oleh

Menyoal Dampak Tambang Nikel Terhadap Kerusakan Lingkungan di Pulau Kabaena

Menyoal Dampak Tambang Nikel Terhadap Kerusakan Lingkungan di Pulau Kabaena

Oleh: Yuni Damayanti

Sulawesi Tenggara beberapa tahun belakangan ini menjadi menjadi perhatian banyak pihak, tersebab kandungan sumber daya alam yang melimpah, terutama nikel. Pulau Kabaena adalah salah satu pulau kecil di Sulawesi Tenggara yang kini berubah menjadi zona merah. Tak ada lagi laut biru yang memantulkan cahaya matahari, taka da lagi terumbu karang yang melindungi ikan, dan taka da lagi hutan hijau yang menjadi benteng alam. Hanya ada kepulan debu tambang, air laut keruh dan suara mesin berat yang terus menggerogoti tanah.

Pulau ini yang seharusnya dilindungi, kini terkepung oleh tambang nikel. Peneliti Satya Bumi, Sayiidattihayaa Afra, mencatat sekitar 73% yaitu 650km dari 891km total luas Kabaena, telah diserahkan kepada perusahaan tambang.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil (UU No 1/2024) melarang tambang di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2000km. Namun, di Kabaena pelanggaran aturan ini jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut dan mengubah kehidupan masyarakat setempat.

Surat Keputusan menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011 yang mengubah status hutan di Kabaena dari hutan lindung menjadi hutan produksi membuka pintu bagi perusahaan tambang untuk masuk. Hingga kini, 40% dari izin usaha pertambangan yang diterbitkan di plau ini telah beropresasi, sementara sisanya bakal menyusul.

Aktifitas pertambangan di Kabaena telah menyebabkan deforestasi besar-besaran. Data menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, sebanyak 3.374 hektar hutan, termasuk 24 hektar hutan lindung telah habis di gunduli perusahaan seperti PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). Mereka menjadi salah satu contributor terbesar dengan deforestasi seluas 641 hektar.

Limbah tambang mencemari laut, membunuh terumbu karang, dan membuat ikan pergi menjauh. Nelayan yang dulunya hanya perlu dua liter bahan bakar untuk membawa pulang 15kilogram ikan, kini harus melaut jauh dengan sepuluh kali lipat bahan bakar, hanya untuk mendapatkan dua sampai tiga kilogram ikan,hal ini menjadipukulan telak bagi suku bajo yang sudah puluhan tahun hidup di laut. Selain itu sampel air yang diambil dari sungai dan laut empat titik di Kabaena mengungkapkan kandungan logam berat seperti nikel, kadmium dan asam sulfat yang melebihi batas aman, (kendarikita, 10/09/2024).

Baca Juga :  Jejak Panas Kivlan dan Wiranto, Sebuah Opini Dimas Huda

Miris, melihat keadaan pulau Kabaena saat ini, lingkunganya rusak tercemar oleh tambang nikel bukan hanya itu nelayan kehilangan mata pencarian sebab sejak penambangan besar-besaran justru mengalami kesulitan ekonomi bukan hanya itu suku bajo dan mornene warga local disana terancam kehilangan ruang hidup. Pulau kecil itu menjadi bancakan pejabat demi pundi-pundi rupiah mereka mengorbankan keselamatan rakyatnya.

Sudah bukan rahasia umum daerah pertambangan adalah lahan basah untuk mendapatkan rupiah dengan mudah, otak-atik aturan hal biasa mereka lakukan. Di antara akar persoalan korupsi di sektor pertambangan adalah adanya aturan/sistem yang korup (rusak) berupa kebijakan swastanisasi, bahkan liberalisasi atas nama investasi. Dalam upaya untuk menarik investasi, pemerintah Indonesia aktif memberikan insentif untuk mendorong investasi swasta/asing. Salah satunya adalah pemberian konsesi penguasaan lahan kepada para investor di berbagai sektor, seperti kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masa HGU dapat berlangsung paling lama selama 35 tahun, kemudian dapat diperpanjang hingga 25 tahun, serta dapat diperbarui hingga 35 tahun.

Di sektor pertambangan, pemerintah telah memberikan berbagai keistimewaan investasi bagi para investor. Pada 1967, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan yang mengatur pemberian konsesi tambang kepada pihak swasta. UU ini diinisiasi oleh kekosongan hukum ketika Freeport McMoRan ingin berinvestasi pada tambang emas dan tembaga di Papua. Freeport kemudian mendapatkan konsesi selama 30 tahun, kemudian diperpanjang menjadi 50 tahun. Lalu pada 2020, pemerintah dan DPR sepakat merevisi UU Minerba untuk memberikan perpanjangan usaha kepada beberapa perusahaan batubara raksasa swasta yang hampir habis masa konsesinya.

Mari melihat cara Islam mengelola pertambangan, tambang apa pun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Dasarnya antara lain hadis Nabi saw yang dituturkan oleh Abyadh bin Hammal ra. artinya“Sungguh ia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw. Ia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Baca Juga :  Lawan Rencana Revisi Peraturan Sektor Minerba Oligarkis!

Hadis ini memang berkaitan dengan tambang garam. Namun demikian, ini berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak. Ini sesuai dengan kaidah usul,

العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ، لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Patokan hukum itu bergantung pada keumuman redaksi (nas)-nya, bukan bergantung pada sebab (latar belakang)-nya.” (Fakhruddin ar-Razi, Al-Mahshûl fii ‘Ilm Ushûl Fiqh, 3/125).

Berdasarkan hadis di atas, tambang apa pun yang menguasai hajat hidup orang banyak atau jumlahnya berlimpah—tidak hanya tambang garam, sebagaimana dalam hadis di atas—haram dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing, termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya, lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Agar semua itu bisa terwujud, jelas negara ini harus diatur oleh syariat Islam. Bukan oleh aturan-aturan dari ideologi kapitalisme sebagaimana saat ini yang memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pihak swasta/asing dalam menguasai sebagian besar harta kekayaan milik umum, di antaranya aneka tambang yang sangat berlimpah di negeri ini. Selain itu, hukuman yang tegas sesuai ketentuan syariat Islam terhadap para koruptor khususnya yang melakukan korupsi atas harta kekayaan milik umum (rakyat) wajib ditegakkan.

Oleh karena itu, penerapan syariat Islam dalam pengaturan negara ini di segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi, khususnya lagi dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, harus segera diwujudkan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang lebih parah dan terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, wallahu a’lam bisshowab.

Loading...