oleh

May Day, Antara Wabah Corona dan Gelombang PHK. Opini Fitri Suryani

May Day, Antara Wabah Corona dan Gelombang PHK. Oleh: Fitri Suryani, S.Pd, Guru dan Penulis asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Tanggal 1 Mei yang biasa diperingati sebagai Hari Buruh, tentu menyisakan banyak persoalan buruh yang hingga kini belum mampu diselesaikan dengan tuntas.

Hari Buruh itu pun lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja (Wikipedia.org).

Pada Hari Buruh juga biasanya banyak dari buruh yang turun ke jalan untuk menyuarakan nasib mereka. Namun tahun ini berbeda, jalanan benar-benar sepi. Para buruh mengurungkan niat mereka untuk demo di jalan. Salah satu alasan terkuat yang berhasil menggagalkan aksi demo mereka adalah virus Corona. Akan tetapi, bukan kealpaan demo yang jadi perkara. Melainkan semakin banyak nasib buruh yang menjadi korban karena Corona.

Sebagaimana diketahui, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan hingga 19 April 2020 lalu setidaknya ada 1,94 juta pekerja dari 114.340 perusahaan yang sudah dirumahkan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) gara-gara virus Corona.

Ditambah lagi, banyak di antara para pekerja tersebut yang sudah tidak digaji lagi atau dipotong gaji hingga setengahnya serta THR ditangguhkan sampai batas waktu yang tak pasti. Sedangkan, bagi yang di-PHK tidak mendapat pesangon.

Oleh karenanya, para serikat buruh, meski tak menggelar aksi demo, mereka sepakat untuk tetap menggelar kampanye lewat media sosial. Tujuannya ialah untuk menuntut hak-hak buruh yang ‘diabaikan’ selama pandemi. Poin utama yang ingin mereka suarakan ialah meminta seluruh pelaku usaha untuk tetap membayar pesangon kepada karyawannya yang di-PHK. Demikian juga menggaji penuh dan membayar THR kepada karyawan yang dirumahkan.

Tak hanya itu, para buruh juga akan tetap meminta pemerintah untuk menarik kembali draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sudah sampai ke DPR RI. Mereka ingin draft itu ditarik dan dibahas ulang dengan melibatkan unsur serikat buruh dalam tim perumus RUU tersebut (Detik.com, 01/05/2020).

Banyaknya buruh yang dirumahkan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dipengaruihi adanya imbas dari wabah Covid-19 tentu menyisahakan cerita duka bagi sebagian besar para buruh. Bagaimana tidak, sebelum adanya wabah tersebut saja, nasib mereka sudah cukup keruh, apalagi ditambah dengan adanya dampak dari kasus corona.

Baca Juga :  Mafia Peradilan di Jakarta Timur (2): Ada Dor-Doran di Ruang Sidang.

Persoalan tersebut jelas akan menambah daftar panjang jumlah pengangguran di negeri ini. Begitu juga dengan penduduk miskin yang tidak menutup kemungkinan akan makin bertambah jumlahnya dari data sebelumnya yang mana jumlah penduduk miskin pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang (Bps.go.id, 15/01/2020). Miris!

Dari banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja, timbulah solusi yang ditawarkan yakni adanya Kartu Pra Kerja bagi mereka yang menjadi korban PHK. Namun sayangnya solusi tersebut belum dapat menghapus kegundahan para buruh korban PHK. Sebagiamana Wakil ketua umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Jumisih tegas mengatakan Kartu Pra Kerja tidak dapat menjadi solusi dari maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang merupakan imbas dari pandemik COVID-19 ini. Sebab, usai mengikuti program yang ditawarkan di dalam kartu pra kerja tak menjamin mereka bisa kembali mendapatkan pekerjaan (Idntimes.com, 01/05/2020).

Tak cukup sampai di situ, kesedihan yang dialami para buruh pun bisa bertambah, jika benar negeri ini akan kedatangan 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China yang rencananya masuk mulai pekan ini secara bertahap. Gubernur Sultra Ali Mazi juga membenarkan rencana kedatangan ratusan TKA yang akan bekerja di salah satu pabrik smelter yang ada di Sultra. Diakuinya, pemerintah pusat telah menyetujui kedatangan TKA asal China di Sultra (Kompas.com, 30/04/2020).

