, ia berharap pers menyajikan memberikan informasi secara tepat dan berimbang dalam hal penanganan covid-19. Pandemi corona ini telah membuat rakyat menjadi sengsara, pengangguran menjadi bertambah, dan menyita perhatian seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, menurutnnya, corona telah menjadi isu sentral dunia saat ini.
“Merebaknya Covid-19 di Indonesia, secara langsung telah merusak kehangatan kehidupan berbangsa. Bahkan berdampak terhadap rapuhnya sistem pertahanan ekonomi Indonesia. Masyarakat dipasung dalam ketakutan dan dirampas kebebasannya dalam segala sendi kehidupan. Sehingga menimbulkan kesengsaraan yang berkepanjangan. Sementara, pemerintah diduga mencoba untuk mencoronakan semua orang,” kata Rahmat Himran.
Sementara itu, Direktur LBH PP GPI Khoirul Amin menilai, selama ini, pengelolaan dana penanggulangan Covid-19 sebesar 405,1 Triliun terkesan kurang pengawasan. Ia juga menilai pemerintah kurang transaparan dalam mengelola dana yang jumlahnya fantastis tersebut.
Dugaan ini mulai terjadi pasca lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2020. UU tersebut tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemic Covid 19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan menjadi Undang-Undang.
“Akhirnya pemerintah membuat kebijakan untuk memasung setiap kebebasan masyarakat untuk beraktivitas guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga melarang setiap umat beragama menunaikan ibadah ditempat ibadahnya. Rakyat dibuat ketakutan dengan data yang kebenarannya masih diragukan. Angka-angka kasus ODP maupun PDP serta korban meninggal yang terus melonjak naik. Diduga semua itu hanya akal-akalan belaka. Agar rakyat tidak mengawasi dana penanggulangan Covid-19 yang jumlahnya sangat fantastis. Sebagai ladang basah korupsi berjamaah,” tegas Amin.
Ia menegaskan, dugaan skandal mega korupsi pengunaan dana penanganan covid-19 ini muncul karena hilangnya transparansi dan akuntabilitas, merujuk pada isi Undang-Undang dalam pengunaan dana rakyat Triliunan Rupiah oleh pemerintah. Karenanya, LBH PP GPI menganggap pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi, penuh dengan teka-teki. Amin melihat, penanganan dan penggunaan dana covid-19 terkesan diistimewakan, hingga terbit UU yang secara khusus menyikapi pandemi corona.
“Namun Allah SWT berkehendak lain. Pelan-pelan dibukalah seluruh tabir dibalik keistimewaan tersebu.,Ddengan memperlihatkan berbagai peristiwa memalukan dalam penanganan pasien di beberapa daerah. Seperti yang terjadi di Manado, Sulawesi Selatan, Surabaya, Bekasi dan Cianjur. Serta sederet kasus di beberapa daerah lainnya,” kata Amin.
Wakil Direktur LBH PP GPI Dedy Umasugi menjelaskan, pada beberapa kejadian, jika ada masyarakat yanjg meninggal, keluarga diminta dan dipaksa untuk mengakui dan merelakan bahwa keluarganya meninggal karena Covid-19. Ia mengaku, ada keluarga yang kemudian diberikan uang sebesar 50 juta untuk mau menerima keluarganya dikubur secara Covid-19.
“Hal ini bukanlah tanpa alasan ataupun kebetulan. Tetapi kuat dugaan, karena besarnya dana per pasien Covid-19 yang mencapai 105 juta jika tanpa kombinasi penyakit. Dan 215 juta apabila terindikasi terdapat penyakit lainnya. Sementara untuk biaya pemakaman sejumlah 3.360.000,” kata Dedy.
Menurutnya, nilai tersebut sangat besar dibandingkan dengan penyakit lain yang lebih mematikan. Seperti demam berdarah dan TBC, yang indeks kematiannya jauh lebih besar dibandingkan Covid-19.
“Kasus yang terjadi ini haruslah menjadi perhatian serius dari pihak penegak hukum. Krena kami menduga kuat, terdapat permainan medis untuk mengcoronakan pasien di rumah sakit. Guna meraup keuntungan ditengah kondisi bangsa yang semakin terpuruk,” tegas Dedy.
