Wakil Rakyat, Benarkah Melayani Rakyat?
Oleh: Yuni Damayanti
Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Resmi dilantik untuk masa bakti periode 2024-2029. Lima tahun ke depan, ratusan anggota dewan di senayan di harapkan mampu untuk berpihak dan mewakili kepentingan rakyat luas. DPR tidak boleh tunduk dan tersandera oleh kepentingan parpol, elite politik, kekuasaan eksekutif, apalagi menjadi anggota DPR RI hanya demi meraup untung pribadi dan keluarga.
Namun, harapan itu kelihatan butuh upaya ekstra dan pembuktian dari DPR. Pasalnya, politik dinasti di duga masih kental melekat pada DPR periode 2024-2029. Sejumlah anggota DPR terpilih diketahui memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan pejabat publik, elite politik, hingga sesame anggota DPR terpilih lainya. Misalnya Rahmawati Herdian dari Partai Nasdem (Lampung 1) yang merupakan anak wali kota Bandar Lampung, Eva Dwiana dan Herman HN. Herman juga pernah menjadi walikota selama dua periode sebelum Eva. Ada juga Sandi Fitrian Nur dari Golkar (Kalsel II) yang merupakan anak dari Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor, (Tirto.id/1/10/2024).
Anggota DPR adalah wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Namun juga membuat aturan/ UU. Realita hari ini, ada banyak hubungan antara satu dengan yang lain sehingga rawan konflik kepentingan. Apalagi hari ini tidak ada oposisi, semua menjadi koalisi. Lantas siapa yang akan berpihak kepada rakyat jika semuanya sudah berada dalam satu barisan? Yang juga membela oligarki. Rakyat terabaikan dan tak mampu melawan.
Bulan April 2023 Litbang Kompas melakukan riset mengenai kinerja DPR di mata masyarakat. Riset dilakukan terhadap 506 responden dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Mengenai hasil riset tersebut, ada beberapa poin yang menarik untuk diulas antara lain Pertama, 76,2 persen masyarakat menilai tidak puas dengan kinerja DPR. Hanya 18,8 yang merasa puas dan 5 persen menjawab tidak tahu. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja DPR masih jauh dari apa yang diharapkan oleh yang memberi mandat.
Tidak henti-hentinya drama anggota DPR yang tersandung kasus suap, korupsi beserta kerugian yang ditimbulkan, pengadaan gorden rumah dinas DPR senilai 43,5 miliar, pengadaan fasilitas spa dan kolam renang di gedung baru DPR, uang saku dinas anggota DPR kunjungan ke luar negeri yang fantantis, anggota DPR yang tidur pulas saat rapat hingga kasus viralnya di media sosial anggota DPRD DKI yang bermain judi slot saat rapat paripurna.
Jika melihat ke belakang sebetulnya tren kinerja DPR bisa dikatakan tidak pernah membaik. Hal ini ditunjukkan oleh hasil survei Litbang Kompas tahun 2019 yang menyebutkan 62,4 persen persepsi masyarakat terhadap citra DPR buruk. Hanya 24,8 persen yang menilai citra DPR baik. Bahkan hingga Januari tahun 2023 citra DPR kian tergerus ke angka 49,3 persen. Institusi ini terus mendapatkan stigma yang miring dari masyarakat. Masyarakat acap kali menuangkan komentar-komentar di media sosial sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja DPR. Meskipun demikian, cibiran-cibiran tersebut tak mampu menjadi pemacu membaiknya kinerja DPR.
Sekarang yang menjadi polemik baru adalah tunjangan perumahan yang diperkirakan sekitar Rp 30 juta sampai Rp 50 juta perbulan, ini sungguh mengiris hati rakyat dimana kondisi ekonomi lagi lesu dan rakyat ngos-ngosan memenuhi kebutuhan hidup muncul wacana seperti ini. Mana rasa empati wakil rakyat terhadap rakyatnya?
Kedua, sebanyak 84,1 persen masyarakat menilai anggota DPR jauh lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya (partai politik) dari pada rakyat. Tidak heran hal ini terjadi terus-menerus karena dalam sistem hari ini wakil rakyat dipilih berdasarkan suara terbanyak bukan karena kemampuanya, namun karena kekayaanya, atau jabatan dalam mekanisme politik transaksional jelas ini sangat berbeda dengan sistem Islam dalam memilih majelis ummah yang menjadi wakil rakyat, dipilih oleh umat karena merupakan representasi dari umat.
Majelis ummah merupakan majelis atau dewan yang terdiri dari orang-orang yang telah dipilih umat dan perwakilan umat untuk meminta pertanggungjawaban dan mengoreksi penguasa dalam menerapkan Islam, serta memberikan arahan atau masukan pada penguasa dari apa yang dianggapnya baik bagi kaum muslim.
Setiap orang yang memiliki hak kewarganegaraan Islam boleh untuk menjadi anggota Majelis Umat, selama ia berakal, balig, dan merdeka. Dalil atas hal ini adalah bahwasanya Rasulullah saw. telah meminta kaum muslim untuk memilih 14 orang pemimpin dari kalangan Anshqr dan Muhajirin untuk menjadi tempat meminta masukan dalam berbagai persoalan.
Adapun beberapa wewenang utama Majelis ummah ini adalah: Pertama, memberikan pendapat (usulan) kepada khalifah dalam setiap urusan dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, sebagaimana juga usulan mendirikan sekolah, membuat jalan, atau mendirikan rumah sakit. Dalam hal ini pendapat majelis bersifat mengikat. Kedua, mengoreksi khalifah dan para penguasa tentang berbagai hal yang dianggap oleh mereka sebagai sebuah kekeliruan. Pendapat majelis ini bersifat mengikat jika pendapat mayoritasnya bersifat mengikat pula. Bila terjadi perbedaan dengan khalifah, maka perkara tersebut diserahkan kepada Mahkamah Madzalim.
Ketiga, menampakkan ketidaksukaan terhadap para wali atau para mu’awin, dan khalifah harus memberhentikan mereka yang diadukan itu. Keempat, memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat khalifah. Demikianlah majelis ummah dalam sistem Islam mereka menjadi penyambung aspirasi rakyat tanpa membawa embel-embel kepentingan dari pihak mana pun, wallahu a’lam bisshowab.