SUARAMERDEKA.ID – Pemilihan kepala daerah serentak yang merupakan wujud dari pesta demokrasi, sekitar satu bulan kedepan sudah akan memasuki babak yang sangat dinanti nanti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu jadwal pendaftaran calon bupati dan wakil bupati, calon walikota dan wakil walikota, calon gubernur dan wakil gubernur. Tak terkecuali masyarakat diujung pulau Jawa yang identik disebut sebagai kota Gandrung yaitu kabupaten Banyuwangi.
Suhu politik juga semakin menghangat seolah berbanding terbalik dengan kondisi cuaca yang yang saat ini terasa agak lebih dingin dibandingkan pada bulan bulan sebelumnya. Banyak tokoh tokoh daerah bermunculan yang bisa dikenali oleh sebagian masyarakat, karena wajah wajah mereka terpampang menghiasi sisi kiri kanan sepanjang jalan dan di sudut sudut kota.
Dari beberapa figur yang muncul berasal dari berbagai latar belakang, yaitu dari akademisi, dari tokoh atau kader partai, dari pengusaha, birokrasi, dan dari tokoh agama. Tak terkecuali sang petahana yang saat ini masih menjabat sebagai Bupati Banyuwangi.
Activis anti korupsi, Edy Gempur jebolan Aman Korban Banyuwangi mengatakan, hal ini tak dapat dipungkiri keberangkatan sang petahana sejak periode awal pencalonanya sebagai Bupati Banyuwangi, tidak terlepas dari kepiawaian dan keberhasilan sang suami yang menjabat selama dua periode sebagai Bupati Banyuwangi sebelumnya.
“Banyak kalangan yang tidak meragukan kepiawaian sang suami petahana saat ini dalam menggalang dukungan dari pimpinan partai yang ada di pusat. Bahkan dari informasi dan isu yang beredar di masyarakat lebih dari empat partai besar di Banyuwangi telah menjatuhkan pilihannya untuk memberi rekom kepada sang petahana.” kata Edy, senin (22/7/2024).
Masih kata Edy, sejak pencalonanya pada periode pertama sang petahana yang merupakan istri dari bupati sebelumnya banyak dikaitkan dengan isu Dinasti politik. Isu Dinasti politik selalu akan muncul dimasyarakat, saat _suaramerdeka.id_ meminta tanggapannya terhadap pencalonan kembali sang petahana dikaitkan dengan isu Dinasti politik.
“Dinasti politik dapat menjadi pintu masuk terjadinya korupsi. Sebab, si pengganti yang masih kerabat akan cenderung menutupi kekurangan pendahulunya serta meneruskan kebiasaan yang telah dilakukan pemimpin sebelumnya. Sehingga dinasti politik cenderung akan menyuburkan dan melanggengkan korupsi.” terang Edy.
Lebih jauh Aktivis anti korupsi Banyuwangi, Edi Gempur mengatakan korupsi yang dilakukan atau yang berkaitan dengan dinasti politik, cenderung bersifat korupsi terstruktur, sistematis, dan masif. Dan dalam beberapa pengungkapan kasus korupsi pada pengadilan tindak pidana korupsi ditemukan fakta yang terlibat adalah kerabat dan orang orang dekat dari pelaku utama korupsi tersebut.
“Sehingga dampak korupsi “dinasti politik”, tingkat kerusakan yang ditimbulkan dan bahayanya menjadi lebih besar dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang per orang.” pungkas Edy.(BUT).