SUARAMERDEKA.ID – Koordinator Eksekutif Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) angkat bicara mengenai pemberitaan yang menyebutkan dirinya pernah membela Irjen Ferdy Sambo, yang kini menjadi tersangka pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Menurut Yudi, apa yang ia sampaikan bukanlah bermaksud membela mantan Kadiv Propam Polri itu. Namun, pandangan yang dinyatakan pada dasarnya mengacu hasil konferensi pers Polres Metro Jakarta Selatan dan Divisi Humas Polri.
“Saya mau menyampaikan tentang tulisan yang ditulis salah satu media online yang dalam membaca komentar saya pada 14 Juli 2022, saya nilai tidak cermat. Penyampaian saya sebagai Koordinator Eksekutif JAKI adalah berdasarkan keterangan konferensi pers dari Polres Jakarta Selatan yang saya baca dari media massa bahwa terjadi tembak-menembak dan juga dari Divisi Humas Polri,” kata Yudi, Rabu (10/8), dalam keterangannya.
“Perlu diketahui, saat itu belum terjadi Pelaporan dari pihak keluarga Brigadir J,” imbuhnya.
Dalam pernyataan sebelumnya, Yudi mengaku telah menjelaskan bahwa satu-satunya alat bukti yang bisa membuka kasus tersebut, adalah dengan dilakukannya autopsi ulang, yang mengacu pada Undang-undang No. 8/1981 tentang Keterangan Ahli berbentuk tertulis. Autopsi ulang ini yang akhirnya dilakukan pihak keluarga Brigadir J.
“Dalam hal ini, pernyataan saya adalah visum et repertum untuk pemeriksaan Nopriansyah Yosua Hutabarat, juga dibutuhkan instrumen Undang-undang No. 8/1981 tentang Keterangan Ahli berbentuk tertulis, dalam hal ini adalah visum et repertum. Visum et repertum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atau ahli forensik lainnya yang berisi apa yang mereka temukan pada tubuh korban,” papar Yudi.
“Dan setelah terjadinya pelaporan yang dilakukan pihak keluarga korban Brigadir J, pihak korban meminta dilakukannya autopsi ulang, kemudian disetujui,” imbuhnya.
Pada pernyataannya, Yudi pun mengaku turut mendorong masyarakat untuk terus mengkritisi kasus Brigadir J, namun tetap menunggu hasil dari penyelidikan dan penyidikan pihak berwenang.
“Ini saya sampaikan dengan kalimat, ‘Menurut kami, masyarakat perlu percaya dan menghormati para penyidik dan tim investigasi dalam hal proses kerjanya menyangkut kasus polisi saling tembak ini. Namun masyarakat bisa ikut memantau secara kritis’,” jelas Yudi.
Yudi mengaku tak berkepentingan lebih jauh perihal kasus Brigadir J. Apalagi memiliki hubungan dengan Irjen Sambo, sehingga turut membelanya. Yudi mengungkapkan, dirinya malah pernah ‘dipenjarakan’ oleh jenderal bintang dua itu beberapa waktu lalu.
“Saya tidak ada hubungan pribadi dengan Irjen Pol Ferdy Sambo, justru saya pada akhir Januari 2020 malah dipenjara oleh Pak Ferdy Sambo saat menjadu Direktur Tindak Pidana Umum di Bareskrim Polri,” beber Yudi.
“Dugaannya saat itu makar, tetapi ketika P 21 dakwaannya adalah pasal keonaran, Pasal 14 UU RI 1946, kemudian dituntut dengan Pasal 14 ayat 2 dengan ancaman hukuman 3 tahun dan diputus hakim vonis 1 tahun,” sambungnya.
Usai bebas dari penjara, lanjut dia, selaku aktivis Yudi terus melakukan advokasi ke berbagai pihak, dan kerap berhubungan dengan penegak hukum seperti jaksa, hakim hingga polisi. Yudi mengaku berhubungan dengan pimpinan Polri, saat dirinya berupaya memberantas pinjaman online (pinjol).
“Bahwa tidak lama saya bebas, Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang belum lama menjabat, bersama Kabareskrim Komjen Agus Andrianto yang juga baru menjabat, membantu advokasi kami dalam memberantas pinjol ilegal yang korbannya mencapai jutaan orang. Termasuk Presiden Jokowi juga memberikan atensi langsung ketika saya dan tim advokasi rakyat warga menyampaikan masalah ini ke Pak Presiden Jokowi,” papar Yudi.
“Jadi penilaian dari media tersebut, saya kira kurang cermat dalam memahami pernyataan saya yang berada pada posisi menjaga institusi Polri. Akan tetapi juga ikut mengadvokasi masalah tersebut melalui pernyataan dan sebagai salah satu kunci utama untuk diadakannya autopsi ulang,” tandasnya. (RED)