SUARAMERDEKA.ID – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai gugatan Anadarko Petroleum Corporation senilai Rp 39,5 triliun kepada pemerintah terjadi karena Pertamina lalai dalam menganalisis data kebutuhan gas dalam negeri. Ia pun meminta perusahaan plat merah ini untuk menjelaskan secara terbuka ke publik terkait masalah yang terjadi.
“Nilai gugatan perusahaan Amerika itu tidak main-main. Karena Pertamina harus membayar kerugian sebesar Rp 39,5 triliun. Akibat pembatalan perjanjian impor LNG 1 juta ton (MTPA-red) pertahun dalam jangka waktu 20 tahun dari Mozambik pada Februari 2019,” kata Mulyanto di Jakarta, Jumat (8/1/2021).
Ia pun meminta Pemerintah agar lebih akurat dalam menyusun perencanaan pertumbuhan kebutuhan energi. Jangan sampai terjadi ketidaksesuaian atau miss match seperti kasus listrik PLN yang over supply mendekati 50%. Saat produksi listrik berlebih PLN malah membangun pembangkit dengan utang yang mencapai Rp 500 triliun.
“Terkait komoditas gas ini juga serupa. Di saat produksi LNG kita surplus, sehingga memungkinkan ekspor, Pertamina justru mengimpor gas ini dalam jumlah besar. Logikanya tidak pas.
Padahal diketahui, bahwa transaksi berjalan perdagangan migas kita terus tekor setiap tahun. Semestinya yang dilakukan bukanlah impor gas, tetapi ekspor,” papar Mulyanto.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini minta Pemerintah menegur Pertamina yang ingin mengambil keuntungan dengan menabrak logika perdagangan komoditas energi selama ini.
“Secara umum strategi dasar kita adalah menggenjot lifting migas, sehingga kita dapat semakin baik memenuhi kebutuhan migas domestik dan terus mengurangi impor migas, yang dengan itu defisit transaksi berjalan migas dapat direduksi.
Syukur-syukur kalau bisa surplus. Bukan malah memperbesar defisit transaksi berjalan melalui impor LNG,” tegas Mulyanto.
Mulyanto menilai Pertamina lalai menganalisis data kebutuhan gas dalam negeri. Akibatnya perusahaan plat merah itu harus menghadapi gugatan dengan nilai yang tidak sedikit.
“Seperti diketahui, sebelum datangnya pandemi Covid-19 sudah muncul kelesuan dalam permintaan energi untuk industri, apalagi setelah terjadi pandemi, yang sampai hari ini belum berakhir, permintaan energi di sektor industri semakin melemah,” tandas Mulyanto. (OSY)