Wakil Direktur LBH PP GPI ini melanjutkan, dugaan skandal mega korupsi juga terlihat pada pengalokasian dana Alat Pelindung Diri (APD) yang diimpor pemerintah dari China. Hingga saat ini tidak ada transparansi yang jelas berapa nilainya dari jumlah besaran 75 triliun dari total besaran dana covid-19 yang telah terbagi-bagi. Ia menjelaskan, pada kenyataannya, kendati telah teralokasi namun pihak rumah sakit sampai saat ini menyatakan masih membeli dan mengeluhkan karena kesusahan dalam mencari dan mendapatkan APD.
“Bahkan pihak rumah sakit lebih banyak mendapatkan bantuan APD dari donator non pemerintah untuk penanganan pasien covid-19. Anehnya lagi, APD yang telah diimport oleh pemerintah dari China tersebut, tidak dibagi-bagikan kepada masyarakat ataupun rumah sakit yang seharusnya mendapatkan. Akan tetapi berdasarkan pengakuan dari beberapa rumah sakit, mereka harus membeli APD tersebut. Lantas kemana larinya uang negara yang telah dianggarkan sebesar 75 triliun untuk pengadaan APD tersebut?” ungkap Dedy.
Lanjutnya, dugaan adanya skandal konspirasi juga bisa dilihat dalam peningkatan jumlah positif covid 19 yang tidak rasional. Dedy mengungkapkan, hal ini terlihat pada rasio jumlah daya tampung 132 rumah sakit rujukan covid-19.
Menurutnya, dalam berbagai kesempatan, pemerintah melalui Juru Bicara Covid-19 selalu menyampaikan bahwa terjadi peningkatan pasien positif covid-19. Wakil Direktur LBH PP GPI ini mengingatkan, pada tanggal 10 Juni 2020, Achmad Yurianto menyebutkan jumlah positif 34.361 orang. Dedy menjelaskan, jumlah tersebut jika dibagi dengan penyebarannya di setiap rumah sakit rujukan, maka setiap rumah sakit rujukan menampung sekitar 261 Orang pasien positif covid-19.
“Hal ini sangatlah tidak dapat dicerna dan diterima oleh akal sehat. Sebab tidak ada rumah sakit di daerah yang dapat menampung positif covid sebanyak itu. Terkecuali wisma atlet yang disulap menjadi rumah sakit rujukan. Begitupun sebaliknya, apabila Positif covid 19 tidak dirawat pada rumah sakit, maka pemerintah telah dengan sengaja ikut menyebarkan covid 19 ditengah-tengah masyarakat,” tegasnya.
Dedy menambahkan, dalam presentasi angka-angka tersebut, pemerintah tidak pernah menyampaikan jumlah persebaran pasien positf covid 19 ataupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dalam setiap rumah sakit rujukan. Pemerintah juga tidak disebut tidak mengurangi jumlah pasien yang telah sembuh dan meninggal, dalam bilangan jumlah Positif dan PDP.
“Kondisi-kondisi yang terjadi ini, patut diduga ada upaya pemerintah untuk mengalihkan covid-19 menjadi proyek. Sekaligus upaya untuk menakut-nakuti masyarakat,” kata Dedy.
Ia juga mempertanyakan penggunaan dan pengalokasian dana stimulus pada Kementerian Kesehatan dalam menangani covid-19. Dedy menuturkan, pada tahap pertama, Kemenkes mendapat dana sebesar 10,3 triliun. Sedangkan da tahap kedua sebesar 22,5 triliun.
“Sampai saat ini tidak jelas peruntukannya. Dan tidak disampaikan pada publik sasaran pengunaan dana tersebut. Oleh sebab itu, kami dari Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Pemuda Islam menduga kuat ada teka-teki besar serta ada ditutup-tutupi dalam kasus Covid-19 dan anggaran dananya yang mencapai 405,1 triliun tersebut,” ucap Wakil Direktur LBH PP GPI.
Pada konferensi pers tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjend) Pimpinan Pusat (PP) GPI Diko Nugraha meminta KPK dan Polri serta Kejaksaan, untuk segera melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap dugaan skandal korupsi penanganan covid-19.
“Segera tangkap, seret dan adili serta hukum mati siapapun yang mengambil keuntungan dalam persoalan ini. Baik itu Presiden, Menteri, Kepala Daerah ataupun yang lain. DPR RI harus segera membuat pansus terhadap dugaan skandal mega korupsi covid-19 ini, jika terbukti Presiden terlibat. Maka MPR RI secara Konstitusional harus segera menggelar Sidang Istimewa untuk menurunkan Presiden secara Konstitusional,” kata Diko Nugraha. (OSY)