oleh

Mempertanyakan Penangkapan Munarman

MEMPERTANYAKAN PENANGKAPAN MUNARMAN

Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H. M.H Ahli Hukum Pidana

Penangkapan terhadap H. Munarman, S.H., eks Sekum DPP Front Pembela Islam yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (in casu Densus 88 Antiteror) dipertanyakan publik. Terdapat beberapa permasalahan serius dalam penangkapan tersebut.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa penangkapan harus didahului dengan penetapan status tersangka. Penetapan status tersangka juga harus berdasarkan kekuatan 2 (dua) alat bukti. Minimal dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015. Amar putusan Mahkamah menyebutkan: “Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan. Dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”.

Dalam pertimbangan hukumnya disebutkan: “ bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik.”

Baca Juga :  Wartawan Adalah Orang Bodoh Yang Selalu Bertanya

Dua alat bukti minimal harus didapatkan secara sah. Dua alat bukti minimal dimaksudkan dalam rangka membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Menemukan tersangka tidaklah merupakan suatu keharusan. Sepanjang dua alat bukti minimal yang diperoleh mampu  membuat terang tentang tindak pidana. Maka barulah kemudian dua alat bukti itu dihubungkan dengan seseorang tertentu yang diduga sebagai pelaku. Seseorang tertentu itulah yang kemudian dilakukan pemeriksaan pendahuluan sebagai calon tersangka. Pada akhirnya penentuan status tersangka secara definitif menunjuk pada pemenuhan unsur delik yang akan disangkakan.

Tidak mungkin dilakukan penangkapan apabila sebelumnya belum ditetapkan status tersangka. Tidak mungkin ada penetapan status tersangka tanpa sebelumnya ada proses penyidikan dan sebelumnya penyelidikan. Di sini terdapat keterhubungan antara penyidikan dan penetapan status tersangka dengan penangkapan (termasuk penahanan) menunjuk pada dua alat bukti minimal, pemeriksaan calon tersangka, dan pemenuhan unsur delik yang disangkakan. Pemenuhan unsur delik tentunya terhubung dengan dua alat bukti minimal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dua alat bukti minimal telah mampu membuat terang tindak pidana dan diketahui secara jelas tindak pidana apa yang terjadi dan kemudian terpenuhinya unsur pasal yang akan diterapkan kepada pelaku. Unsur pasal dimaksud adalah adalah unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea).

Baca Juga :  Risma Mengaku Ditekan, Sekjen Pasutri: Burisma Terus Maju dan Bongkar Mafia Bansos

Pada penangkapan  terhadap H. Munarman, S.H., belum pernah dilakukan dilakukan pemeriksaan pendahuluan sebagai calon tersangka. Penangkapan yang dilakukan juga bukan termasuk kategori tertangkap tangan. Dengan demikian tindakan penangkapan terhadap H. Munarman, S.H., bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Oleh karena belum pernah dilakukan pemeriksaan pendahuluan (in casu calon tersangka), maka penangkapan tersebut juga dipandang sebagai tindakan yang bertentangan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang pada intinya tidak mendapatkan atau tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Semoga “kepastian hukum yang adil” terwujud dalam proses bekerjanya hukum. Hukum memang membutuhkan kekuasaan, namun tidak menjadi alat kekuasaan. Ketika hukum menjelma menjadi alat kekuasaan, maka konsepsi negara hukum (rechtsstaat) telah berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat).

Jakarta, 28 April 2021.

Loading...