oleh

Kisah Hakim di Negeri Democrazy, Sebuah Opini Malika Dwi Ana

Kisah Hakim Di Negeri Democrazy. Oleh: Malika Dwi AnaPengamat Sosial Politik.

Ada yang begitu berharap keadilan pada MK (Mahkamah Konstitusi), disaat terjadi proses persidangan sengketa Pilpres (Pemilihan Presiden). Apalagi saat ada hakim MK yang begitu sangat jelas menyatakan hanya takut kepada Allah SWT.

Namun, tidak sedikit yang pesimis. Bahkan menganggap persidangan sengketa Pilpres tak berguna dan hanya sandiwara. Pasalnya, siapa pemenangnya sudah diduga diawal kontestasi. Apalagi sebagian—jika tidak sebagian besar—para hakim MK dianggap oleh sebagian orang pro petahana, dengan “track record” masing-masing yang bisa digoogling.

Hebat bener jika mengaku takut hanya kepada Allah. Padahal takut kepada Allah hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang mampu memerdekakan dirinya. Merdeka dari ketakutan-ketakutan yang menyandera nuraninya. Merdeka dari rasa takut tidak bisa makan, takut tidak bisa menyenangkan istri atau suami, takut tidak bisa menyenangkan majikan, takut miskin, takut tidak mendapatkan fasilitas, takut mati dan lain-lain. Rasa takut itu memang ada beribu-ribu maknanya.

Manusia belum akan mencapai “khouf ‘ilallah” (takut hanya kepada Allah) selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Coba saja berhitung dengan tukang cilok, tukang cilok pasti tidak takut menjadi tukang cilok. Anda semuanya tidak takut menjadi hakim, terhormat, mulia, berjubah kebesaran, dan memegang palu penentu keadilan, tetapi tidak takutkah anda menjadi tukang cilok? Jika suatu hari, nasib mengantarkan menjadi tukang cilok misalnya. Karena tukang cilok pun saya pikir tidak takut menjadi hakim dan orang besar seperti anda sekalian.

Baca Juga :  Kebaya Versus Jilbab, Sebuah Opini Malika Dwi Ana

Dalam sidang di MK lalu (14 – 27/6), ketika kuasa hukum pemohon (paslon capres-cawapres nomor 02) meminta kepada yang mulia 9 (sembilan) hakim agar memerintahkan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) memberi perlindungan para saksi 02 yang merasa terancam, namun para hakim seperti mengelak dan menolak dengan aneka dalih.

Dari cuplikan ‘drama’ tersebut, sebenarnya telah bisa diprediksi bahwa para hakim MK, selain “safety player” bahkan cenderung ingin cari selamat sendiri, lha wong jelas-jelas ada kekosongan hukum soal perlindungan saksi dalam sengketa pilpres (LPSK hanya melindungi saksi pidana), kenapa mereka tidak menerbitkan yurisprudensi sesuai saran LPSK.

Gambaran di atas pada gilirannya memunculkan prasangka publik bahwa Hakim MK merupakan bagian dari kecurangan TSM (Terstruktur Sistematis Masif) itu sendiri. Kenapa? Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama dana budi baik. Tetapi mungkin para hakim MK ini ingin dicatat oleh sejarah sebagai hakim-hakim yang tak memiliki integritas, yang tidak memahami makna “hanya takut kepada Allah.”

Baca Juga :  Represifitas Polisi Atas Instruksi Siapa?

Din Syamsuddin bahkan merasa terusik rasa keadilannya; “Jika rakyat meyakini ada pengabaian nilai moral, bahwa para hakim MK itu patut diduga membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, seperti membenarkan kecurangan, maka rakyat mempunyai hak dan kewajiban melakukan koreksi moral,” ucapnya. “Saya tidak mampu dan tidak mau menyembunyikannya. Saya merasa ada rona ketidakjujuran dan ketakadilan dalam proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi. Banyak fakta…” Demikian kata Din Syamsuddin.

Yah, kecurangan pada akhirnya merupakan bagian bahkan unsur terpenting dari pemenangan dalam democrazy. Maka jadi membenarkan ungkapan; “Jika palu ada di mulut anjing, maka keadilan menjadi milik majikannya” Boleh jadi karena Hakim MK jebolan partai NASDEM, maka didepan media : “Kami hanya takut pada Allah..” tapi fakta yang sebenarnya: “kami lebih takut pada Surya Paloh..” Begitukah?

Loading...