oleh

Genderuwo, Asu dan Sontoloyo (Bahasa dan Politik)

Genderuwo, Asu dan Sontoloyo (Bahasa dan Politik), catatan kecil pojok warung kopi ndeso. Oleh: Malika Dwi Ana. Pengamat Sosial Politik, Penggiat Institute Study Agama dan Civil Society.

Politik praktis memang bukanlah apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat (Pepe Escobar, Asia Times, 27/9. 2007). Jika Obama bilang, “thanks for the bakso, the nasi goreng, emping, the krupuk, semuanya enak!” Maka yang tersirat ialah, terimakasih untuk emas-emas dari Freeport, minyak-minyak dari Unocal dan Exxon Mobil, gas dan energi di Caltex danlain-lain, semuanya enak! Enak tenaaaaan. Jare wong Suroboyo, Mbokne Ancuk!

Lalu, di tahun politik ini telah viral istilah “genderuwo, asu,” dan “sontoloyo” yang terlontar dari mulut pejabat negara. Rupanya fenomena dunia lain, perdemitan, dan perpisuhan ikut dimasukkan juga kedalam wacana pergunjingan politik nasional.

Sebenarnya bukan salah genderuwo (gandarwa) sih, atau salah demitnya. Demit sebenarnya malah lebih jujur ketimbang manusia. Karena bagaimanapun, mereka hidup bukan untuk bersaing dengan manusia, semua ada alamnya sendiri, ada dimensinya sendiri. Hanya diksi genderuwo digunakan untuk menyebut sesuatu yang buruk dan culas dalam perpolitikan nasional.

Kalau pisuhan ala Jawa Sontoloyo dan asu sih biasanya untuk mengenapi kalimat tanda kekesalan, atau sebutlah semprul, bahkan jiancuk. Tidak ada yang jahat dengan kata-kata diatas, jika diucapkan oleh preman Bungurasih atau orang biasa seperti saya. Tetapi, jika kata-kata diatas terlontar dari mulut pejabat, akan beda urusannya. Apalagi dijaman medsos seperti sekarang, langsung gegap gempita memviral.

Soalnya yang membedakan anda dengan seorang preman, diantaranya adalah soal diksi. Pemilihan kata yang diungkapkan. Bagi seorang pemimpin terutama, maka ungkapan setiap kata, harus diyakini akan menjadi pedoman bagi rakyat yang dipimpinnya. Menjadi penenang dan suri tauladan atau bahkan bisa jadi memicu konflik dan adu domba. Sabda Pandhita Ratu.

Baca Juga :  Bupati Pegunungan Arfak Tagih Janji Kementerian PUPR Soal Infrastruktur

Simbah dulu bilang, “Ajining diri gumantung ono ing lathi. Ajining Rogo, gumantung ono ing busono.” Dua hal tersebut susah ditemukan pada figur kepemimpinan petinggi-petinggi negeri ini, dipimpin oleh presidennya. Jika pernyataan dikeluarkan oleh orang biasa, mungkin efeknya tidak sebesar ini.

Karakteristik pemimpin mestinya mengenal semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberikan contoh tauladan yang baik). Ing Madya Mangun Karsa (di tengah menyemangati dengan support). Tut Wuri Handayani (di belakang dia mengampu, menjadi pamomong dan mensuport doa).

Okey, lepas dari pemahaman di atas, berkaitan dengan paragraf pertama bahwa dalam politik itu apa yang tersurat sangat berbeda dengan apa yang tersirat, seperti kata Pepe Escobar. Maka pemunculan diksi Sontoloyo, Asu dan Genderuwo bisa juga dimaknai untuk mengistilahkan politik yang culas. Yang kurang bermartabat atau bernurani kerakyatan.

Salah satu contohnya adalah penjualan infrastruktur dan sebagian BUMN yang terkait hajat hidup orang banyak kepada swasta (apalagi ke asing) dengan berbagai modus dan skema. Hal ini bukan cuma kebijakan politik genderuwo, asu dan sontoloyo yang menakut-nakuti bangsa. Tetapi lebih ke bentuk aksi mengerikan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Dengan asumsi bahwa tindakan menjual infrastruktur dan sebagian BUMN benar-benar menghancurkan kedaulatan rakyat di pasal 33 UUD 1945 dan sila-sila dalam Pancasila serta tujuan dibentuknya negara dalan preambule UUD 45.

Baca Juga :  Refleksi Syawal 1440 H Sejak Berdirinya Kerajaan Pertama di Nusantara Hingga Indonesia Kini
Loading...