Hal tersebut tentu menjadi tanda tanya besar, mengapa rencana tersebut ada di tengah pandemi saat ini. Terlebih TKA tersebut berasal dari negera yang banyak mengalami kasus Covid-19. Kebijakan tersebut jelas akan menambah luka para korban PHK. Sebab, saat pekerja dalam negeri banyak yang dirumahkan atau mengalami PHK, tapi mengapa justru ada rencana memasukkan TKA ke dalam negeri?

Dalam peringatan hari buruh ini pun, masalah kesejahteraan buruh yang sering kali menjadi sorotan, seperti persoalan upah yang sering kali mereka suarakan saat hari buruh seakan tak pernah terlewatkan. Padahal tentang upah buruh telah diatur dalam pasal 88 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Lalu bagaimana dengan upah buruh saat ini?

Lebih dari itu, bahwasanya problematika buruh yang ada saat ini merupakan konsekuensi dari penerapan ekonomi politik Kapitalisme. Dalam hal ini buruh dan upah merupakan salah satu faktor penyumbang biaya produksi. Sehingga para pengusaha akan berusaha meminimalisir upah buruh dan tidak menutup kemungkinan memilih untuk menggunakan sistem outsourching untuk menghindari cost lebih. Belum lagi mekanisme upah yang ditentukan sepihak dengan menggunakan standar hidup minimal.

Baca Juga :  Buruh Pelabuhan Raha Keluhkan Wadah Asosiasi dan Koperasi

Berbeda dengan Islam yang memberikan apresiasi yang tinggi terhadap mereka yang bekerja keras dalam rangka memenuhi kewajiban untuk menafkahi keluarga, terutama bagi seorang suami. Karena bekerja merupakan salah satu kewajiban yang mulia bagi manusia supaya dapat hidup layak dan terhormat. Sebagaimanan Rasulullah saw. pernah menjabat tangan seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya dan berkata: “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari).

Di samping itu, masalah buruh berkaitan dengan kontrak kerja, maka Islam telah menggariskan hukum-hukum kontrak kerja yang jelas. Menurut An-Nabhani (2012), dalam aqad kontrak kerja harus jelas jenis pekerjaan, masa/jangka waktu kerja, upah, dan tenaga (usaha) yang harus dicurahkan.

Lebih lanjut menurut An-Nabhani, besaran upah ditentukan berdasarkan kesepakatan dua pihak, buruh dan majikan pada saat akad berlangsung atau dapat juga ditentukan oleh para ahli/pakar. Upah dihitung berdasarkan besar kecilnya jasa (manfaat) yang diberikan oleh buruh, bukan pada kebutuhan hidup minimum.

Apalagi saat masa pandemi ini, banyak para buruh yang mengalami PHK. Ini jelas akan berdampak pada terkendalanya masalah pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Terlebih mereka yang berada pada kelas menengah ke bawah yang lebih rentan mengalami kekurangan kebutuhan pokok.

Karena itu, untuk menyelesaikan atau meminimalkan hal itu, dibutuhkan peran dari penguasa untuk mengantisipasi atau menaggulangi masalah yang timbul dari adanya kasus Covid-19 yang ada saat ini. Kebijakan tersebut pun diharapkan mampu meringankan beban masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka, tanpa ada syarat yang berbeli-belit. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Dengan demikian, permasalahan yang kerap kali menimpa para buruh saat ini sulit teratasi, jika pihak pengusaha belum mampu memberi solusi yang tuntas terhadap persoalan tersebut. Terlebih aturan yang diberlakukan masih jauh dari apa yang telah disyariatkan oleh-Nya. Karena itu, masalah tersebut hanya bisa teratasi dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam dan berbagai aturan lainnya yang mendukung. Karena sesungguhnya yang lebih tahu mana yang terbaik untuk manusia, jelas yang bersumber dari pencipta manusia itu sendiri. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Loading...